Tiga Tanda Menguak Takdir Bahasa (Bugis)

Salah satu hal terpelik dalam trasliterasi bahasa Bugis ke huruf Latin adalah bagaimana menuliskan bunyi hamzah seperti dalam kosa lontara. Apakah menggunakan [ ‘ ] glottal stop (lontara’), mengimbuhkan huruf q (lontaraq), atau pakai k saja sudah cukup (lontarak)?


Dalam bahasa Bugis, bunyi hamzah umumnya berada di akhir kata dasar; di tengah kata dasar yang diikuti klitik ku’, mu’, na, dan ta’; dan kata majemuk, jika kata pertama berakhir bunyi hamzah kemudian bersinggungan dengan kata yang mengikuti, maka bunyi hamzah tetap muncul (Hadrawi, 2008).



Muhlis Hadrawi dalam Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis [hl. 49] merinci tiga contoh tentang pemakaian ini. Fahruddin Ambo Enre adalah cendikiawan yang memakai q (lihat disertasi Ambo Enre “Ritumpanna Welenrenge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo” [1999]); Matthes (1874 dan 1875) memakai apostrop [ ` ]; tanda hamzah [ ‘ ] digunakan Noordyun (1955:4); dan huruf k dipakai oleh Ide Said (1977).



Tapi itu di tingkat para cendikiawan. Di ranah pengguna sama. Dalam naskah panduan pementasan I La Galigo karya Robert Wilson di Benteng Fort Rotterdam 23-24 April 2011 lalu, saya mendapati penulisan nama Patotoqe (Dewa Penentu Nasib). Tapi versi ini jejaknya tampak terang. Kemungkinan ini berdasar pada transliterasi Muhammad Salim-Fachruddin AE, I La Galigo terbitan Djambatan tahun 1995. Sirtjo Koolhof dalam Pendahuluan (hl. 44) mengatakan, cara transkripsi yang digunakan untuk edisi ini sama yang dipakai oleh Tol (1990:129-132) berdasarkan transkripsi Fachruddin AE (1983:93-107). Selain itu, dua tiga kali saya juga pernah bersua beberapa tulisan media nasional maupun daerah yang memakai  k menuliskan kata lontarak.



Topik ini sempat pula jadi perbincangan di Ininnawa. Saya ingat benar, Aslan Abidin pernah mengatakan bahwa betapa genit orang-orang yang menggunakan q dalam alih aksara bahasa Bugis atau Makassar menjadi huruf Latin. “Selalu membuat terbata-bata kita membacanya,” kilah Aslan, yang kini jadi staf pengajar di Universitas Negeri Makassar.



Sejak 2005, tersebab masalah rasa kebahasaan (termasuk pengucapan), Penerbit Ininnawa menggunakan glottal stop. Tak ada alasan jelas mengenai ini melainkan lebih nyaman bagi kami sebagai pengguna aktif bahasa Bugis (karena sebagian besar Ininnawa adalah terlahir dari keluarga Bugis).



Sekira tiga tahun kemudian, penggunaan ‘koma atas’ itu saya negosiasikan dengan Muhlis Hadrawi dalam proses awal penyuntingan. Saya menegosiasikan ini di Kantin Sastra Unhas. Hadrawi adalah penyusun Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis (Ininnawa, 2008). Ketika itu, naskah yang diambil dari tesis pasca sarjananya di Universitas Indonesia (UI) masih menggunakan q.



“Teman-teman di Ininnawa kebetulan di aliran naskah lontara’ berglottal stop, Kak,” bujuk saya.

Tanpa saya sangka, Hadrawi langsung mengiyakan.



Saya pun pulang dengan lega. Bagi kami, betapa janggalnya menulis huruf q dalam naskah yang akan kami publikasikan.



Pada kisaran April 2011, saya bertemu lagi Hadrawi. Kali ini dia mendatangi Penerbit Ininnawa, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E Makassar.



“Ternyata sudah cocok pakai glottal stop seperti di Assikalaibineng. Saya pernah tanya pembimbing (tesis) saya, katanya pengucapan yang biasa muncul dalam kosa kata Bugis adalah penanda bunyi. Bukan huruf. Kalau memang huruf, itu akan mengubah arti beberapa kosa kata Bugis karena ada imbuhan di belakang kata dasar,” jelas Hadrawi.



Sayangnya saya lupa contoh yang Hadrawi ajukan tentang penjelasan tadi. Tapi, sebagai gambaran, ini dapat kita lihat bersama dari perbedaan huruf dan tanda itu dalam kata lumpe’ (Bgs., lompat). Bandingkan perbedaan arti kata lumpe’ diimbuh i menjadi lumpe’i ([sesuatu/seseorang] melompat) dengan mengubah tanda hamzah menjadi huruf q dan k dalam lumpeqi/lumpeki (melompati).



Saya pikir, ini alasan terkuat yang pernah saya dengar selama enam tahun terakhir menyuntuki naskah-naskah sejarah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di Penerbit Ininnawa. Tidak seperti alasan seorang cendikiawan, berdasarkan cerita Aslan, yang kurang lebih mengatakan: “Pemakaian q dalam bahasa Bugis karena huruf q jarang kita dipakai.”



Sesungguhnya, merugilah saya menjadi kaum yang mengikuti imam berdalih seperti ini.[]

Komentar

Postingan Populer