Memadu Selera Keluarga dengan Payung Teduh
Kita kedatangan kelompok musik yang istimewa, baik lirik maupun musik.
Beri tepuk tangan gemuruh. Sambutlah: Payung Teduh!
Payung Teduh dan saya, setelah wawancara (foto: Ai Wajdi) |
Memang
tak ada bekal saya menonton penampilan langsung Payung Teduh. Belum sekali pun
juga saya mendengar lagu-lagu ciptaan mereka. Hanya kata ‘bagus’ yang sempat
saya dengar sejak pertengahan tahun 2012 dari beberapa teman. Benar saja, ketika
Payung Teduh membawakan lagu-lagu, penonton ikut bersenandung. Tanpa diminta,
tanpa ‘paksaan’ dari Is, sang vokalis.
Dari
sebelas lagu, hanya Nurlela yang
berirama lebih cepat dari yang lain. Namun, lagu yang dicipta dan dipopulerkan Bing
Slamet ini pula seperti ingin menegaskan terbuat dari apa saja bahan yang
mereka sajikan malam itu. Nurlela merupakan lagu
ciptaan Bing Slamet yang dibawakannya pertama kali dalam film “Bing Slamet
Tukang Betjak” produksi tahun 1959.
Lagu
Nurlela menjadi salah satu contoh paling
akrab dari
jenis lagu lima enam puluhan tahun lampau. Kurun waktu, yang
menurut kritikus musik David Tarigan, ketika perkembangan
musik
Indonesia dipengaruhi irama-irama Latin;
bukan rock
n’ roll yang datang awal di Indonesia, “Justru musik Latin berpengaruh ke musik
Indonesia karena ada kesamaan gen dengan musik Melayu,” begitu kira-kira kata
David, dalam workshop kuratorial di galeri Ruangrupa,
pada akhir 2009 lalu.
Bila membanding-bandingkan dengan musik Indonesia
dalam dasawarsa yang sama, nuansa lagu-lagu gubahan Sore Band begitu
terasa bila menyimak musik gubahan Payung
Teduh. Para awak band yang baru saja mendapat predikat pendatang baru terbaik
dalam ajang Indonesia Cutting Edge Music
Award (ICEMA) 2012 ini pun tak mengingkarinya. Apalagi, produser
Payung Teduh adalah Ramondo Gascaro. Mondo, panggilan akrab lelaki berkacamata lebar ini merupakan mantan kibordis
Sore dan salah seorang dari trio penggubah musik latar film “Berbagi Suami”
(2006), film dengan materi latar lagu yang bersuasana ‘gramafon’.
Menurut
Mondo, sesaat usai penampilan Payung Teduh di Chambers malam
itu, konsep
musik band ini menekankan kesederhanaan, meski tetap
dengan acuan artefak musik ‘tempo doeloe’. Berbeda dengan Sore yang cenderung
melakukan eksplorasi dan bereksperimen menggunakan warisan
lagu dan musik Indonesia yang tercipta lebih setengah abad silam. Wajar bila karakter musik Sore cenderung ‘urban’, sedang Payung Teduh
menuntun kita menuju ke suasana yang lebih luas, yakni ‘di tempat mana pun’.
Sebuah
hal wajar bila melihat alat-alat mereka di panggung: Is mengusung gitar akustik
atau ukulele, Ivan dengan terompet, Cito memainkan drum dengan brush stick (stik berbentuk sapu) dan
cajĂłn (drum kotak), dan Comi membetot kontrabas. Dengan
alat musik itu, kita sedang bertamasya irama-irama keroncong, pop, sampai jazz.
Soal
lirik lagu, Payung Teduh bisalah diandalkan. Simak salah satunya: “Angin Pujaan Hujan”: datang dari mimpi semalam/bulan bundar bermandikan sejuta cahaya/di langit yang merah/ranum seperti anggur/ … angin berhembus bercabang//…
Dengan lirik sederhana namun tetap puitis seperti ini,
Payung Teduh, bersama Efek Rumah Kaca, agaknya berhasil ‘menyelamatkan’
band-band dari Jabodetabek dan Bandung dari segi lirik, bila membandingkan karya
lagu band-band dari Yogyakarta. Semaraknya musik Indonesia dengan lirik puitis
dan sederhana memang belum bisa dienyahkan dari reputasi band asal Kota Gudeg
ini, semisal Kla Project, Sheila on 7, Jikustik, Letto, sampai Melancholic
Bitch.
Is dan
ketiga kawannya sudah bulat menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahan baku
lirik lagu-lagu ciptaan mereka. Menurut Comi, ia dan kawan-kawannya pernah
mencoba membuat lagu dalam lirik bahasa Inggris, tapi itu kemudian mereka
urungkan.
“Lebih nyaman aja kalau main di
bahasa Indonesia. Lebih ‘cakep’ ya…,” tekan Comi, yang juga dosen Sastra
Inggris di Binus.
“Ini menunjukkan kekuatan bahasa Indonesia. Cantik,
rupawan, ayu, indah, menawan, jelita. Ini saja kita sudah banyak pilihan kata!”
tambah Is, yang dalam wawancara itu merujuk kata ‘beauty’.
Dari mana lirik-lirik ini Payung Teduh
dapatkan? Menurut pengakuan Mohammad Istiqamah Djamad, nama lengkap Is,
referensinya menulis lirik berasal dari teater—pengalaman yang ia dapatkan
selama di almamaternya, Universitas Indonesia, Depok. Lewat teater, katanya, ia
dan rekannya belajar lebih menekankan bagaimana teks dan lagu membangun
suasana.
Hal ini,
bagi Cito sang drummer yang awalnya gandrung dan memainkan rock progresif
semacam Dream Theater, yang mengatakan dengan setengah berkelakar, “Dulu
mainnya musik yang harus ‘terdengar-sekeras-mungkin’. Sekarang, apa
poinnya main musik yang ‘tidak-kedengaran-mungkin’?
Dulunya rapat-rapat, sekarang serenggang mungkin. Sekarang (saya) paham bahwa elemen-elemen
ini ternyata dibutuhkan untuk membangun suasana, kayak naikin
klimaks, sampai cooling down.”
Ada kisah menarik Cito bergabung dengan Payung Teduh.
Suatu hari, Cito berseberangan peron dengan Is. Kala itu, kedua mahasiswa ini
belum saling kenal. Keduanya kebetulan saja masing-masing memainkan gitar.
Kalau salah satunya menggenjreng gitar, satunya lagi tidak mau kalah. Sebaliknya
juga terjadi. Begitu seterusnya.
Mereka lalu bertemu lagi di Kampus UI Depok. Rupanya keduanya
saling mengingatkenali kala kejadian di peron. Sampai kemudian, singkat cerita,
Is yang sudah bermain musik dengan sahabatnya Comi—sang basis, mengajak Cito
bergabung. Belakangan Cito dan Is ketahui bahwa mereka pun bertalian keluarga
karena adik ibu Cito menikah dengan salah seorang sepupu Is. “Apes ‘kan kamu?”
seru Is kepada Cito, seraya tertawa.
Mungkin dalam perjamuan dan pertemuan keluarga Cito
dan Is, lagu-lagu Payung Teduh-lah yang menjadi pengiring pertemuan keluarga
mereka. Bukan hanya lantaran kedua anggota trah mereka menjadi awak band itu. Kita tahu, salah
satu perihal
yang nyaris mustahil dipertemukan dalam keluarga adalah selera musik. Namun, salah
satu pemusik Indonesia mutakhir yang bisa melakukannya, saya yakin, lagu-lagu
dari Payung Teduh.
Mari beri tepuk tangan sekali lagi!
Catatan:
1. Hanya beberapa lama setelah tulisan ini rampung, saya berselancar di dunia maya dan mendapati bahwa album Dunia Batas menjadi album 2012 versi Majalah Tempo.
2. Maaf, saya pasang foto narsis :D
Komentar
Posting Komentar