Kebangkitan Kedua Matthes
Benjamin Frederik Matthes adalah manusia dari abad ke-19. Namun dalam kurun dua dasawarsa terakhir, penyusun epos kolosal I La Galigo ini bangkit untuk kedua kalinya.
Kali ini, sosoknya hadir utuh dalam bentuk novel Matthes. Sang penulis, Alan TH, meracik ramuan cerita yang bergerak maju, mulai tahun 1845 ketika pemuda Matthes dikirim oleh NBG (Nederlansch Bijbelgenootschop—Lembaga Alkitab Belanda), untuk misi menerjemahkan Alkitab ke bahasa Bugis dan Makassar, bahasa penghuni wilayah Celebes Selatan.
Usai menikahi CE Engelenburg, teman masa kecilnya, dua pekan kemudian Matthes berlayar tiga bulan dari Amsterdam menuju Celebes Selatan, Hindia Belanda. Singgah di Batavia, ia menemukan potongan I La Galigo di berkas peninggalan pendeta WCH Toewater.
Penggalan tersebut menyadarkan Matthes perihal kadar sastranya yang tinggi. Ia pun merenung: menerjemahkan bukan semata mengganti kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lain. Untuk ke taraf itu lelaki kelahiran Amsterdam 16 Januari 1818 ini mesti masuk ke gerbang kolosal I La Galigo bila ingin mengerti budaya masyarakat penutur Bugis dan Makassar. Karena itu, tugas menerjemahkan Alkitab ia kesampingkan sementara.
Kebangkitan Matthes kali ini berbeda dibanding yang pertama, yang dipercik oleh Robert Wilson tahun 2004, ketika teater musikal I La Galigo disajikan kepada dunia. Seluruh basis materi karya itu berasal dari mitologi I La Galigo. Epos ini dipandang seperti Homerus, Iliad, dan Odysseus sebagai cerita antropomorfisme, konsep yang memberi bentuk baru dalam kehidupan dewa menjadi manusia biasa.
Matthes lantas mulai dikenal sejak itu. Namun kebangkitannya sebatas nama, tanpa cerita dan sejarah. Waktu yang merambat seratusan tahun pelan julur-julurnya menutup figur ini. Sosoknya, paling banter, hanya dikenali lewat arsip potret hitam putih dalam di buku tertentu maupun arsip yang beredar di dunia digital nan maya.
Novel ini mengisi fragmen panjang yang selama ini hilang dari relung sejarah tentang Matthes, orang-orang yang hidup di sekitar tokoh mahapenting ini, gejolak politik kolonial di Hindia Belanda dari sudut pandangnya, juga perjuangan doktor bahasa ini menyisir wilayah Celebes Selatan yang penuh bahaya.
Awalnya I La Galigo tersebar lisan dan tercatat di banyak penjuru dan sumber. Sebaran naskah itu dikumpul dan disusun ulang Matthes bersama Colliq Pujiè (sekaligus judul sekuel novel ini). Keduanya bertemu di Barru pada 1953.
Arung Pancana Toa, nama kehormatan Colliq Pujiè, merupakan ratu yang kehilangan hak atas takhta Kedautan Tanete karena penentangan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Ia diasingkan di Makassar. Di rumah eksilnya, Colliq Pujiè dan Matthes menyalin dan mengumpulkan sepenggal demi sepenggal I La Galigo hingga mencapai 225,000 bait.
Seabad kemudian, akhir dekade 1980, ke-12 jilid naskah I La Galigo di KITLV Leiden, Belanda, mulai dikerjakan oleh para filolog kawakan mendiang Muhammad Salim, Fachruddin AE, Nurhayati Rahman, dan koleganya. Tahap ini lalu disambung dengan pementasan karya Wilson
Sejak itu, pelan-pelan, khalayak mulai tahu bahwa Nusantara memiliki kekayaan budaya yang agung. I La Galigo disebut sebagai epos terpanjang di dunia. Materinya sekurangnya 225 ribu larik puisi dalam 6000 halaman dan 12 jilid yang dihasilkan masyarakat Bugis, etnis yang berdiam di jazirah selatan sebuah pulau berbentuk unik.
Gerbang Kolosal
Proyek kerja kolosal penerjemahan I La Galigo dua tokoh ini adalah tualang membangun memasuki gerbang untuk fondasi kebudayaan pengetahuan di Sulawesi Selatan. Kerja perintisan inilah yang kelak kita warisi hingga sekarang.
Dengan kawalan tentara kolonial, Matthes memulai ekspedisi pencarian I La Galigo ke wilayah Bantaeng dan Bulukumba, di timur Makassar. Dalam perjalanan, ia dihadang sepasukan pemberontak—pengikut bangsawan yang disisihkan kolonial. Tiba di sana, ia dapat kabar bahwa ada ratu yang cendikia di negeri Tanètè yang lebih paham tentang I La Galigo.
I La Galigo ibarat sungai besar yang memiliki anak sungai yang begitu banyak—jika tidak bisa disebut tak terbilang jumlahnya (hal. 322). Bergelut dengan I La Galigo mendorong Matthes lahirkan tidak kurang 30-an karya bahasa, kesusastraan, etnografi, geografi, dan berbagai topik tentang Bugis dan Makassar
Ini dibenarkan oleh filolog, Prof Muhlis Hadrawi bahwa dua belas jilid yang berhasil dikumpulkan adalah karya yang belum selesai. Ini serupa perkiraan RA Kern bertahun-tahun sebelumnya bahwa ini baru sepertiga dari keseluruhan.
Lewat Matthes, kita memasuki cerita perintisan menyusun I La Galigo yang terserak itu dilengkapi tamasya panca indera yang lebih lengkap, ketimbang membacanya riwayat yang diramu Koolhof (1995: 5) dalam I La Galigo Jilid 1. Menikmati dalam ramuan sastra jelas berbeda dibanding membacanya lewat kertas kerja akademik yang lebih ‘dingin’.
Figur Pinggiran Lain
Novel ini sekaligus menghadirkan banyak persilangan nasib Matthes, meski sebentar, dengan tokoh-tokoh penting tapi berada di pinggir sejarah, seperti Mr Mesman. Nama pengusaha keturunan Makassar – Belanda ini juga muncul dalam The Malay Archipelago, karya legendaris Alfred Wallace. Mesman juga membantu Wallace dalam ekspedisi ke Sulawesi Selatan, seperti yang dilakukannya untuk Matthes.
Dari Mesman pula kita tahu bagaimana Pangeran Diponegoro diperlakukan oleh pemerintah Belanda. Menurut Mesman, “tawanan dari Jawa” itu dipindahkan dari Manado ke Makassar menggunakan kapalnya “tapi tidak boleh disebutkan dalam dokumen perjalanan” (h. 387). Bahkan Matthes yang dua tahun hidup di dalam Benteng Fort Rotterdam baru tahu di lingkungan yang sama juga ada tahanan bernama Pangeran Diponegoro (hal. 279).
Matthes bukan hanya tentang I La Galigo, tapi juga tentang lembaga pendidikan pertama di Makassar. Bersama LW Schmidt dan HW Bosman, ia mendirikan Kweekschool di Makassar pada tahun 1876, dibuka untuk guru pribumi dan untuk mendidik pada juru bahasa di Makassar (Husain, 2015: 74).
Kita harus berterima kasih pada Alan TH yang menghadirkan satu tokoh utama dunia pengetahuan di Nusantara lewat Matthes—baik sebagai pemuda yang mencintai pengetahuan bahasa; suami yang sering suntuk menekuni teks-teks dan bolak-balik ke perpustakaan; maupun lelaki, yang tampaknya cukup nekat, melakukan perjalanan jauh ke relung selatan Pulau Sulawesi yang penuh golak.
Alan mengajak kita memasuki proses kerja Matthes menjawab pertanyaan tokoh Kali Gowa, yang kontekstual dengan Indonesia mutakhir: apa yang membuatnya tertarik dengan La Galigo, sedang Matthes adalah misionaris?
“Keyakinan dan pengetahuan, itu dua wilayah terpisah,” jawab Matthes.
Judul : Matthes
Penulis : Alan TH
Tahun : November 2024
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Ukuran : vii + 443 halaman; 13,5 x 20 cm
ISBN : 978-623-134-218-8
Catatan: Tulisan ini terbit di Kompas edisi 19 April 2025
Komentar
Posting Komentar