Kopi Hitam dan Iklan yang Lalu Lalang

[catatan pertemuan pertama]

Kurang lebih dua pekan ini, saya nimbrung dengan teman-teman di ACSI. Mereka sedang merancang penulisan sebuah buku tentang Pasar Terong dan dinamika hidup di dalam pasar tradisional itu. Saya nimbrung bukan berperan sebagai penulis. Melainkan pembaca 'judes' yang mencereweti data dan menentukan batas waktu.
Peran terakhir ini sebenarnya muncul disebabkan keprihatinan saya melihat progres kegiatan ini. Alangkah sayangnya buku itu tidak selesai. Padahal, kata saya lagi, buku ini diperlukan untuk mendukung pendampingan yang dilakukan ACSI. Betapa dahsyatnya, begitu pikir saya, pendampingan [baca: gerakan] didukung oleh tulisan atau mungkin juga sebaiknya.
Karena tidak turut sejak awal kegiatan, saya harus mengikuti suasana dan apa saja namanya yang berkaitan dengan kegiatan ini. Untuk memudahkan pekerjaan, dalam pertemuan pertama di Kantor Penerbit Ininnawa [19/5], kami menggeledah perkembangan tiap tulisan. Sudah sampai di mana kabarnya. Sekaligus menengok kendala apa yang membuatnya tak sampai-sampai di tujuan.
Pertemuan ini tentu saja punya "rukun iman": satu kopi hitam, dua nyamuk, dan bonus "iklan". Bonus ini lalu lalang mengganggu konsentrasi pada penulis. Kok iklan? Iya, semacam apa ya... mahasiswi Nitro yang ngekos di samping kantor. Ya wajarlah kalau bukan pertanyaan yang muncul. Tapi: suit-suit, ehem, nananana..., dan sebagainya. Bangunan kos-kosan tetangga Penerbit itu selalu disalahkira. Teman dan tamu yang datang selalu mengiranya gudang. "Iye, gudang memang, gudang cewek," begitu jawab saya selalu.
Ditentukanlah pengumpulan tulisan tahap pertama untuk melihat perkembangan per tulisan. "Kumpul Senin, tinggal me-review besoknya. Pasti akan lama kalau dibacanya pas pertemuan," begitu kata saya.
Nah, dua hari terakhir ini saya suntuk membaca beberapa tulisan yang dikirim lewat e-mail. Terakhir ketika catatan ini singkat ini saya tulis, giliran paragraf-pragraf kiriman Kanda Kak Ishak Salim yang saya baca.
Proses ini sangat cepat, rasanya. Wandi yang pertama mengirimi saya tulisannya, langsung saya kirim balik sekira tiga jam setelahnya. Disambung oleh kiriman Muslinah, yang disusul Ais. Sayangnya, tulisan kiriman Ais saya kirim balik dan memintanya memasukkan saja di tulisan Inah.
Saya minta memasukkannya sendiri di tulisan Inah karena peran saya di sini hanya membantu menentukan deadline. Bukan editor. Alangkah baiknya kalau tulisan itu diselesaikan sendiri oleh para penanggungjawabnya. Jadi mohon maaf buat Ais.. :-)
Tapi, rupanya, sehari kemudian, saya baru sadar kalau saya berbuat keliru. Karena secara beruntun, saya dikirimi dua tulisan dengan topik yang sama dari Ishak dan Abi, Habibi dan Randi.--seperti cara Abi. Jadi mohon sabar, saya akan baca segera tulisannya Ais.

Komentar

Postingan Populer