Memadu Selera Keluarga dengan Payung Teduh

Kita kedatangan kelompok musik yang istimewa, baik lirik maupun musik. Beri tepuk tangan gemuruh. Sambutlah: Payung Teduh!
Payung Teduh dan saya, setelah wawancara (foto: Ai Wajdi)
Begitu Payung Teduh masuk panggung, orang-orang yang awalnya duduk di pembatas Jalan Boulevard Panakkukang merapat ke seberang jalan, ke depan distro Chambers. Tak ada hujan pada malam penghujung Desember 2012 itu. Hanya ada band dari Depok yang beranggotakan empat pria berwajah yang masih asing, memainkan 11 lagu bertempo cenderung lambat, yang justru, menarik waktu menjadi lebih lekas.
Memang tak ada bekal saya menonton penampilan langsung Payung Teduh. Belum sekali pun juga saya mendengar lagu-lagu ciptaan mereka. Hanya kata ‘bagus’ yang sempat saya dengar sejak pertengahan tahun 2012 dari beberapa teman. Benar saja, ketika Payung Teduh membawakan lagu-lagu, penonton ikut bersenandung. Tanpa diminta, tanpa ‘paksaan’ dari Is, sang vokalis.
Dari sebelas lagu, hanya Nurlela yang berirama lebih cepat dari yang lain. Namun, lagu yang dicipta dan dipopulerkan Bing Slamet ini pula seperti ingin menegaskan terbuat dari apa saja bahan yang mereka sajikan malam itu. Nurlela merupakan lagu ciptaan Bing Slamet yang dibawakannya pertama kali dalam film “Bing Slamet Tukang Betjak” produksi tahun 1959.
Lagu Nurlela menjadi salah satu contoh paling akrab dari jenis lagu lima enam puluhan tahun lampau. Kurun waktu, yang menurut kritikus musik David Tarigan, ketika perkembangan musik Indonesia dipengaruhi irama-irama Latin; bukan rock n’ roll yang datang awal di Indonesia, “Justru musik Latin berpengaruh ke musik Indonesia karena ada kesamaan gen dengan musik Melayu,” begitu kira-kira kata David, dalam workshop kuratorial di galeri Ruangrupa, pada akhir 2009 lalu.
Bila membanding-bandingkan dengan musik Indonesia dalam dasawarsa yang sama, nuansa lagu-lagu gubahan Sore Band begitu terasa bila menyimak musik gubahan Payung Teduh. Para awak band yang baru saja mendapat predikat pendatang baru terbaik dalam ajang Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) 2012 ini pun tak mengingkarinya. Apalagi, produser Payung Teduh adalah Ramondo Gascaro. Mondo, panggilan akrab lelaki berkacamata lebar ini merupakan mantan kibordis Sore dan salah seorang dari trio penggubah musik latar film “Berbagi Suami” (2006), film dengan materi latar lagu yang bersuasana ‘gramafon’.
Menurut Mondo, sesaat usai penampilan Payung Teduh di Chambers malam itu, konsep musik band ini menekankan kesederhanaan, meski tetap dengan acuan artefak musik ‘tempo doeloe’. Berbeda dengan Sore yang cenderung melakukan eksplorasi dan bereksperimen menggunakan warisan lagu dan musik Indonesia yang tercipta lebih setengah abad silam. Wajar bila karakter musik Sore cenderung ‘urban’, sedang Payung Teduh menuntun kita menuju ke suasana yang lebih luas, yakni ‘di tempat mana pun’.
Sebuah hal wajar bila melihat alat-alat mereka di panggung: Is mengusung gitar akustik atau ukulele, Ivan dengan terompet, Cito memainkan drum dengan brush stick (stik berbentuk sapu) dan cajĂłn (drum kotak), dan Comi membetot kontrabas. Dengan alat musik itu, kita sedang bertamasya irama-irama keroncong, pop, sampai jazz.
Soal lirik lagu, Payung Teduh bisalah diandalkan. Simak salah satunya: “Angin Pujaan Hujan: datang dari mimpi semalam/bulan bundar bermandikan sejuta cahaya/di langit yang merah/ranum seperti anggur/ … angin berhembus bercabang//
Dengan lirik sederhana namun tetap puitis seperti ini, Payung Teduh, bersama Efek Rumah Kaca, agaknya berhasil ‘menyelamatkan’ band-band dari Jabodetabek dan Bandung dari segi lirik, bila membandingkan karya lagu band-band dari Yogyakarta. Semaraknya musik Indonesia dengan lirik puitis dan sederhana memang belum bisa dienyahkan dari reputasi band asal Kota Gudeg ini, semisal Kla Project, Sheila on 7, Jikustik, Letto, sampai Melancholic Bitch.
Is dan ketiga kawannya sudah bulat menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahan baku lirik lagu-lagu ciptaan mereka. Menurut Comi, ia dan kawan-kawannya pernah mencoba membuat lagu dalam lirik bahasa Inggris, tapi itu kemudian mereka urungkan.
“Lebih nyaman aja kalau main di bahasa Indonesia. Lebih ‘cakep’ ya…,” tekan Comi, yang juga dosen Sastra Inggris di Binus.
“Ini menunjukkan kekuatan bahasa Indonesia. Cantik, rupawan, ayu, indah, menawan, jelita. Ini saja kita sudah banyak pilihan kata!” tambah Is, yang dalam wawancara itu merujuk kata ‘beauty’.
Dari mana lirik-lirik ini Payung Teduh dapatkan? Menurut pengakuan Mohammad Istiqamah Djamad, nama lengkap Is, referensinya menulis lirik berasal dari teater—pengalaman yang ia dapatkan selama di almamaternya, Universitas Indonesia, Depok. Lewat teater, katanya, ia dan rekannya belajar lebih menekankan bagaimana teks dan lagu membangun suasana.
Hal ini, bagi Cito sang drummer yang awalnya gandrung dan memainkan rock progresif semacam Dream Theater, yang mengatakan dengan setengah berkelakar, “Dulu mainnya musik yang harus ‘terdengar-sekeras-mungkin’. Sekarang, apa poinnya main musik yang tidak-kedengaran-mungkin’? Dulunya rapat-rapat, sekarang serenggang mungkin. Sekarang (saya) paham bahwa elemen-elemen ini ternyata dibutuhkan untuk membangun suasana, kayak naikin klimaks, sampai cooling down.”
Ada kisah menarik Cito bergabung dengan Payung Teduh. Suatu hari, Cito berseberangan peron dengan Is. Kala itu, kedua mahasiswa ini belum saling kenal. Keduanya kebetulan saja masing-masing memainkan gitar. Kalau salah satunya menggenjreng gitar, satunya lagi tidak mau kalah. Sebaliknya juga terjadi. Begitu seterusnya.
Mereka lalu bertemu lagi di Kampus UI Depok. Rupanya keduanya saling mengingatkenali kala kejadian di peron. Sampai kemudian, singkat cerita, Is yang sudah bermain musik dengan sahabatnya Comi—sang basis, mengajak Cito bergabung. Belakangan Cito dan Is ketahui bahwa mereka pun bertalian keluarga karena adik ibu Cito menikah dengan salah seorang sepupu Is. “Apes ‘kan kamu?” seru Is kepada Cito, seraya tertawa.
Mungkin dalam perjamuan dan pertemuan keluarga Cito dan Is, lagu-lagu Payung Teduh-lah yang menjadi pengiring pertemuan keluarga mereka. Bukan hanya lantaran kedua anggota trah mereka menjadi awak band itu. Kita tahu, salah satu perihal yang nyaris mustahil dipertemukan dalam keluarga adalah selera musik. Namun, salah satu pemusik Indonesia mutakhir yang bisa melakukannya, saya yakin, lagu-lagu dari Payung Teduh.
Mari beri tepuk tangan sekali lagi!

Catatan
1. Hanya beberapa lama setelah tulisan ini rampung, saya berselancar di dunia maya dan mendapati bahwa album Dunia Batas menjadi album 2012 versi Majalah Tempo.
2. Maaf, saya pasang foto narsis :D

Komentar

Postingan Populer