Di Pasar Ambon; Bau-Bau 2006

Di tiga titik Kota Baubau, Buton-Sulawesi Tenggara, Lorong PK (sekitar Jl Betoambari) La Mangga, depan Pasar Karya Nugraha Jl Batara Guru, sepanjang Jl Jembatan Tengah terdapat keramaian kecil yang oleh warga biasa disebut “Pasar Ambon”.

Sejak pukul 16.00, beberapa penjual di Lorong PK sibuk mengatur lauk jualan mereka. Di los-los kecil yang berderet di kiri kanan jalan itu tersaji Kasoami (kukus parutan ubi kayu), ikan bakar, tahu goreng berbumbu, dan lauk lainnya yang mengundang selera.
Kasoami adalah salah satu bentuk makanan pokok masyarakat Buton, selain jagung dan beras. Rasanya tak beda dengan makan nasi ketan karena sedikit liat. Kasoami yang dijajakan di Pasar Ambon sudah dibentuk seperti tumpeng, meski ukurannya jauh lebih kecil. Tak beda dengan nasi, mencicipi kasoami bisa dengan lauk seperti ikan, sayur, sambal, dan penganan lainnya. Untuk orang seperti saya yang sehari-harinya makan nasi, kasoami sepertinya sangat cocok untuk jadi sarapan. Sangat enak!
Setelah kekenyangan menikmati kasoami, saya bergerak ke los terujung pasar. Di sana berdiri Yamin. Sejak tadi berdiri saja menjagai makanan yang dijajakannya bersama adiknya, Mulyana. Menjelang dan lepas magrib, pengunjung yang datang ke Pasar Ambon makin banyak. Ada beberapa pengendara yang tampaknya baru pulang dari kerja membeli dan membawa bungkusan; mungkin membawa lauk untuk teman makan malam di rumah.
Ia masih menunggu ibunya, Ica, yang belum datang dari rumah. Pemuda yang mengaku menganggur sejak menamatkan sekolah menengah atasnya itu kini sehari-hari hanya membantu ibunya berjualan di pasar yang berada di Lorong PK itu. “Biar adikku saja yang kuliah. Saya bantu ibu jaga. Kami gantian jaga karena mama saya masih di rumah,” ujarnya tersenyum, malu-malu.
Namun di balik berdirinya ketiga pasar itu tersimpan kisah yang pahit. Pasar ‘dadakan’ itu muncul sekitar paruh akhir 1990-an silam, tepat ketika kerusuhan Ambon meletus. Yamin dan keluarganya adalah satu-satunya pedagang eksodus Ambon yang masih berjualan di pasar itu. Sejumlah pengungsi korban konflik SARA di Ambon yang lari ke Buton, yang dulu berjualan untuk menyambung hidup mereka di kawasan ini, kini sudah pulang lagi ke Maluku.
Yamin masih ingat ketika ia dan keluarganya harus berdesak-desak di KM Ceremai yang mengangkut mereka meninggalkan Ambon yang ketika itu sudah tidak manise lagi. Yamin dengan kedua orangtuanya serta ketiga adiknya harus rela tidur di ruang mesin kapal; salah satu daerah terlarang bagi penumpang bila kapal Pelni sedang dioperasikan.
Kedua orangtua Yamin, Ica dan ayahnya La Muri, sebenarnya adalah warga Buton yang telah merantau sejak bertahun lalu. Menurut Ica, dan suaminya bahkan menikah di Buton yang kemudian berangkat ke Ambon untuk berdagang rempah-rempah di salah satu pasar di sana. Tapi Ica menegaskan, ia dan keluarganya sudah tidak lagi mau kembali ke Ambon. di Buton, dengan hasil keringat mereka sekeluarga, mereka kini punya tanah dan rumah di Jl Lastarda, samping Masjid Al Ikhlas Baubau. Memang menurutnya ukurannya hanya 8 meter kali 20 meter, tapi rumah itu katanya dia yakini akan membuatnya hidup tentram dan damai menjalani hidup.

Komentar

Postingan Populer