Je’ne Taesa yang Tak ‘Mekar’ dan Riwayat 'Polisi Tidur'-nya


Papan penyambut di Desa Je'ne Taesa. [Anwar J Rachman]

Ketika daerah lain melazimkan pemekaran dengan niat memudahkan dan menyangkilkan urusan warga, Desa Je’ne Taesa justru tidak tertarik tersebab adat-istiadat yang dipegang teguh selama ini oleh warganya.
Setiap selesai panen musim hujan, sekitar Mei saban tahun, Je’ne Taesa yang berpenghuni 3200-an jiwa, dengan jumlah 859 kepala keluarga yang menghuni Dusun Batu Bassi dan Dusun Bantimurung, menggelar upacara adat Mappadendang. Agar biaya pesta adat tidak membebani warga, Mappadendang, upacara syukuran masyarakat Bugis sehabis panen, digelar per dusun.
“Kalau dimekarkan, warga terbebani beban pesta yang besar. Dengan jumlah KK sebesar itu di dua dusun, memungkinkan beban warga menggelar pesta lebih ringan,” terang Kepala Desa Je’ne Taesa, Kamaruddin.
Kamaruddin mengakui, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak itu, sangat mungkin membagi Je’ne Taesa menjadi lebih dua dusun. Namun dalam pertemuan-pertemuan desa, obrolan santai atau serius tentang itu selalu mentah karena alasan di atas. Permukiman warga di desa yang terletak 30 kilometer utara Makassar, tepatnya sekitar taman nasional Bantimurung ini memanjang. Dalam perkiraan saya saat kunjungan kedua desa itu pada paruh akhir September 2010, berkisar 3 kilometer.
Untuk menggelar pesta, warga biasanya membawa beras lima liter, uang Rp20 ribu, kelapa dua biji. Bahan-bahan itu akan dipakai membuat makanan khas Mappadendang berupa beras tumbuk dicampur karamel gula merah. Cara membuatnya beras disiram air lalu digoreng, kemudian dipipihkan, dan disiram air gula merah.
Begitulah cara warga Je’ne Taesa ‘taat’ pada makanan khas untuk upacara Mappadendang. Menurut senior saya, Yahya, mungkin begitulah cara masyarakat Je’ne Taesa mengakali sumber daya yang tersedia. “Dulu praktik di kampung, orang pakai buah padi muda lalu ditumbuk dan diberi gula merah,” ujar Yahya yang juga dosen antropologi Unhas.
Selain bekerja di sawah ladang, warga desa pun mencari nafkah menjadi peternak, mulai dari memelihara unggas sampai menggemukkan sapi. Khusus ternak ayam, banyak di antaranya beternak ‘mandiri’ dan ‘mitra’. Kedua jenis ini bekerjasama dengan pihak pemodal (biasanya dari Makassar). Bedanya cuma: mandiri menyertakan lahan dan modal, sedang mitra hanya bermodal lahan—kandang, bibit, dan pakan disediakan oleh pemodal.
Desa Je’ne Taesa berada dalam wilayah administrasi pemerintah kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. Desa ini berada di pinggir jalan poros Maros-Bone. Jalan menghubungkan antar dusun di desa ini jalan berlapis beton—yang dibangun setahun terakhir. Pembangunan jalan itu masih menyisakan beberapa bagian yang masih tahap penimbunan pasir batu.
Pembangunan jalan itu kian memperlaju kendaraan yang masuk atau keluar Je’ne Taesa. Bukan hanya bagi kendaraan milik warga. Namun juga mempercepat pengangkutan ayam potong dari desa itu atau kendaraan pembawa pakan untuk usaha peternakan ayam ras yang ada di sana. Bagi saya sendiri, berkat pembangunan jalan itu diikuti pembuatan ‘polisi tidur’ yang hanya ada di dua tempat (rumah kades dan rumah seorang tetua adat) setidaknya menegaskan keterangan-keterangan warga tentang orang-orang penting di desa tersebut.
Di mana ada polisi tidur, itulah rumah orang paling penting di desa ini. Satu polisi tidur dibangun di depan rumah kades, satunya lagi depan rumah tetua warga bernama H Kamaruddin Daeng Pewata (namanya sama dengan kades). Warga desa sangat menghormati tokoh ini. Dari nama saja, Pewata, pa’daengan di belakang nama H. Kamaruddin, kadang diplesetkan jadi “Dewata”, dalam bahasa Makassar dan Bugis berarti ‘Tuhan’ atau ‘Dewa’. Bentuk penghormatan tak biasa itu bisa pula sebab lelaki kelahiran 1930-an dianggap salah satu orang pertama desa itu. “Di tahun 1970-an, jalan itu masih jalan sapi,” jelas Daeng Pewata seraya menunjuk jalan depan rumahnya.
Pengaruh Daeng Pewata sangat besar. Ketika pencalonan kepala desa sekisar dua tahun lalu, Kades Kamaruddin mengaku tidak berani mencalonkan diri kalau saja tidak didukung oleh Daeng Pewata. “Calon lain kaya-kaya! Mana saya mau kalau tidak didukung sama Puang (Daeng Pewata)!” ujar Kades. Wajahnya serius.
Wibawa Daeng Pewata yang memancar dan menonjol itu seakan disokong oleh posturnya yang tinggi tegap. Ia begitu sehat di usia sekisaran 75 tahun. Ia masih mengendarai motor setiap berangkat ke masjid untuk salat berjamaah. Meski sebenarnya dua tahun lalu ia sempat tersambar mobil di sekitar jalan tol Makassar. Selain bertani, Daeng Pewata sehari-hari beternak mitra ayam ras, dengan bantuan dua orang ‘anak kandang’.
Kelelawar yang menghuni Je'ne Taesa [Anwar J Rachman]
Selain mengenali dari ‘polisi tidur’ yang ada di depannya, rumah Daeng Pewata ketahuan dari beberapa lembaran informasi dan pengumuman untuk warga yang tertempel di dinding bilik bawah rumah panggungnya, termasuk sebuah poster pengumuman dari lembaga internasional berwarna biru pudar tentang perlindungan kelelawar Sulawesi (yang hidup di Je’ne Taesa). Di bilik bawah pula ia kerap menerima tamu, lengkap buku tamu yang harus diisi oleh yang bertandang. Di salah sebuah perabot dalam terpajang sebuah piala pertandingan sepakbola.
Berseberangan jalan rumah Daeng Pewata berdiri baruga desa. Bila warga hendak membicarakan sesuatu, cukup salah seorang di antara mereka membunyikan kentokan yang ada di ruang pertemuan terbuka itu (meski sinyal telepon genggam ‘melimpah’ di sana). Tak lama setelahnya, mereka segera berkumpul di sana.
Je’ne Taesa kerap juga mendapat kunjungan para peneliti satwa dan fauna karena di sana berkembang biak kelelawar. Beberapa sumber mengatakan, di Sulawesi terdapat enam puluh dua jenis kelelawar, dua puluh satu di antaranya kelelawar yang memakan buah, dan banyak di antara jenis itu tidak terdapat di tempat lain di dunia. Kelelawar memiliki fungsi penting dalam kehidupan hutan. Mereka menyerbuki bunga dan menyebarkan bijinya dari banyak tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia dan margasatwa. Tanpa kelelawar, hutan dan margasatwa unik Sulawesi akan musnah untuk selamanya.
Binatang menyusui ini hidup tenteram berdampingan dengan warga desa—bahkan bisa dibilang saling menjaga. Warga desa meyakini, kelelawar yang bergantungan di pepohonan desa itu sebagai tanda bahwa daerah mereka aman. Jika ribuan kelelawar itu meninggalkan tempatnya, alamat ada bencana yang akan melanda desa ini. Karena itu warga sekitar tak pernah mengganggu. Bahkan untuk memotretnya pun harus meminta izin ke kepala desa, tetua warga, atau aparat desa lain, dengan menyetor sejumlah uang untuk mengisi kas desa.
Kehadiran kelelawar itu pun atas jasa Daeng Pewata, dengan cerita magis melingkupi. Pada pertengahan 1979, Daeng Pewata bermimpi tiga lelaki tua bersorban mendatanginya. Ketiganya berpesan agar Daeng Pewata menuju Pangkep membeli kelelawar sebagai ‘penjaga’ desa.
Daeng Pewata tak berpikir lama. Keesokan hari, tanggal 7 Juli 1979, ia lajukan motor Yamahanya menuju ke Pangkep sesuai pesan dalam mimpinya. Di sana ia bertemu dengan truk pengangkut dari Polmas, yang menurut Daeng Pewata berdasarkan keterangan sopir truk yang ia temui ketika itu, memang sesekali membawa kelelawar untuk dijual di Makassar. Sepasang kelelawar pun Daeng Pewata bawa pulang dengan harga Rp500. Harga beras kala itu masih Rp50 per liter. “Jadi 10 liter beras harga kelelawarnya,” sergah Kamaruddin, seraya tertawa lebar.
Sejoli kelelawar tadi Daeng Pewata biakkan dalam kurungan. Dari sepasang menjadi lima ekor, menjadi lima belas, sampai dua puluh satu ekor. Lantaran repotnya menangani dua puluh ekor dalam kurungan, Daeng Pewata memutuskan melepasnya, dengan memindahkan ke pohon jambu dan mangga sekitar rumahnya. Tapi kelelawar yang dilepas tak mau jauh. Mereka tetap saja bertengger di pohon-pohon yang tumbuh di Je’ne Taesa. Dan kini kelelawar itu berkembang seperti sekarang menjadi ribuan, dengan berdatangan pula kelelawar dari Soppeng—180 kilometer timur laut Maros.[]

Komentar

Postingan Populer