Membayangkan Merentang Benang dari Makassar ke Kota Lain
Mari membayangkan, bila kita merentang seutas benang
rajutan, sambung-menyambung, dari Lapangan Karebosi hingga Kota Maros, maka
kita membutuhkan 70 gulung benang (segulung 350 meter). Nah, mari juga
membayangkan benang itu dirajut menjadi kain. Jika kain tersebut dibalutkan ke
sebatang pohon, maka gambaran yang bisa kita dapatkan adalah sebatang pohon mangga
arum manis di depan Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar,
yang dibalut selama dua hari, 23-24 Juni 2012.
Pohon mangga di depan Kampung Buku (foto: Anwar J Rachman) |
Ragam warna itu adalah kain hasil rajutan Quiqui’—nama
komunitas perajut di Kota Makassar. Para anggota Quiqui’ mengerjakan rajutan
itu sejak dua bulan lalu. Aksi itu sebagai serangkaian Festival Rajutan
Indonesia yang akan berlangsung di Bandung, 30 Juni - 1Juli 2012.
Quiqui’ dengan berani menyatakan bahwa itu adalah pola
lain dari seni grafiti. ‘Grafiti benang’ namanya. Kalau disebut demikian, saya
akan menjadi pendukung utama mereka. Saya membayangkan, benang itu akan melewati
belokan, tanjakan, turunan, dan persimpangan yang ramai kendaraan ketika menuju
Kota Maros. Dalam perjalanan perentang benang itu, mereka akan menyaksikan jalan
rusak, pohon tumbang, dan baliho yang begitu marak dan dengan janji-janji
mereka masing-masing.
Quiqui’ telah mengajak kita berpikir bersama terkait banyak
hal yang terjadi di Makassar. Mereka telah menyatakan sesuatu yang luput kita
pikirkan. Sebagai warga kota, anggota Quiqui’ juga memberi perhatian besar pada
ranah kota dengan melakukan hal-hal sederhana.
Mari membayangkan kembali perjalanan benang tak putus
itu menuju Maros. Benang rentangan itu akan melewati persimpangan Tol Reformasi
dan Jalan Andi Pangeran Pettarani. Mari berhenti sejenak di ujung Kilometer 4
ini. Luruskan pandangan Anda ke selatan, ke arah Universitas Negeri Makassar.
Apa yang terlintas di kepala kita?
Yang tampak bagi kita bisa jadi adalah ruas Jalan AP
Pettarani, salah satu dari sekian jalan di Makassar yang paling sering
direnovasi. Pemerintah melebarkan jalan ini satu dua tahun lalu. Belakang
mediannya diperbaiki. Begitu selesai, entah kenapa, pembatas jalurnya
diperbaiki lagi. Bahkan lebih parah; beberapa pohonnya malah ditebang!
Pohon yang tumbang di Jalan AP Pettarani. Foto direkam pada 11 Mei 2012. (foto: Anwar J Rachman) |
Jalan AP Pettarani berada di sekisaran kawasan
Kecamatan Panakkukang, daerah perdagangan barang dan jasa di Kota Daeng. Di
sana berdiri megah ruang pamer agen mobil dan motor, swalayan, Kantor DPRD
Makassar, juga sejumlah hotel. Setiap perhelatan berskala regional, nasional,
dan internasional, jalan itu akan penuh dengan baliho dan spanduk. Jalan ini
pun kerap diramaikan bendera-bendera partai. Belum lagi pariwara-pariwara
produk yang juga dalam bentuk bentangan baliho. Kota terasa kian sesak bila
jalan itu macet, utamanya di jam sibuk atau ketika hujan turun. Pikir-pikir,
kok justru macet kalau hujan? Apa karena warga kota ini main hujan-hujan ya?
Pengelolaan jalan bagi saya sebagai cerminan bagaimana
Pemerintah mengelola kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan. Ini bukan skala
Makassar saja. Di pusat kota kabupaten pun nyaris mengalami hal serupa. Bila
Anda punya kesempatan jalan-jalan ke luar kota Makassar, Anda akan bertemu hal
yang sama. Baliho dengan wajah tersenyum ramah mengenakan kemeja dan dasi akan
menyambut laju kendaraan tumpangan Anda. Bentangan vinyl lain yang bergambar pria berpeci atau perempuan berkerudung
seakan memberi takzim pada Anda sampai ke tujuan.
Suasana ini bukan gembung balon tanpa isi. Dalam
berita-berita online maupun media cetak, baliho yang marak sudah sangat
mengganggu. Di ruang maya twitter.com
marak umpatan warga Makassar soal ini. Hal serupa terjadi di dalam media cetak.
Teguran-teguran tentang ini sudah pernah dilayangkan. Kebanyakan baliho yang
tampil ke umum itu tanpa stempel Dinas Pendapatan Daerah. Ini benar-benar ruang
menunjukkan cengkeraman penguasa. Karena baliho-baliho yang tumbuh itu, ya gambarnya
foto-foto siapa yang berkuasa masa sekarang.
Kembali, mari kita membayangkan benang itu harus
sambung-menyambung, saling berkesinambungan. Begitu pula kiranya pembangunan. Perlu
kajian matang dan memerhatikan segala segi kehidupan masyarakat. Baliho mutlak
merampas ruang-ruang para pejalan kaki dan ruang-ruang lowong lainnya yang
diperuntukkan bagi warga.
Sekarang
apa yang tersisa? Mari coba merentang benang lagi dari Lapangan Karebosi dan ke
kota lain. Apakah berbeda dengan yang kita saksikan?[]
Komentar
Posting Komentar