Masa Kecil: Aroma


“Hati-hati dengan masa kecilmu. Sebagian dirimu ada di situ!” begitu saya membatin.
Peringatan ini juga jadi bekal saya mengunjungi Rappang, kota kecil yang pernah mengasuh saya. Apalagi, setelah meninggalkannya lima belas tahun silam, baru kali ini lagi saya akan tinggal sepekan lebih di sana.
Di hari pertama, saya menelusuri jejak masa-masa tumbuh saya. Para tetangga dan teman masa kecil saya jumpai. Ada juga yang berpindah kota. Beberapa dari mereka bermukim di kota lain karena penugasan kerja. Segelintir lainnya pindah terpaksa tersebab oleh hal-hal yang tak perlu saya sebut di sini.
Rampung lintasan tempat nongkrong itu, saya bergerak ke tempat makan. Bagaimana pun, lidah dan hidung ‘minta jatah’ di perjalanan ini: ingin mengecap jejak rasa dan aroma yang pernah akrab bagi mereka.
Saya tiba di warung bakso Mas Slamet, di simpang empat Jl. Muhammadiyah. Kurang lebih tiga puluh meter dari Masjid Taqwa Muhammadiyah. Saya tak gandrung bakso. Tapi lantaran kata kunci ‘mengenang’, saya ke sana.
Semangkuk bakso pun terhidang di depan saya. Baksonya daging tulen. Coklat (atau cenderung abu-abu?). Bulat kasar. Dalam kuahnya gelembung lemak yang kecil, jernih, namun jarang—seperti kena percik.
Begitu bakso itu mulai lumat oleh gigi saya, setelah gigitan yang ke enam, lidah sebagai ujung tombak menggiringnya ke lidah kiri dalam. Lidah bagian ini lalu menggorengnya mendekati gigi bungsu di kedalaman. Terasa ada manis dan asin bercampur di sana. Rasa mericanya seperti suara azan datang dari lubuk hutan di kejauhan. Disapu campuran garam yang lamat-lamat—seperti gerimis yang memercik di siang hari yang pernah kau alami.
Meski tak serupa benar, pengalaman ini (meski kadar dan nilai nostalgianya setingkat lebih atas) pernah saya rasakan saat menikmati penganan penutup jamuan malam di Yayasan Wisnu, Krobokan-Bali. Yang menjadi tuan rumah sore itu adalah Pak Roem Topatimasang dkk. Penganan penutup itu adalah manisan nenas. Kuahnya kuah manis beraroma kayu manis. Saya benar-benar ‘kesurupan’ malam itu. Rasa yang membawa ingatan saya pada ibu saya yang terkasih. Betapa manisnya kasih sayang itu. Betapa legit dan menyehatkannya makanan penuh aroma alami itu.
Di ujung lamunan, saya teringat Anton Ego, kritikus masakan yang sinis dalam film Ratatouille. Tongkrongan Anton kurus kering. Pundaknya menonjol, seperti melindungi kepalanya yang penuh kosakata pedas. Wajah lancip nan seram; persis vampir. Bibirnya dia tekuk murung. Dia lelaki yang cerewet soal masakan. Namun seluruh gambaran tentang tokoh ini kemudian hancur gara-gara ‘rasa’ masakan yang dicicipnya serupa dengan rasa yang diracik ibunya. Ia kemudian memuji setinggi langit masakan itu.
Hanya satu keserupaan saya dengan Anton Ego; kami sama-sama pernah diserbu kenangan masakan ibu.
Lain waktu saya berjanji, tak mau lagi berhati-hati dengan masa kecil saya. Ya, apalagi kalau bukan: sebagian diri saya ada di situ. []

Komentar

Postingan Populer