Kemiri ‘Bersanding’ Tenun di Lembang-Lembang

Bagaimana kemiri bisa sampai di dapur Anda? Betapa jauh jarak yang harus dilewati komoditas ini untuk sampai ke rumah Anda. Saya, boleh dibilang tidak sengaja, menjadi sedikit tahu soal ini waktu berkunjung ke Lembang-Lembang, lima kilometer utara Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat—sekira 300 kilometer utara Makassar.
Warga desa ini, terutama kaum perempuan, menjadi pengupas kulit kemiri. Awalnya, saya mengira desa ini penghasilan utamanya adalah kemiri. “Jangan cari pohon kemiri di sini. Datangnya dari jauh,” tegur Kepala Desa Lembang-Lembang, Arifuddin (33). 

Beberapa orang di desa mengatakan, sejak empat puluhan tahun lalu, sebagian warga desa ini juga bekerja sebagai pengupas kemiri. Kemiri itu berasal dari daerah Mamuju, Palu (Sulawesi Tengah), Muna (Sulawesi Tenggara), Kalimantan, juga Nusa Tenggara. Mereka hanya bertindak sebagai pengupas. Pengupasan ini berdampingan dengan pekerjaan menenun yang juga sejak dulu dilakoni para perempuan Lembang-Lembang.
Menurut seorang perempuan pengupas kemiri, Musliah, untuk menghasilkan satu kwintal kemiri kupas, membutuhkan tiga karung kemiri. Musliah berupah Rp50ribu per kwintal. Seperti lainnya, Musliah memulai proses pengupasan dengan menjemur. Kalau hari cerah, proses pengeringan dilakukan selama enam hari. Usai itu, pengasapan dimulai. Rampung pemanggangan, proses kupas dilaksanakan. Pemecahan kulit kemiri menggunakan pelepah penjepit kemiri dan batu hantaman. Setelah pengupasan, kemiri pun dikarungkan dan siap dikirim sekaligus dipasarkan ke Makassar. 

Harga pasaran kemiri kini mencapai Rp2,1 juta per kwintal. Tapi itu kemiri kupasan yang bulat. Lain juga harga untuk kemiri pecah atau tidak bulat. Harganya Rp300ribu lebih murah, Rp1,8 juta. 
“Saya tidak tahu kenapa harganya bisa beda. Padahal kalau sudah di dapur, kemiri itu juga akan dipecah-pecah,” kata paman Arifuddin, tertawa. 
“Biar isinya terpisah dari batoknya. Kalau dikupas biasa, tanpa diasapi, lalu dipecah, pasti isinya masih lengket dengan kulitnya. Katanya ada cairan khusus yang dibeli Surabaya. Kalau cairan itu, kita tinggal rendam kemiri dan dijemur. Waktu dijemur, kulitnya langsung pecah. Tapi itu mahal. Kalau mau dipakai itu, orang bisa-bisa malah rugi,” jelas Arifuddin, tersenyum.
Di rumah Arifuddin, ada dua bangunan serupa dangau beratap rumbia. Di bawah dangau itu menyala bara kulit kemiri. “Hati-hati jangan sampai asapnya kena pakaian. Pakaian bisa kuning,” pesan Arifuddin.


Namun kini, Lembang-Lembang tidak sendiri. “Sekarang, di Barru juga, Mallusetasi, banyak orang yang juga bekerja sebagai pengupas,” tambah paman Arifuddin. 
Di luar dari kemiri, hasil andalan desa ini adalah kelapa. Menurut Arifuddin, kampungnya jadi pemasok utama kebutuhan kelapa di Makassar dan sekitarnya.
“Katanya memang kelapa sini paling baik mutunya,” ujar Arifuddin, “mungkin karena tanahnya. Pinrang dan sini kan kontur tanahnya sama. Kelapa membutuhkan daerah yang tidak begitu jauh dari pantai,” begitu Arifuddin mengimbuhkan. 

Lembang-Lembang berada di bantaran timur Sungai Mandar. Pada Januari 2009 lalu, Sungai Mandar meluap merendam desa sekitarnya, termasuk Lembang-Lembang. Jejak air bah masih terasa hingga tujuh bulan berikutnya. Ketika saya berkunjung Agustus 2009 lalu, bergantian truk pengangkut kayu masuk ke sekitar Lembang-Lembang membawa ke arah Tinambung kayu hanyutan banjir itu. 
Lembang-Lembang adalah desa bercuaca panas yang terletak di Kecamatan Limboro. Beberapa pemudanya hilik mudik dan (ada juga) menetap di Balikpapan, Samarinda, dan beberapa kota tambang di Kalimantan Timur. 
Begitu pula dengan Arifuddin pada 2007-2008 lalu. Ia sempat menetap di Muara Badak, Kaltim, karena bekerja di perusahaan minyak asing begitu merampungkan kuliahnya di D3 FISIP Universitas Hasanuddin, jurusan yang ia masuki pada tahun 1996 silam. Ketika pemilihan kades pun ia masih berada di Kaltim. Anak keduanya, Sabila (3), lahir cesar di Samarinda. Arifuddin lalu meninggalkan pekerjaan karena harus pulang kampung. Kabar dari salah seorang warga yang meneleponnya, ia diangkat jadi kepala desa. Ia pun memboyong istri, Sabila, dan Fia, putri sulungnya yang berusia empat tahun. 
Menurut beberapa warga, jabatan kades di desa itu masih berdasarkan garis ‘silsilah’. Arifuddin adalah keponakan dari Hasan Basri, kepala desa sebelumnya. Paman Arifuddin yang lain, Mustafa, pun juga sempat jadi kades di Tanda Sura, desa yang terletak di seberang barat Sungai Mandar.
“Saya sedang usahakan minta mutasi ke Kecamatan biar lebih ringan tanggungjawab saya,” ujar Arifuddin malam itu. Arifuddin kini terangkat jadi pegawai negeri sipil.[]



NB: Foto atas dari http://indonetwork.co.id/; dan foto bawah oleh Anwar J Rachman.

Komentar

Postingan Populer