Pengalaman di Kantor Pemerintah

Setiap warga tak bisa mengelak berurusan dengan instansi pemerintah, mulai dari kantor-kantor yang menangani soal khusus, sampai di bagian terkecil seperti kelurahan. Ada yang bisa menghindar, tapi tak sedikit pula yang cuma bisa pasrah dan ‘mengabdi’ pada kekuasaan yang ditunjukkan orang-orang yang bekerja di dalamnya.

SUDAH lama saya memendam keinginan, satu waktu nanti saya ingin berkunjung ke Kantor Arsip Nasional di Jl Perintis Kemerdekaan Km-10 Makassar. Tentu menyenangkan melihat, menyimak, dan membaca bukti tertulis-tercetak dari masa lampau terendap sampai kemudian dapat saya baca dan lihat di tempat tersebut.
Harapan itu terbayar. Untuk keperluan penerbitan sebuah buku kajian filologi, saya berkesempatan ke sana, ditemani Armin, seorang teman yang fotografer. Tujuan kami memotret naskah dan gambar yang ada dalam lontara sebbo' atau naskah lontara Bugis kuno khusus, Assikalaibineng (kitab persuami-istrian), berlubang tepat di bagian gambar alat kelamin perempuan. Di kantor itu sudah menunggu pula Muhlis Hadrawi, salah seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Di ruang selebar 4 meter berpendingin, Muhlis bersibuk mencari deretan gambar yang akan dijepret. Mikrofilm yang tergulung layaknya pita mesin ketik, hanya mesti diputar manual dari kanan ke kiri atau kiri ke kanan. Rangkaian gambar kecil yang ada dalam gulungan tersebut dipancari sinar dari bawah, sehingga tampil jelas di layar Canon Reader, mesin pemindai yang selintas serupa komputer. Dalam pencarian gambar, kami dapati bagian mikrofilm yang berair. Untungnya bukan bagian yang hendak difoto. “Mungkin karena suhunya tidak sesuai,” ujar Muhlis.
Gambar kami dapat. Armin pun menjepret. Usai kokang kamera ditekan sampai tiga kali, seorang pegawai perempuan berkerudung memanggil Muhlis Hadrawi, seorang dosen Unhas yang sepakat bertemu kami di sana. Saya agak curiga. Jangan-jangan penyakit awam kantor-kantor pemerintahan kumat. Tapi saya pura-pura mengabaikannya seraya melanjutkan sibuk bersama Armin yang mengarahkan moncong kameranya ke layar Reader.
Dugaan saya benar. Di balik sekat setinggi semeter, si pegawai perempuan menjelaskan ke Muhlis perihal Kantor Arsip punya peraturan baru. Sekali jepret sepuluh ribu rupiah, katanya. Muhlis yang merasa sebagai pengunjung tetap dan tak pernah mendapati masalah seperti ini, langsung protes. "Bisa tunjukkan peraturannya (tertulis), Bu?"
Si ibu yang dimintai mengiyakannya. "Nanti saya kasih lihat ki’," tanggap si ibu.
Lembaran peraturan yang ditunggu tak kunjung ditunjukkan. Tapi si ibu melanjutkannya lagi, "Saya hanya memberitahu bahwa ada peraturan baru berlaku sekarang biar tak ada masalah nanti kalau sudah selesai (pemotretannya)," katanya.
Muhlis mengangguk. Ia segera beringsut dan bergabung dengan kami yang menunggu film lain ditayang lalu dijepret. Sementara si ibu rupanya duduk tak lama di meja tersebut. Ia segera pergi ke belakang. Yang tertinggal di kantor sempit memanjang itu hanyalah seorang ibu separuh baya di meja tempat si jilbab di bagian kiri, juga suara percakapan tiga siswi sekolah menengah atas di depan satu unit komputer di sebelah kanan kami. Sepertinya mereka sedang praktik kerja lapangan.
Armin menjepret lagi. Muhlis kembali mencari gambar yang diperlukan. Tapi si ibu yang mengawasi kami menegur kalau sekali jepret harus bayar sepuluh ribu rupiah. Meski disibukkan oleh keharusan mencari gambar yang hendak diabadikan, Muhlis protes. Kali ini dia agak gerah dengan redaksi kalimat ‘sekali jepret’. Harusnya ‘setiap gambar’. Soalnya “Kami hanya pilih gambar yang baik untuk dipakai, Bu,” cetus Muhlis.
Si ibu sepertinya hendak membantah pernyataan Muhlis. Namun ia tampak juga maklum dengan penjelasan lelaki perawakan kecil itu. Akhirnya ia menyerah, “Ah, saya tidak tahu memutuskan. Mending Bapak tanya Ibu (jilbab),” ujarnya, singkat.
Singkat cerita, pekerjaan itu pun selesai. Kami berkemas. Segera keluar dengan berpamit pada orang-orang yang ada di kantor tersebut. Saya dan Armin menyegerakan keluar dari kantor tersebut. Rencana awal untuk berlekas mencari makan kami urungkan. Siang begitu terik. Kami sepakat berhenti sebentar untuk menghindari panas berlebihan; lantaran baru saja berada di udara yang begitu sejuk. Kulit akan terasa kering, begitu kilah saya. Armin ikut saja.
Sekitar 10 menit kemudian, Muhlis keluar dari pintu menuju mobilnya. Saya dan Armin berteduh di bayangan pohon menunggu pete-pete. Muhlis menghentikan mobilnya dan meminta kami naik. Dalam perjalanan, Muhlis mengaku terpaksa membayar sekitar 50 ribu rupiah untuk lima gambar. “Ah sudahlah, rasanya naskah itu sebaiknya dikembalikan saja ke Unhas. Kok mengakses naskah sendiri susah begitu,” katanya. Nada marah terasa dalam pernyataan itu.
Kedongkolan Muhlis rupanya beralasan. Naskah-naskah Bugis kuno tersebut awalnya diamankan oleh Unhas. Namun ketika Kantor Arsip Sulawesi Selatan di bawah manajemen Muhlis Paeni, naskah tersebut diboyong ke Kantor Arsip untuk diamankan. Biar akses masyarakat terhadap naskah mereka lebih leluasa. “Tapi kalau begini, wah malah tambah susah,” ujar Muhlis.
Kantor pemerintah seperti Kantor Arsip makin eloklah kalau saja mengutamakan dan meningkatkan pelayanannya untuk warga. Sesungguhnya, tugas instansi tersebut tak lain sebagai pihak yang menjagai dan mengawetkan naskah lama. Makin mudah warga mengaksesnya, berarti tambah ringan juga tugas para pegawainya. Bukankah dengan banyaknya warga yang mengabadikan dan menyimpan naskah tertentu berarti pula makin kecil pula punah dan hilangnya naskah yang bersangkutan?
Dari penjelasan Muhlis pula saya paham bahwa rupanya setiap pengunjung kantor tersebut biasanya membayar Rp5.000 untuk masuk mengakses data yang ada di sana. Perihal aturan ini, saya pikir, sekadar uang kebersihan tak mengapalah memberi sekadarnya. Namun untuk sampai menetapkan aturan seperti pengenaan biaya saat memotret sangatlah tak beralasan apalagi tanpa aturan tertulis.
Begitulah yang kerap terjadi di kantor-kantor pemerintah, ada ‘aturan baru’ dalam bentuk pelisanan, tapi tiada tulisan, yang coba ‘ditegakkan’ oleh aparatusnya. Namun di kantor kelurahan, saya menemuinya lain. Justru mereka meminta dengan terus terang dengan dalih ‘uang administrasi’, seperti yang akan saya ceritakan dalam paragraf-paragraf berikut.

HANYA berselang sekitar 10 hari setelah kejadian di Kantor Arsip Nasional itu, kejadian yang serupa tak sama saya dapati di Kantor Lurah Tamalanrea yang ada di gerbang permukiman Bumi Tamalanrea Permai, ketika saya mengurus satu surat pengantar. Syarat untuk mengambil surat itu yakni diharuskan menyelesaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) rumah yang menjadi alamat dalam kartu penduduk saya.
Jelas saya keberatan. Sejak sekitar 2005, rumah itu sudah dijual keluarga saya. Nama pun di alamat itu bukan lagi nama salah seorang anggota keluarga saya. “Nanti Bapak yang baku atur sama yang punya rumah,” ujar si pegawai, seorang perempuan setengah baya. Kok urusannya dilimpahkan ke saya, kata saya membatin. Tapi tak apalah. Untuk sekali ini saja. Urusan ini makin lama makin berbelit.
Selesai saya lunasi, si ibu sambil menera stempel kelurahan di bagian nama kepala kelurahan, dengan blak-blakan meminta ‘uang administrasi’ sebesar Rp20 ribu. Saya hanya anggukan saja dan merogoh kantong. Hari begitu terik. Surat itu sudah sangat saya butuhkan. Saya tak bisa berpikir panjang lagi untuk mempertanyakan lagi soal beginian. Semua sudah biasa. Semua itu sudah berjalan bertahun-tahun.[]

Komentar

Postingan Populer