Gegap Media, Gagap Narasi Sejarah
DALAM sepekan, 3 – 9 November 2024, pecinta seni di Makassar menikmati 24 karya eksperimentasi dan lintas media di Festival Komunitas Seni Media (FKSM) di Fort Rotterdam, Makassar.
FKSM merupakan forum dialog dan proses pertukaran budaya, pengetahuan, serta jejaring seni media di Indonesia bermula di Bandung (2015-2016), Pekanbaru (2017), Palu (2018), dan Samarinda (2019) ketika masih disebut Pekan Seni Media. Perubahan nama dan format menjadi FKSM mulai diselenggarakan di Bengkulu (2022) dan Lombok (2023).
Menurut Direktur FKSM, Yudi Ahmad Tajuddin, gelaran di Makassar berbeda dengan tahun sebelumnya di Lombok, yang disaji dalam ruang kubus putih tertutup (white cube). Di Makassar, partisipan FKSM berdialog dengan situs Fort Rotterdam, benteng berbentuk penyu seluas 3 ha yang dibangun oleh Raja Gowa X, Karaeng Tunipalangga Ulaweng, pada tahun 1545.
Benteng ini tak hanya menyimpan ingatan dan sejarah kolonial, namun juga arsip yang mencatat dan memantulkan proses perubahan sosio-kultural di Makassar atau di Indonesia secara umum.
Karena itu, FKSM 2024 menawarkan tajuk “Jelajah Jala” bagi seniman dan komunitas terpilih menjadi fondasi mereka membuat karya berdasarkan dialog dengan ruang-ruang di situs ini, mulai sejarah kolonial secara luas, mitologi dan tradisi, kultur maritim, serta tentu saja dengan media dan teknologi (dalam banyak bentuk dan pemaknaannya).
Kerangka kuratorial ini lalu diterjemahkan lewat 24 karya, yang melibatkan 7 seniman individual, 4 kolektif, dan 13 karya kolaborasi. Sebagian besar karya ini mencoba beradaptasi, berdialog, dan mengaktivasi secara kritis spasialitas Benteng Rotterdam. Selain sedang menunjuk semangat ‘jelajah’, hal ini juga sebagai upaya pemaknaan bahwa ruang pada dasarnya memiliki agensi yang mengkoreografi (membentuk) cara berada serta bentuk kehadiran objek-objek dan tubuh artistik.
Kerangka kuratorial “Jejalah Jala” ini tampaknya memang berhasil ‘menangkap’ pengunjung. Menurut beberapa sumber resmi, yang memirsa FKSM 2024 mencapai 36 ribu. Berdasarkan amatan saya hingga hari keenam, rerata wajah-wajah yang lalu lalang di luar dan dalam ruang pamer usia 30 tahun ke bawah.
Angka ini fantastis. Bisa jadi ini angka rekor tertinggi untuk gelaran pameran seni rupa di Makassar. Obrolan yang berkali-kali sampai ke telinga saya bahwa diperkirakan yang datang adalah para pengguna media sosial Tiktok. Karena FKSM, katanya lagi, juga memakai Tiktok untuk menyiarkan dan promosikan pameran ini. CNN Indonesia (Oktober 2024) menyebut, Indonesia adalah pemegang rekor pengguna tertinggi di dunia, mencapai 157 juta user.
Tapi kesan keberhasilan pameran ini tampak hanya terfokus pada jumlah pengunjung. Masih kurang membicarakan pada bagian bagaimana karya-karya di FKSM berdialog dengan publiknya.
“Ya begitulah kalau kita ada di rezim administratif. Ukuran kita adalah ukuran statistik semacam itu,” tanggap Agung ‘Leak’ Kurniawan, dalam obrolan saya di Yogyakarta, 12 November 2024.
Perihal administrasi pula yang konon membuat benteng tampak bagai kapal oleng dan berat sebelah. Penonton tumpah hanya di bagian utara benteng. Karya seluruhnya disaji di dalam bangunan sisi ini hingga menjalar sampai ke Bastion Amboina. Sekitar Museum I La Galigo justru melompong dan sepi.
Fragmen karya Gema Masa berlatar Hujan Khatulistiwa (Foto: Anwar Jimpe Rachman) |
SELAMA tujuh hari, FKSM 2024 sangat terasa gegap medianya. Tapi, sayangnya, gagap pada beberapa narasi sejarah lokalnya.
Gegap Media
Memasuki pintu gerbang Benteng Rotterdam, kita segera bertemu karya-karya yang memadupadankan ragam elemen; yang kasatmata dengan kenyataan/benda digital, dari kekriyaan sampai yang virtual, saling lintas dan memintas dalam ruang-ruang yang solid dan selesai terukur (indoor) dan merespons ruang terbuka (outdoor) yang tanpa batas. Semua itu terasa mendorong kita lebih jauh ke waktu dan keadaan yang kita selalu sebut sebagai suasana masa depan.
Karya-karya tersebut asing sekaligus akrab. Bagian-bagiannya adalah benda-benda yang separuhnya (atau lebih) ada di depan kita, tapi juga sekaligus, mungkin, mengagetkan kita pada rupa yang belum sempat dibayangkan namun sudah tersaji di depan kita.
Ada terasa gagap kita berhadapan dengan seni yang menyajikan media yang begitu gegap juga gempita, terutama pada unsur teknologi digital.
Tapi beberapa karya juga berdialog dengan pengunjung dengan terbata-bata dan tidak sepenuhnya utuh. Kendalanya pada kemungkinan daya listrik yang putus atau turun (mengharuskan satu dua elemen karya sedang dalam perbaikan). Mutlaknya pada masa teknis.
Gagap Sejarah
Narasi sejarah formal pemerintah mencuat kembali. Ini muncul sejak pembukaan, ketika Gema Masa dipentaskan. Pertunjukan lintas media ini merupakan kolaborasi Tomy Herseta x Convert.id dengan Fitriya Ali Imran, Basri B Sila, dan penari-musisi Makassar. Di situ mengemuka lagi ungkapan dan ekspresi ‘luka’ akibat Perang Makassar (1666-1669), baik lewat narasi yang dilontarkan sosok passinrilik yang duduk di kiri atas karya Hujan Khatulistiwa (Iwan Yusuf & Nara Lab) maupun gestur dan kosa gerak dari para penari di lapangan rumput.
Selintas juga muncul dalam Buru (Mira Rizki & Tomy Herseta). Dalam lembaran petunjuk, hadir sosok berkuda serupa patung Sultan Hasanuddin di depan Benteng Rotterdam. “Dia penunggang kuda. Terlihatkah dia? Jasanya luar biasa. Nyalinya besar melawan kapitalisme lama”, tulis lembaran petunjuk karya ini.
Sejak awal tahun 2000, terutama ketika karya Leonard Andaya, Warisan Arung Palakka (2004) terbit, sejarah versi pemerintah yang melantik Sultan Hasanuddin sebagai pahlawan mendapatkan wacana tanding dengan hadirnya sosok Arung Palakka dalam buku tersebut. Masih perlukah kita berkubang dalam perdebatan siapa pahlawan dan pengkhianat, sementara Indonesia yang definitif belum tercipta? Yang ada dan hadir dalam perdebatan ini hanyalah dua sosok merupakan pemimpin kerajaan (baca: negara), yang berdiri berseberangan, membela kepentingan masing-masing.
Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka adalah dua tokoh kunci sejarah Perang Makassar (1666-1669). Benteng Ujung Pandang yang dibangun Raja Gowa Tunipalangga pada pertengahan abad ke-16 harus berpindah tangan ke Belanda begitu Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 ditandatangani.
Pasca Perjanjian ini, banyak sumber menyebut terjadi diaspora besar-besaran. Rombongan kapal dalam beberapa keberangkatan mengembangkan layar menuju negeri-negeri di balik cakrawala. Mereka enggan tunduk pada perjanjian itu dan membangun harapan mereka sendiri. Sedang beberapa gelintir yang tinggal beranak pinak, narasi ‘kekalahan’ dilestarikan menjadi daya ungkap dalam ekspresi seni dan kebudayaan.
Beberapa tokoh yang saya kenal pun masih enggan menyebut ‘Benteng Rotterdam’, yang merujuk pada nama kota kelahiran Cornelis Speelman. Mereka lebih memilih nama lamanya yakni ‘Benteng Ujung Pandang’.
Gagap Lainnya
Kegagapan lain muncul pada satu bagian karya Welenreng: Chaos and Order (Abdurrahman Abe, Ahmad Irfan, Fitriya Ali Imran, Uto Amrullah, Zainal Beta). Meski tanpa bantuan videomapping karya ini (dalam perbaikan saat saya masuk), tapi lukisan tanah Zainal Beta tentang Welenreng menuntun imajinasi saya tentang pohon raksasa yang menjulang di lanskap I La Galigo itu.
Sayangnya, imajinasi Welenreng ini lantas terganggu dan seketika patah saat mengarahkan mata ke dinding kanan yang memamerkan lukisan pinisi Zainal Beta yang berlayar dengan bendera merah putih.
Apakah kekacauan (chaos) ini yang memang dituju karya kolaborasi tersebut? Apakah masa-masa I La Galigo, yang konon, eksis sejak abad ke-13 itu harus menampung pula fragmen yang ‘tak serumpun’ dari abad ke-20 dan 21?
Beberapa gelintir kegagapan tadi terasa mencerminkan bagaimana adaptasi dan dialog kita dengan sangat keras atas gegapnya perkembangan media.[]
Komentar
Posting Komentar