Dengan Dua Sepatu Kiri, Enrique Mencari Ibunya

Sumber gambar: books.google,co.id

AMERIKA Serikat (AS) adalah tambatan mimpi-mimpi orang-orang dari Amerika Latin. Nyaris alasannya tunggal: kemiskinan yang langgeng. Mereka datang lantaran mengidamkan kehidupan yang lebih baik ketimbang nasib yang mereka jalani sepanjang hari di negara asalnya.

Kedatangan gelombang pertama, di tahun 1960-an dan 1970-an, ibu-ibu tunggal dari segelintir negara di Karibia—West Indies, Jamaika, Republik Dominika—pergi ke New York City, New England, dan Florida untuk bekerja sebagai pengasuh anak dan di panti-panti asuhan. Gelombang kedua, pada 1980-an, perempuan-perempuan Amerika Tengah berjibun menuju pinggiran Washington DC, Houston, dan Los Angeles, tempat pekerja domestik swasta yang menyebabkan jumlah mereka meningkat dua kali lipat.

Namun buku Enrique’s Journey (EJ) ini tidak akan membahas lebar mengenai soal itu. Sonia Nazario menulis EJ untuk memapar tragedi seputar gelombang lanjutan yang menyusul mereka yang berangkat pada gelombang kedua. Modus keberangkatan mereka justru digerakkan oleh cinta. Parahnya, gelombang lanjutan yang menuju ke Utara atau el Norte, Amerika Serikat, adalah anak-anak; yang sekadar ingin menjumpai orang-orang terkasih mereka.

PADA 29 Januari 1989, di pinggiran kota Tegucipalga, Honduras, Lourdes (24) mencium Belky, anak perempuannya yang berumur 7 tahun. Tapi Lourdes tak bisa berkata apa ke Enrique. Hanya nasihat “Jangan lupa ke gereja sore ini” yang bisa dia ucapkan pada anaknya yang berumur 5 tahun itu; sebuah petuah yang selalu ia katakan pada bocah pemalu itu. Ia pun keluar dari serambi. Tak pernah kembali.

Lourdes tak tahan lagi dengan kemiskinan yang membelit keluarganya. Mustahil, pikir Lourdes, hanya dengan menyucikan pakaian kotor orang lain di sungai atau menjajakan roti tortilla dan pisang raja dari pintu ke pintu, ia bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat. Bahkan membelikan seragam sekolah untuk keduanya anaknya ia sudah tidak mampu. Hanya satu tempat yang menawarkan harapannya: AS. Di televisi, ia melihat kaki langit New York yang menakjubkan, gemerlap lampu Las Vegas, dan kastil ajaib Disneyland.

Sejak kepergian ibunya, Enrique berubah. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh nenek dari pihak ayahnya. Namun Enrique, meski sangat mencintai neneknya, tapi selalu sadar bahwa perempuan tua itu bukanlah ibunya. Setiap telepon datang dari ibunya, kalimat yang paling sering keluar dari mulutnya hanya dua:  “Kapan Ibu pulang?” atau “Aku ingin bersama Ibu.”

Lourdes yang tak ingin mematikan harapan anak-anaknya, berjanji pulang pada Natal yang akan datang. Enrique mengingat janji itu. Begitu Natal tiba, Enrique menunggu di depan pintu. Tapi ibunya tak datang. Setiap tahun Lourdes berjanji, setiap tahun pula Enrique kecewa. Bahkan ketika bocah itu berumur 12 tahun, ia masih mengatakan bahwa dia akan pulang.

Suatu hari ia bertanya pada neneknya, bagaimana ibunya sampai ke AS. Bertahun-tahun kemudian, Enrique mengingat jawaban neneknya. “Mungkin,” kata Maria, neneknya,”dia naik kereta.”

Enrique yang putus asa, ingin menyusul. Ibunya memperingatkan bahwa jangan main-main soal itu. Terlalu berbahaya. Bersabarlah, ujar ibunya.

Kemarahan Enrique terlampias di tempat lain. Ia sering diskors di sekolah tersebab kelakuannya. Bahkan di umur 15 tahun, Enrique kecanduan menghirup lem. Saban malam neneknya mencium bau aseton dan mendengar gemeresak plastik. Bahkan ia kemudian jadi drogo atau pecandu narkoba.

Tapi tetap saja bukan itu yang ia cari. Setahun kemudian, di ultahnya yang ke-16, bersama seorang temannya ia berangkat naik kereta ke el Norte untuk mencari ibunya. Ditulisnya nomor telepon ibunya di secarik kertas. Untuk jaga-jaga, ia tulis pula deretan digit tersebut di lapisan dalam ikat pinggangnya. Mungkin karena ia tahu, perjalanannya itu adalah tualang yang penuh tantangan, keras, dan mematikan. Pada 2 Maret 2000, ia memeluk pacarnya, Maria Isabel dan Rosa Amalia, bibinya, lalu melangkah keluar.

ENRIQUE hanyalah salah seorang anak dari 48.000 anak yang melakukan perjalanan dari Honduras ke AS dengan menumpang di atas kereta api yang biasa mereka sebut Al Train de la Muerte atau Kereta Api Maut. Sepanjang perjalanan mereka dihantui oleh ancaman pemerasan, pemukulan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan oleh para bandit. Beberapa dari imigran gelap itu melakukan perjalanan berhari-hari tanpa makan. Jika kereta berhenti, mereka akan akan merunduk di dekat rel dan meminum beberapa sesap air dari genangan yang telah tercemar dengan minyak mesin.

Duapuluh dua hari setelah keberangkatannya, Enrique kemudian terlihat di Las Anonas, Oaxaca, Meksiko. Pemuda penyuka breakdance dan sepakbola itu berjalan sempoyong menangis di pinggir rel kereta hanya dengan celana dalam. Tulang keringnya terluka parah, bibir atasnya robek, sisi kiri wajahnya bengkak, matanya merah penuh darah. Beruntung ia diselamatkan oleh warga setempat. Pada warga dusun itu ia mengaku bahwa ia menumpang kereta barang lewat Meksiko mencari ibunya yang sebelas tahun silam meninggalkannya.

Ia tak kapok. Tekad sudah ia bulatkan. Ia bersama ribuan anak lainnya melompat-lompat antara 7 sampai 30 kereta barang untuk melintasi Meksiko. Yang paling beruntung berhasil dalam sebulan. Lainnya, yang berhenti untuk bekerja sepanjang jalan, membutuhkan satu tahun atau lebih. Enrique juga mencoba menyusup masuk ke Negara Paman Sam sampai beberapa kali.

Pertama, ia menempuh kurang lebih seribu mil dari Honduras ke Guatemala lalu Meksiko. Tapi la migra atau petugas menangkapnya di atap kereta dan mengirimnya kembali ke Honduras dengan bus yang mereka namai El Bus de Lagrimas alias Bus Airmata. Armada bus itu berjalan delapan kali sehari, dan setiap tahun mengirim 100.000 imigran yang sedih.

Percobaan kedua, ketiga, dan keempat, Enrique baru menempuh perjalanan singkat dan tertangkap. Usaha yang kelima, ia tertangkap saat berjalan sepanjang rel di utara Mexico City setelah menempuh 838 mil dan hampir sepekan dalam perjalanan. Wajahnya bengkak disengat lebah.

Kali keenam ia nyaris berhasil usai menempuh 1.564 mil. Rio Grande sudah di depan matanya. Untuk pertama kalinya, AS sudah di depan matanya. Enrique tertangkap ketika sedang makan seorang diri sekitar rel dan la migra memergokinya. Ia kemudian dikirim ke pusat penahanan El Corralon, Mexico City. Sehari kemudian dikirim pulang. Percobaan ketujuhnya sendiri kemudian membawanya ke tangan orang-orang Los Anonas yang baik hati. Adapun percobaan kedelapannya, pemuda Enrique menyeberang air sungai Suchieate yang sedada, pembatas Meksiko dan Guatemala. Ia memakai topi NO FEAR; sebuah bualan besar karena ia sama sekali tak bisa berenang.

Meski sempat ditangkap dan dipenjara di Chiapas, ia kemudian berhasil melarikan diri dengan memanjat dinding bertumpu pada sebuah sepeda. Kenekatannya itu sepertinya dipicu keras oleh sebuah rumor yang beredar di kalangan imigran bahwa ada kereta yang lewat pada pukul 10 pagi. Pada hari itu, 24 Maret 2000, Enrique berada di antara anak-anak yang berlari di samping gerbong barang yang bergerak.

Kereta-kereta itu memang disebut Kereta Maut. Ada pula yang menyebutnya El Tren Peregrino, Kereta Penziarah. Tapi Enrique kagum pada keajaiban kereta itu karena kemampuannya untuk mengantarnya pada ibunya. Maka ia menamainya El Caballo de Hierro, Kuda Besi.

Pada 18 Mei, di Neuvo Ladero, dia terjaga dan mendapati sepatu kanannya dicuri seseorang. Sepatu sama pentingnya dengan makanan dan nomor telepon ibunya. Untuk perjalanan kali ini saja, ia telah memakai tujuh pasang sepatu. Dia telah membeli, meminjam, bertukar. Semuanya telah robek dan dicuri. Bahkan ia sempat tertangkap el migra karena tak tahan lari bertelanjang kaki di atas kerikil tajam sekitar rel kereta. Untung ia melihat sebuah sepatu karet terapung di tepi sungai. Sebuah sepatu untuk kaki kiri.

Sepatu itu kemudian ia pakai mengemis dan menawarkan jasa mencuci mobil. Uang itulah yang kelak dipakainya untuk menelepon ibunya. Ia tahu itu bisa berhasil karena seorang pastor membiarkan migran menelepon dari gereja bila migran punya kartu telepon. Dua sepatu itu pula yang jadi menguatkan hati Lourdes, ibunya, untuk mentransfer uang untuk penyedia jasa penyelundup imigran yang meminta lebih ketika si penyelundup telah bersama Enrique.

“Sepatu macam apa yang kamu pakai?” tanya Lourdes.

“Dua sepatu kiri,” kata Enrique. Mendengar itu, ketakutan Lourdes surut. Ini Enrique, katanya dalam hati.

RINTANGAN dalam perjalanan yang dilalui Enrique, sedikit banyak memiliki persamaan dengan segala yang dilalui para tenaga kerja Indonesia yang berjuang di Malaysia dan negara lain. Perlakuan di luar batas kewajaran bukanlah hal baru bagi mereka. Namun rintangan yang dihadapi para migran dari benua Latin itu tampaknya lebih parah. Mereka harus melewati negara seperti Meksiko sebagai ’negara-antara’ yang tidak bersahabat. Kedatangan mereka tentu membebani negara yang bersangkutan. Maka dikerahkanlah la migra—yang kerap menjadi kalangan pemeras baru bagi ribuan orang yang bergerak ke Utara itu. Belum lagi ketika menyeberang mereka menghadapi begitu banyak rintangan dan harus menyusur jalan tikus untuk masuk ke AS.

Bila pun lolos dari sergapan la migra, bandit-bandit sepanjang jalan menanti dan memalak, bahkan tak jarang membunuh dan memerkosa. Yang berbeda, tentu saja, tidak lain aparat negeri sendiri, yang harusnya melindungi mereka ketika pulang, justru jadi kalangan pemeras bagi TKI.

Selesai sampai di situ? Oh tidak. Orang-orang yang senasib Enrique akan menghadapi lagi cibiran dan perlakuan dari penduduk sendiri. Pintu-pintu rumah yang tertutup rapat adalah hal lazim. Sehingga naik kereta melalui Negara Bagian Chiapas telah mengajari Enrique bahwa setiap tangan yang diangkat ke atas mungkin melemparkan batu.

Tapi tidak selamanya perlakuan buruk harus mereka hadapi. Banyak penduduk yang menaruh iba—seperti di Kota Encinar, Fortin de las Flores, Cuichipa, dan Presidio yang terkenal karena kebaikan hatinya. ”Saya membayangkan saat saya mati, saya tidak bisa membawa apapun bersama saya. Jadi, mengapa saya tidak memberi?” kata seorang warga (hal.161).
Kalangan agamawan pun jatuh kasihan melihat perjuangan mereka mencapai destinasinya. Uskup Hipolito Reyes Larios hanyalah salah seorang dari mereka yang peduli pada migran. Satu bagian favoritnya dari Alkitab adalah Matius 25:35. Orang-orang, kata Alkitab, seharusnya menyambut dan menunjukkan kepedulian dan kemurahan hati terhadap orang asing.

SEPANJANG membaca buku setebal kurang lebih 400 halaman ini, saya seperti diteror oleh kejadian yang seperti benar-benar hadir; tumpah di depan saya. Ini adalah buku yang saya baca hanya sepekan! Sebuah rekor bagi diri saya sendiri selama membaca buku dengan ketebalan yang sama. Mungkin lantaran detail dari setiap kejadian-kejadian yang dialami Enrique. Ini ditunjang pula dengan deretan data yang kompleks dan lengkap, membahas masalah itu dari begitu banyak ragam pandangan, termasuk kajian psikologis, perihal bagaimana perkembangan mental anak-anak yang menyusul ini, seperti yang dialami Enrique dengan ibunya selama di AS. Sejumlah pertengkaran mengemuka di antara keduanya.

Dalam sebuah pengantarnya, Andreas Harsono mengutip Roy P Clark dalam pengantarnya di Jurnalisme Sastrawi, bahwa pada narasi, rukun berita 5W 1H dikembangkan lebih luas lagi: who menjadi karakter, what menjadi plot, where menjadi latar, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi. EJ menjadi contoh lengkap dan paling mutakhir terkait kutipan guru menulis Poynter Institute Florida itu.

Buku ini awalnya dalam bentuk tulisan bersambung di Los Angeles Times (LAT). Sonia dan seorang fotografer mengikuti perjalanan Enrique, melakukan napak tilas, mewawancarai ratusan narasumber; dari Honduras, Guatemala, Meksiko, hingga Carolina Utara (AS). Bahkan perempuan yang besar di Kansas dan Argentina itu tidak serta merta percaya dengan apa yang dipaparkan oleh si tokoh utama, Enrique tentang perjalanannya. Ia pun mengonfirmasinya dengan melakukan pengamatan terhadap apa saja yang Enrique telah ceritakan lalu mencocokkannya dengan apa yang terjadi di lapangan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila masa penulisan EJ butuh lima tahun.

Sonia juga memberi bagian khusus untuk ‘Catatan’, semacam petunjuk bagaimana ia menulis kisah Enrique dan mewawancara narasumber di setiap babnya. Untuk penyebutan nama saja, Sonia mengatakan kalau hal tersebut merupakan keputusan yang ditimbang matang. Sebuah tinjauan Nona Yates, peneliti LAT, menunjukkan bahwa memublikasikan nama lengkap mereka akan membuat Enrique dengan mudah dikenali pihak berwenang.

Karenanya, buku ini sebuah referensi penting bagi penghayat dunia jurnalisme. EJ, buku pemenang feature Pulitzer tahun 2003 lalu, tentu juga memang menjadi jaminan bagi kita untuk menelusuri petualangan Enrique yang sampai pada ibunya dengan dua sepatu kirinya.

Tualang Enrique dalam perjalanan yang brutal itu rupanya hanya membawa satu hal yang selalu disimpannya erat-erat dan seakan hendak berbicara lirih pada kita semua, seperti yang ia katakan pada adik tirinya, Diana, ”Aku punya rahasia yang harus kuceritakan padamu: aku mencintaimu.”[]

Judul | Enrique’s Journey: Petualangan Seorang Anak di Atas Kereta Api Maut demi Bersatu Kembali dengan Ibunya (ISBN: 978-979-1227-05-6)
(Enrique’s Journey: The Story of a Boy’s Dangerous Oddyssey to Reunite with his Mother)
Penulis | Sonia Nazario
Penerbit | Bentang Pustaka, Agustus 2007
Hal | vi + 396 halaman; 20,5 cm

Komentar

Postingan Populer