Perjalanan Satu: 7548

2 November 2009. Saya berangkat dari Makassar pukul 03.35 Wita. Speedometer menderetkan angka 7548. Saya susur Jalan Abdullah Daeng Sirua. Sampai di simpang empat SMAN 5 Makassar, saya berbelok kiri melewati Taman Makam Pahlawan Panaikang. Dan meluncur sepanjang jalan besar itu.

Jalan lengang. Saya resah. Segala doa dan harapan saya rapalkan dalam hati meminta perlindungan Tuhan. Saya berangkat tanpa tidur malam. Sebulan terakhir saya memang sangat susah tidur. Saya hanya mengisi perut dengan mi instan rasa cakalang.

Motor saya lajukan. Rerata 70-80 km/jam. Mumpung sepi. Saya enggan memutar gas lebih kencang lagi. Saya tahu diri karena belum tidur sama sekali. Saya pancang rencana cepat sampai di Barru. Di sanalah nanti (paling) cari masjid kemudian tidur satu dua jam. Saya tahu, rumah Tuhan itulah satu-satunya rumah yang pasti terbuka dalam setiap perjalanan.

Sepanjang jalan, saya harus hati-hati. Mata saya tidak pernah bisa awas. Lampu mobil yang saya papasi sangat mengganggu mata saya. Mata saya sangat reaktif kalau cahaya. Lampu kendaraan yang berlawanan arah ditambah sopir yang tak tahu diri, selalu memakai lampu jauh. Saya mengatasi mereka dengan membalas lampu jauh juga. Lampu jauh lampu dekat bergantian. Kedip-kedap. Kalau tidak mempan, baru mengacungkan jari tengah ke mereka, plus umpatan yang tentu saja tidak bisa mereka dengar.

Soal mata saya, teman saya Mubarak, pernah gemetaran saya bonceng dari Barru awal tahun ini. Kenapa saya selalu ambil terlalu pinggir kalau papasan dengan mobil, tanyanya. Saya bilang, pendar lampu mobil terlalu besar di mata saya. Saya meminggir karena tidak mau ambil risiko. Apalagi saya menanggung dua nyawa.

Tapi baru tiba di Pangkep, sekira 10 kilometer menjelang kota, azan subuh dari masjid-masjid terdengar. Saya singgah di masjid berpekarangan luas. Tapi bukan untuk salat. Hanya istirahat. Tarik nafas dan menghabiskan rokok sebatang. Begitu salat subuh selesai, saya cabut lagi.

Sekisar sejam kemudian, saya melewati Kota Barru. Tapi badan tak bisa bohong. Tangan mulai kesemutan. Punggung pegal karena ransel berat berisi pakaian dan laptop. Mata juga makin redup. Badan sudah menagih tidur. Saya putuskan kembali mencari masjid. Biar bisa rebahan. Akhirnya dapat. Mungkin sekira sepuluh kilometer setelah Kota Barru. Pagarnya menganga, tapi pintu hijaunya tertutup. Untung tangga lebar masjid dua tingkat itu letaknya di bagian timur. Jadi kalau rebah, saya bisa di bawahnya saja, terlindung dari matahari.

Saya tidak peduli lagi lantainya bersih atau kotor. Saya letakkan langsung ransel dan menjadikannya bantal. Saya pun langsung tidur.

Pukul 08.30, saya terbangun. Bukan alarm telepon seluler. Tapi suara pukulan di balok-balok kayu. Rupanya dua orang pekerja sudah ada di sekitar toilet masjid itu sedang memperbaiki beberapa bagian masjid. Saya hanya cuci muka. Langsung cabut lagi.

Bagian-bagian pendek dan selintas dalam hidup saya seperti inilah yang saya rindui. Lepas dari jeratan janjian pertemuan, pergaulan, dan keharusan pekerjaan di penerbit. Jauh dari teman-teman. Kadang pula rasanya saya bertemu peristiwa-peristiwa yang tanpa gaung, degub jantung, atau perangah, seperti hidangan yang tersaji kali kedua. Kita sudah tahu rasanya. Dalam perjalanan penuh kesendirian begini, saya selalu tawar-menawar dengan hati kecil saya. Atau melawan diri sendiri. Saya mengukur semampu apa saya. Sekuat apa badan saya. Selogis apa saya. Sebagaimana beraninya saya. Bahkan saya dapat menakar, seberapa besar manjanya diri saya.

Saya berencana singgah minum kopi di Parepare. Tapi karena badan gerah menagih mandi, saya tancap gas saja. Sidrap tinggal 28 kilometer. Balap lagi biar cepat sampai. Tapi sampai di perbatasan Parepare-Sidrap, tenggorokan saya kok rasanya kering. Menelan ludah saja agak repot. Oh, rupanya sejak berangkat saya belum minum air putih. Akhirnya saya putuskan singgah di sebuah warung di Lainungan. Minum air penambah ion tambah mi rebus biar lebih kuat lagi.

Setengah jam di situ, saya berangkat lagi pukul 10.30 Wita. Lima belas menit kemudian saya sudah di Sidrap.

Rencana sehari di Sidrap, rupanya tidak cukup. Data yang mesti saya ambil, kata seorang pegawai di satu dinas, semua ada di komputer. Sementara listrik lebih sering mati di sini. Lima jam sekali padam. Sehari bisa sampai tiga kali. Gila!

Dua hari kemudian, saya menuju ke Wajo. Dari Rappang ke Sengkang (ibukota kabupaten), sekisar 50 kilometer. Itu informasi dari kakak saya yang sehari sebelumnya berangkat ke sana mengantar telur.

Sebelum berangkat, saya coba hubungi Anchu yang rencananya mau juga ke Sengkang. Sahabat saya ini bekerja di JICA. Hendak ke kota itu untuk mengevaluasi beberapa sekolah satu atap (SATAP). Sayang nomor SIMPATI-nya tidak aktif. Sementara nomor MENTARI-nya saya tidak simpan.

Pukul 21.00, saya menuju ke sana. Perjalanan sendirian naik motor ke Sengkang baru kali ini saya jalani. Saya pernah ke Sengkang, tapi sebentar saja. Itu pun naik mobil. Jadi hidup dan tujuan ketika itu benar-benar saya serahkan ke pengemudi. Lain hal dengan membawa motor sendiri. Perlu kesabaran dan kekuatan menempuhnya. Bonusnya tentu lebih menikmati perjalanan. Merasai jalan yang bolong, ruas aspal yang baru ditambal dan tidak rata, sinar bulan penuh yang merata ke petak-petak sawah nan luas di sisi sepanjang jalan, atau bertemu lagi dengan para pengendara yang doyan pakai lampu jauh. Ya, tentu umpatan tidak alpa saya luncurkan dari mulut yang dibekap sapu tangan dan tidak lupa mengacungkan jari tengah buat mereka--meski kadang saya was-was jangan sampai pengendaranya petugas yang lekas naik darah lalu berbalik mengejar..hehehehe..

Saya memang lebih memilih berangkat jauh sendirian begini ketimbang berombongan. Pernah satu waktu saya berangkat ke Parepare dengan dua kawan lainnya, tapi saya sama sekali tidak bisa nikmati, terutama pemandangan sepanjang jalan. Saya lebih fokus mengejar kedua teman itu karena mereka selalu kencang tancap gas. Kadang juga karena jengkel, saya kebut duluan dari mereka karena soal yang begini-begini.

Sepanjang jalan menuju Sengkang saya menghitung jarak. Benar 50 kilometer? Ternyata Sengkang lebih dari itu. Pukul 22.15 saya tiba di Tanrutedong. Di sana saya singgah beli minum sekaligus melepas haus. Kata si penjual, Sengkang masih 35 kilometer. Jarak Pangkajene (ibukota Sidrap)? Duapuluh lima kilometer, katanya. Kalau ditambah jarak Rappang-Pangkajene 10 km berarti Rappang-Sengkang ada 70 km dong. Angka tigapuluh kilometer rasanya masih sangat jauh. Punggung sudah mulai pegal. Motor kadang sedikit oleng karena ransel di belakang saya sering membebani motor lebih ke kanan.

Di jalanan, menjelang simpang tiga ke Palopo dan Sengkang, saya sempat kebut-kebutan dengan dua mobil. Keduanya di belakang saya. Pas makin dekat, lampu jauh dan lampu dekat dipancar bergantian. Mereka juga mengklakson meminta jalan. Padahal saya sudah agak di pinggir. Untung mata saya masih awas. Pas sampai di simpang tiga itu, saya melihat plang menunjuk arah. Ciiit! Mobil mendahului. Nyaris saja saya berbelok ke utara, menuju Palopo. Padahal untuk ke Sengkang saya cukup terus ke timur. Batu kilometer di kitaran simpang tiga menunjukkan “SENGKANG 22 KM”.

Menyusur jalan ke Sengkang, saya lebih pelankan motor karena ruas jalan lebih sempit. Mati lampu pula sepanjang jalan. Keputusan saya ini tepat. Beberapa kali kelokan yang saya lalui, anak-anak muda nongkrong di pinggir jalan. Untung setiap belokan saya pakai lampu jauh. Kalau tidak, saya bisa jadi menabrak orang-orang di pinggir jalan itu.

Sesampai di Sengkang, saya sempat kesasar ke sekitar Kantor Bupati. Padahal tujuan saya mencari penginapan. Saya pun singgah di sebuah bengkel bertanya di mana penginapan terdekat. Kata mereka, saya harus masuk kota. Susur jalan ini, pas lampu merah pertama, belok ke kiri cari Jl. Veteran.

Tengok kiri tengok kanan, saya dapat penginapan akhirnya, Pondok Eka di Jalan Maluku.
Di hotel ini saya saling tawar pengelolanya. Masalahnya, tidak ada lagi kamar kosong kecuali kamar yang mahal. Sambil itu pula, saya mengambil hape saya mencoba hubungi Anchu lagi. Masih tidak aktif. Kuputuskan untuk masuk aplikasi Opera dan log in di Facebook. Masuk wall Anchu dan meninggalkan pesan, “Anchu, hapemu tidak aktif. Di manako?” Dari meja resepsionis,
Meski saya pada akhirnya mengambil kamar yang berharga premium, resepsionisnya tidak bisa memberi toleransi soal jam check-out. Harus pukul 12.00 katanya. Tapi mungkin capai menghadapi kecerewetan saya, akhirnya dia memanggil manajernya. Si manajer justru dengan senyum memberi keleluasaan sampai pukul 13.00. Memang benar, selalu orang yang di bawah memberi kesulitan. Sama halnya kalau menghadapi orang-orang di kantor dinas.

Transaksi pun mulai. Saya merogoh dompet untuk membayar. Tiba-tiba ada telepon masuk. Nomor MENTARI.
“Halo?”
“Di manaki, Kak Jim?”
“Saya di Pondok Eka.”
“Lho! Saya juga di Pondok Eka. Di bagian mana?”
“Saya di resepsionis. Kamu?”
“Di warnet. Tungguma’ di situ..” Klik!
“Ambil yang mana, Pak?” pengelola hotel kembali bertanya.
“Tunggu, temanku ternyata sudah ada di sini.”
Anchu sudah muncul. Dia mengambil kunci dan menuju kamar.

Keesokan harinya, Anchu berangkat lagi ke Barru. Saya mengambil data yang saya perlukan di Dinas Pendidikan Wajo. Salah seorang stafnya, Rachim, siap mengirim data ke Makassar via pos. Dua hari lagi, katanya. Saya bersegera ke Kantor Departemen Agama. Karena mati lampu, staf di sana tidak bisa memberikan datanya di hari itu. Kata mereka, saya harus kembali besok. Rupanya pemadaman listrik di sini sama juga di Sidrap.

Akhirnya rencana untuk lanjut ke Soppeng saya batalkan. Perkiraan data bisa diambil hanya sehari dibuyarkan krisis listrik dan pengolahan data pemerintah kabupaten. Saya putuskan kemudian kembali ke Makassar 5 November sore. Untuk kedua kali, saya berulang tahun dalam perjalanan. Sama ketika 2007, saya mereka-reka suasana subuh di Balikpapan ketika saya dilahirkan, di atas mobil dengan bak terbuka dan bermandi debu dalam perjalanan pulang ke Rongi, Sulawesi Tenggara. Sekarang, saya menunggui subuh menjelang dini hari tadi demi berdoa agar hari-hari mendatang tetap membaik, baik bagi saya, istri, dan anakku, Jasmine—yang tengah malam sebelumnya saya tuliskan sajak wasiat.

Sengkang, 5 November 2009

Komentar

Postingan Populer