Gadis Kecil yang Mengajak Keluar dari Jendela

Animasi Totto-chan: The Little Girl at the Window (2023) terasa menyempurnakan visualisasi buku yang ditulis Tetsuko Kuroyanagi ini dan tampaknya segera menjadi klasik serta layak ditonton berulang, setara kisah Tottoro dan karya Studio Ghibli lainnya.




Saya tidak ingat adakah film yang pernah saya tonton seberhasil Totto-chan: The Little Girl at the Window mengalihwujudkan cerita dari buku. Bahkan karya animasi yang disutradarai Shinnosuke Yakuwa ini memaripurnakan karya Tetsuko dengan rangkaian adegan yang tersusun dalam animasi dua dimensi.


Format cerita dalam Totto-chan versi buku memang seperti berwujud sebuah naskah utuh yang ‘siap’ diangkat ke layar lebar. Setiap babnya bercerita dengan relatif pendek, menarasikan autobiografi Teksuko, yang juga bertindak sebagai eksekutif produser film ini, tentang masa kecilnya saat bersekolah.


Adegannya dibuka, persis bukunya, ketika Totto-chan bersama ibunya menghadap ke wali kelas, yang dengan tanpa basa-basi mengatakan, “Putri Anda mengacaukan kelas saya.” Ulahnya selalu menggegerkan kelas. Totto-chan membuka dan menutup mejanya ratusan kali. Laci meja itu dibuka ke atas, bukan ditarik seperti di rumahnya, adalah sesuatu yang menarik. Totto-chan juga berdiri di depan jendela kelas (yang menghadap ke jalan) agar bisa memanggil pemusik jalanan (penyebab kegaduhan karena menarik perhatian seluruh teman kelasnya), berbicara dengan burung walet, menggambar bendera Jepang dengan rumbai dan tiang bendera melampaui kertas (sampai bercak krayonnya di meja tulis tak bisa dihapus).


Deretan “daftar dosa” Totto-chan yang periang, pelamun, dan polos itu mengharuskannya pindah ke Tomoe Gakuen. Di situ ia bertemu Sosaku Kobayashi, kepala sekolah sekaligus pendirinya, yang betah mendengar Totto-chan bercerita selama empat jam tanpa henti dalam pertemuan pertama mereka. Sang kepsek lalu meletakkan tangannya ke kepala Toto-chan yang sudah kehabisan bahan, “Nah, sekarang kau murid sekolah ini.”


Sekolah itu memang sekolah yang tidak biasa. Gerbangnya adalah gerbang hidup. Dua batang pohon dipotong pendek bersanding menyambut yang datang. Dalam film, dahan mudanya dengan dua lembar daun menjulur ke udara pagi. Ruang kelas menggunakan gerbong kereta yang tak terpakai. Totto-chan merasa bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Pada bagian ini, imajinasi tersebut tumpah dalam film dengan adegan surealis, gerbong itu membawa Totto-chan bergerak mulai dari darat, udara, sampai masuk ke laut bertemu aneka satwa. Karakter gambar yang muncul di sini tak kalah indahnya dengan karakter dalam adegan kehidupan harian Toto-chan.


Sistem pendidikan Tomoe Gakuen pun sangat berbeda dari sekolah (pada umumnya) yang Totto-chan tinggalkan. Muridnya boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan. Ada yang mulai hari belajarnya dengan fisika, ada yang menggambar, dan ada yang belajar bahasa dengan menekuni lembaran bacaan. 


Pada suatu hari, kabar tersebar di kalangan murid bahwa akan ada gerbong bekas yang akan datang dan segera menjadi ruang kelas baru. Sayangnya, kedatangan kereta itu pada tengah malam. Murid kelas satu yang cuma sembilan orang menghadap ke Kepsek. Mereka meminta izin apakah bisa melihat ruang kelas yang baru itu datang. Tak disangka, Kepsek membolehkan dan mereka menginap di sekolah demi menyambut gerbong baru itu yang kemudian menjadi perpustakaan. 


Cara mendidik Kobayashi sungguh berbeda dari kebanyakan guru ketika itu (dan sampai sekarang umumnya di Indonesia). Ketika memergoki Totto-chan menciduk cairan dari bak kakus saat mencari dompetnya yang jatuh di toilet, Kobayashi hanya bertanya, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai, kan?” 


Sebelum mendirikan Tomoe, Kobayashi bepergian ke Eropa untuk belajar metode-metode pendidikan. Ia bertemu Emily Jaques-Dalcroze, pemusik cum pendidik. Dalcroze merenungkan tentang bagaimana melatih anak-anak untuk mendengar dan merasakan musik di pikiran mereka—bukan di telinga, bagaimana merasai musik sebagai sesuatu yang bergerak. Dalcroze pun lalu menciptakan musik khusus untuk berolahraga yang disebutnya euritmik. 


Beberapa pelaku seni Jepang mulai komposer, dramawan, penari, sampai aktor kabuki terinspirasi Dalcroze. Tapi Kobayashi-lah yang pertama menerapkan metode Dalcroze dalam pendidikan dasar. Ia menciptakan suasana belajar di Tomoe yang membuat betah para siswanya. Kobayashi sendiri pula yang memandu istirahat, makan dan olahraga yang diiringi musik, serta berbincang dan dialog lepas dengan murid.


Sekolah itu punya hadiah unik. Seluruh pemenang olahraga dihadiahi sayur. Juara pertama mendapat lobak raksasa, umbi burdock, dan seikat bayam. 


Adegan para murid Tomoe menggambar di lantai aula sekolah juga menjadi visualisasi menarik. Pelajaran itu adalah pelajaran musik yang dipandu langsung oleh Kobayashi. Dalam fragmen itu kita bisa merasakan bagaimana indahnya kecamuk dunia anak-anak yang meletup-letupkan ide mereka ke matra lantai aula sekolah. 


Totto-chan juga membawa kita pada keharuan ke kiri dan kanan. Usai menikmati isi kepala para siswa di lantai sekolah, kita akan dibawa pada kesedihan mendalam seisi sekolah. Pada hari pertama masuk sekolah usai libur musim semi, Kepala Sekolah Kobayashi terisak di depan siswa saat mengumumkan bahwa Yasuaki, sahabat Totto-chan yang terkena polio, meninggal.


“Selamat jalan. Mungkin kita akan bertemu lagi entah di mana jika kita sudah tua. Mungkin waktu itu poliomu sudah sembuh… Aku tidak bisa mengembalikannya padamu sekarang, kan? Aku akan menyimpannya untukmu, sampai kita bertemu lagi,” kata Totto-chan, menyinggung buku Uncle Tom’s Cabin, yang dipinjamnya dari Yusuaki, yang terbaring di peti mati di gereja persemayaman.



Yasuaki, pemeran pembantu pria dalam film ini, adalah sahabat Totto-chan. Ia duduk tepat di belakang Totto-chan. Gadis ini pernah ‘memaksa’ Yusuaki memanjat pohon (adegan yang menjadi poster filmnya), pengalaman pertama dan terakhirnya duduk di atas pohon. Aktivitas fisik Yasuaki memang terbatas. Tangan dan kaki Yasuaki mengulai karena polio. Sebelum libur musim semi, Yasuaki, si pembaca akut, meminjamkan Uncle Tom’s Cabin untuknya.


Totto-Chan juga tidak benar-benar memuat semua cerita yang ada dalam buku. Beberapa tentu saja sengaja tidak masuk karena, kelihatannya, mempertimbangkan durasi dan urgensi. Adegan pelajaran tentang ‘tulang ekor manusia’ juga masuk dalam film. Itu kejadian luar biasa karena pertama kali Kepala Sekolah terlihat marah pada seorang guru karena berkaitan dengan Takahashi, murid yang tubuhnya sudah berhenti tumbuh. 


Ceritanya berlatar Perang Dunia II menggunakan perspektif anak-anak. Itu ditandai perubahan nuansa warna animasi yang beralih sedikit gelap. Bermunculanlah adegan bekal murid yang semakin sulit memenuhi aturan bekal makan siang siswa Tomoe dengan “sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan”. Makanan untuk penduduk pun dijatah. Ayah Toto-chan, seorang pemain biola terkenal, akan diberi beras, gula, dan kebutuhan lain hanya jika mau mainkan musik-musik masa perang di pabrik amunisi. Ayahnya bergeming.


Di mata Totto-chan, tak ada lagi penjual permen. Di stasiun kereta terdapat mesin penjual otomatis yang bisa mengeluarkan karamel. Setiap Totto-chan memasukkan koin, si mesin hanya mengembalikan uang perak lima sen Totto-chan. Tak ada karamel lagi masa itu. 


Bagi Totto-chan, Tomoe merupakan satu hal besar dalam hidupnya. Lingkungan yang memberi ruang besar untuk seumuran mereka. Bahkan kerap mereka janjian bermain di sana di waktu-waktu luar jam sekolah, semisal saat Totto-chan mengajak Yasuaki memanjat pohon. Suatu pagi, ketika aula dibersihkan dan Kobayashi bersila, Totto-chan berbisik, “Aku ingin mengajar di sekolah ini kalau sudah dewasa. Sungguh.” Kepala sekolah dan Totto-chan lalu menautkan kelingking mereka, penegasan perjanjian cara Jepang kuno. Sayangnya, sekolah yang dibangun memakai uang pribadi Kobayashi itu musnah dilalap api pada 1945 ketika Tokyo mendapat serangan bom.


“Sekolah seperti apa yang akan kita bangun lagi?” cetus Kobayashi, memandang api melalap sekujur Tomoe. 

 

***


CERITA TOTTO-CHAN sejak lama menggugah dunia lantaran mengangkat cerita pendidikan ala Kobayashi yang menyentuh jati diri setiap manusia. Dia memberi ruang yang nyaris tidak terbatas pada perkembangan anak. Setiap anak adalah unik adanya. 


Harapan itu pula yang mendorong saya menghadiahi Isobel buku bersampul keras ini kala usianya masih empat bulan. Semacam doa agar ia tumbuh seperti gadis kecil itu. Delapan tahun kemudian ia baru mulai membacanya. 


“Waktu itu belum mengerti semua ceritanya. Yang teringat itu semua muridnya dianjurkan (oleh Kobayashi) untuk mengenakan pakaian yang kusam,” kata Isobel. Pertimbangannya bahwa anak-anak akan lebih banyak bermain dan beraktivitas fisik lainnya. Itu juga sebab Totto-chan sering pulang dengan baju dan celana yang koyak.


Perkara pendidikan yang menjadi soal dalam cerita Totto-chan juga kemudian mendorong saya dan Piyo memutuskan Isobel cukup unschooling saja. Dalam banyak segi, sekolah formal masih menjadi monster baru bagi pertumbuhan kreativitas dan imajinasi anak-anak. 


Menonton atau membaca Totto-chan tak ubahnya melihat bagaimana seorang anak tumbuh dengan nyaris tanpa interupsi dari pihak yang ‘lebih tua’ dan atau ‘penguasa’ yang menetapkan hanya satu bentuk pendidikan. Totto-chan bersekolah dan berkembang dengan baik oleh lingkungan sekolah yang kondusif, yang memungkinkannya mendalami hubungan-hubungan sebagai manusia biasa yang menyentuh. Persahabatannya dengan Yasuaki membuat Totto-chan mendapat pengalaman tentang kehilangan. 


Totto-chan yang berdiri di jendela justru mengajak kami belajar di luar jendela. Semangat itu juga menguatkan kami dalam menemani Isobel tumbuh. Kami ingin dia berkembang menjadi sejatinya manusia. Ia harus belajar berkawan—menghormati yang tua dan mengayom sepantaran atau yang lebih muda, berusaha dan pantang menyerah dalam hal apapun, berempati, sampai mengalami perihal yang bernama kehilangan. 


***


PERKARA MENONTON film hasil adaptasi buku tidak pernah berhasil buat saya sebelum menonton Totto-chan. Tapi harusnya memang saya tidak membahas ini. Toh logika menikmati buku dan film memang berbeda. 


Tapi setidaknya kehadiran Totto-chan, melengkapi tontonan animasi saya pada tahun naga ini, usai beberapa bulan sebelumnya menyaksikan karya terbaru legenda animasi, Hayao Miyazaki, The Boy and the Heron yang rilis tahun 2023 lalu.


Agaknya, faktor animasi, bentuk yang dipilih untuk mengangkat ceritanya ke layar lebar, sangat membantu menjadikan Totto-chan sebagai adaptasi buku menjadi film yang sangat baik. Meskipun dalam Catatan Akhir buku Totto-chan bertitimangsa 1982, Tetsuko mengatakan, “Setelah buku ini terbit, aku didatangi perusahaan-perusahaan film, televisi, teater, dan film animasi yang meminta izin untuk memproduksi ceritaku. Pada saat itu saya berpikir bahwa gambaran yang diciptakan oleh orang-orang yang membaca buku di benak mereka akan selalu lebih baik daripada upaya untuk menjadikannya sebuah film.” 


Adegan-adegan Totto-chan sama menyentuhnya dengan adegan dari film-film produksi Ghibli. Salah satu yang membedakan adalah cerita Totto-chan yang faktual, sedang Ghibli bergenre fantasial. Bila menonton Ghibli, saya lalu berusaha mengasosiasikan tokoh-tokoh tertentu dengan keadaan nyata, seperti tokoh No Face yang kemunculan awalnya cenderung antagonis yang pelan-pelan tumbuh sebagai protagonis. 


“Lalu kali ini saya ditanya bagaimana perasaan saya menjadikannya film animasi. Menurut saya anak muda mungkin akan senang menontonnya. Saya tetap bahagia ketika pergi ke toko buku dan mendengar bahwa mereka memilikinya, dan saya menantikan kesan dari anak-anak yang sudah membaca buku tersebut. Belakangan ini, situasi dunia juga berubah dalam berbagai hal, jadi saya harap generasi muda yang menonton film ini akan menganggapnya menarik," kata Tetsuko.


Saya jarang menonton di bioskop. Tapi saya cukup gampang menandai film yang menarik buat saya. Pada setiap nama-nama kru film muncul di ujung film, saya akan selalu duduk lebih lama—seperti tak rela mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu yang berharga.


Dari Totto-chan saya belajar: masa kecil yang indah bisa setara dengan dongeng. Dan kisah nyata Tetsuko ini segera menjelma sebagai dongeng yang klasik bagi banyak anak-anak di seluruh dunia.[]


 

Referensi:

https://nantejapan.com/tetsuko-kuroyanagis-autobiographical-book-totto-chan-the-little-girl-at-the-window-to-be-adapted-into-an-animated-movie/

Komentar

  1. Keren sekali..... Selalu ku tunggu ulasan film/bukunya... Sukses ki 🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer