Tiga Puluh Hari: Babak Belur, Menulis, Membaca, dan Bekerja

"OH, pantas kelelawar setiap pulang dan bertengger di dahan pasti ricuh, seperti meneriaki kawannya. Mereka 'kan habis begadang. Jadi cepat naik darah!"
Istri saya, Piyo, tertawa. 
Guyonan itu saya lontarkan ke dia menanggapi protesnya. Suara saya, kata dia, belakangan suara saya lebih 'kencang' dari biasanya.
"Makanya, kurangi begadang," katanya. Ia menyambungnya dengan senyum.
"Ok!"
Jawaban saya yang mantap itu bisa juga berarti, 'Sabar dulu', kalau tidak mau saya bilang, 'Tidak mau'.

Sudah sebulan saya harus duduk memeriksa naskah terjemahan, draft hasil penelitian, dan remeh temeh penerbit. Mereka saling sela dan baku salip menarik perhatian saya. 
Yang pertama sebagai 'ruang kelas' saya. Terjemahan yang saya kerjakan adalah alih bahasa buku tentang politik kesenian karangan Anderson Sutton. Terjemahan rampung. Tinggal sunting ulang kalimatnya. 
Si nomor dua pekerjaan. Penelitian ini penelitian tentang produksi garam di Indonesia. Rancangan naskahnya sudah selesai. Tinggal mengerjakan tata letak. Sementara yang ketiga tentu tugas wajib saya. Belum lagi buku-buku yang meminta dibaca. Jadi? Ya, saya babak belur!
Tapi, tetap saja, ini babak hidup saya yang belur sekaligus menyenangkan. Saya tak perlu keluar rumah. Duduk dan menyeduh kopi untuk diri sendiri amatlah nikmat. Setiap sedang bekerja partikelir di tempat lain, selalu saya membandingkannya dengan pekerjaan saya di rumah atau di Komunitas Ininnawa. Pasti pula, ingin rasanya pulang lekas. Kalau sudah begitu, saya jadi sadar bahwa betapa penting 'kemerdekaan' dalam bekerja.
Apalagi, saya kadang disela oleh satu dua kegiatan di luar rumah, yang membuat saya bersemangat. Sekisar dua minggu lalu saya belajar bersama di pelatihan jurnalistik Fakultas Eonomi Unhas. Senang bisa belajar, berbagi pengalaman menulis. Dengan berbagi kita melakukan refleksi. Dari refleksi, kita tahu bagian mana kita masih sedikit dan di titik mana kita perlu edit :-)
Nyaris masih satu rangkaian, saya pun disibuki kelas menulis di perpustakaan Kampung Buku. Pesertanya dua orang. Windah dan Piyo, istri saya.Kami belajar tulisan naratif atau feature atau apa sajalah istilahnya.Tugas saya hanya mendampingi saja dan melakukan curah gagas dan memberi masukan. Tahap ini hanya saya tempuh begitu tahapan masukan yang satu sudah kelar. Piyo, misalnya, bertugas menulis tentang perkembangan Isobel, gadis kecil kami. Begitu juga Windah bertugas menulis profil ibunya. 
Piyo berhasil menulis dua ribuan kata dalam waktu tiga hari. Saya anggap dia berhasil karena ingat tugas rumah tangga yang harus dia selesaikan. Kini Piyo berlanjut ke tahap selanjutnya, membaca. Dia merasa masih ada yang belum selesai. 
"Mungkin dengan membaca kita bisa ingat lagi apa yang tertunda," saran saya. 
Dia pun mengambil Huckleberry Finn, karya Mark Twain, buku koleksi Kampung Buku.
Sementara Windah, yang bulan lalu jadi sarjana, baru memperlihatkan rancangan tulisannya. Tugasnya, "Tolong bawakan ibumu ke hadapan saya dalam bentuk tulisan," kata saya.
Kami bertiga sepakat mulai menulis panjang dari lingkungan terkecil untuk belajar mengamati dan menuliskannya. Bila tahap ini selesai, saya pikir, akan mudah bila keluar kandang nanti, mengamati perkembangan di luar sana.
Begitu tulisan ini saya posting, berarti seketika juga saya kembali menyeruput kopi dan melanjutkan babak hidup saya yang belur dengan kata kunci: menulis, membaca, dan bekerja--dan, tentu saja, mengharapkan interupsi yang manis dari kedua perempuan tadi.

Komentar

Postingan Populer