KAMUS BOBEL


Sebenarnya saya mau menulis cukup banyak. Banyak sekali. Hingga bingung memilahnya. Ini tentang seorang teman wanita yang baik hati dan selalu menggemaskan. Tiap saat ketika kami bertemu tentu yang paling nyaman adalah memeluknya dan menciumnya. Sesekali dia menolak juga dicium tapi kosodorkan saja kepalaku, biasanya dapat leher, pipi, kepala, dan yang paling asik ketika mendapat ketiak.
Isobel dengan ekspresi orang dewasa (foto: Piyo)

Siapa dia? Namanya Bobel. Usianya dua tahun. Rambutnya sebahu, sedikit kriting pada ujung-ujungnya, bila dalam keadaan basah maka itu panjangnya akan sampai punggung.

Rambut Bobel mengikuti rambut bapaknya Jimpe Rahman. Tapi bentuk badannya mengikuti ibunya Piyo. Bobel memanggil orang tuanya dengan sebutan Papi dan Mami.

Saya tak pernah punya niat untuk tahu nama aslinya. Tapi yang jelas nama Bobel itu dari Isobel – entah benar tulisannya demikian. Bobel punya nama panggilan untuk setiap temannya. Semua berbeda dari panggilan kebiasaan.

Ini hanya sebagian, ada Hepi yang disapanya dengan nama Appi' atau Barak berganti jadi Badak. Tika diganti jadi Tita, Weda berganti Toe, Aan berganti Nyenyen, Dedi berganti Onyi, dan saya Eko berganti Eto.

Suka sekali saat dia memanggil saya, sebab selalu mengulangnya dua hingga tiga kali. “Eto..Eto..,” katanya. Atau memanjangkannya, “Etooo...,” katanya bila sedang meninginkan sesuatu.

Hubungan persahabatanku dengan Bobel belum setahun. Kalau tidak salah itu terjadi pada awal tahun 2011. Cara kami berkenalan juga unik. Saya ke rumahnya di Kompleks BTN CV.Dewi untuk berbincang-bincang dengan papinya dan meminjam buku. Waktu itu dia sedang asik bermain. Tiba-tiba dia datang mendekat dan menunjuk beberapa benda. “Apa ini..apa ini,” katanya.

Saya tentu menjelaskannya. Tapi dia mengulangnya dengan benda lain, “apa ini. Apa ini,” lanjutnya.

Ternyata ini cara dia mengakrabkan diri dengan lawan bicara yang baru ditemuinya. Bukan salam atau cium tangan atau apa pun. Tapi dengan benda dan meminta seseorang menjelaskannya.

Bila sesi perkenalan dengan penjelasan sudah selesai. Dia akan mengajak ngobrol dengan bibir yang cerewet. Tak jelas apa yang dikatakannya. Tapi caranya bicara sangat meyakinkan. Pernahlah saya dan Maminya sedang duduk ngobrol santai. Tiba-tiba dia datang dan bercerita, mungkin seperti ini perkataannya, “kakhhafjadhd jdhfhdjjd dhfhjhd, ya...hdajhdf, hdhjaall,”

“Iya,” jawab Maminya.

Dan kau tahu apa yang dilakukannya. Dia berteriak dengan kencang, kecang sekali, hingga wajahnya memerah. Setelah itu dia diam. “Wah, ternyata minta izin berteriak,” kata Maminya seraya tertawa.

CERITA lainnya. Bobel punya kosakata sendiri. Entah dari mana dia mendapatkannya. Hanya satu kata yakni, cacao. Kata ini tak jelas diartikan sebagai apa. Apakah untuk mengacaukan sesuatu atau untuk ekspresi kemenangan.

Tapi yang jelas, bila Bobel merombak tumpukan buku di yang tersusun di rak buku teras rumah – rumah Bobel juga adalah sebuah perpustakaan komunitas, namanya Kampung Buku – dia akan berucap, Cacao.

Namun, pergeseran makna Cacao ini lama kelamaan bergerak sesuai kondisi. Misal ketika saya hendak pulang, biasanya saya pamit dengannya dengan kata, bye bye dan menambahkan cacao.

Atau ketika mengejek teman-teman bisa juga dengan kata cacao. Jadi intinya, cacao dan arti sebenarnya hanya Bobel yang tahu.
***

Pada Bobel, saya menghadiahinya dua ekor kelinci. Satu putih dan satunya lagi abu-abu. Lalu Papinya memberi nama si putih adalah Karni dan si abu-abu adalah Ilyas. Kami berdoa semoga si Karni dan Ilyas bisa hidup sampai ubanan.

Bobel begitu senang melihat dua ekor mahluk itu. Awalnya dia tak ingin menyentuhnya. Geli mungkin. Karena itu dia selalu menyodorkan kakinya bila ingin mendekati. Tapi beberapa hari kemudian Bobel berani juga menyentuhnya, menariknya seperti mencubit.

Bobel senang sekali teriak-teriak didekat kelinci itu. Atau menggoyang-goyang kandangnya. Oh ya, sebelumnya si Karni dan Ilyas tak punya kandang, hanya di tempatkan di dalam kardus. Tapi Om Ican menghadiahkan kandang yang cantik. Warnanya ungu terbuat dari besi.

Dengan kandang itu, si Karni dan Ilyas terlihat lebih segar. Udara dengan bebas memasuki kandang, tidak pengab seperti ketika masih dalam kardus. Bobel menyebut kelinci itu dengan keminci. Kadang-kadang juga memanggilnya Iyas (Ilyas).

Bila Papinya memotongkan wortel untuk si Karni dan ilyas, dia selalu ikut. Kadang-kadang potongan wortel itu disodorkan ke si kelinci, mengikuti gaya Papinya. Sekarang dengan kelinci itu, Bobel mulai bermain. Tapi masih tetap belum bersahabat.

Tadi itu, Sabtu 20 Agustus 2011, beberapa menit sebelum berbuka puasa Bobel mengeluarkan semua makanan kelinci dalam kandang. Mencabik-cabik sawi dan wortelnya. Lalu tanpa terlihat, karena saya, Papi dan Maminya berada di ruang makan, sementara kelinci dan dia ada di teras. “Hmmm, kenapa bisa begini,” kata Papinya ketika keluar. Makanan kelinci itu sudah berhamburan.

Pernah pada suatu kali, kelinci itu di pegang oleh Andrew – mahasiswa dari Amerika Serikat yang tinggal di Kampung Buku dalam rangka penelitian akan perkembangan bahasa Bugis – Bobel begitu marah. Dia tak ingin kelincinya di pegang Andrew. Tak jelas apa alasannya, tapi Bobel menangis untuk itu.

Saya juga menemukan adegan yang lucu dan sedih, terkait keberadaan kelinci itu. Pada Jumat, 19 Agustus 2011, saya menginap di Kampung Buku. Saya tidur di depan meja kerja Papinya Bobel. Dan kandang kelinci itu ada di dekat situ. Saya masih tertidur ketika mendengar Bobel menangis, sesenggukan. Saya juga dengar suara Maminya.

Saya membuka mata dengan pelan. Bobel dan Maminya sudah saling berhadap-hadapan. Tangan Maminya ada dua pudak Bobel. Ternyata pagi itu Bobel lagi dinasehati, bagaimana supaya tidak mengganggu kelinci. Bagaimana seharusnya menyayangi kelinci.

Menurut Maminya, kelinci jangan digoyang-goyang dan kandangnya jangan ditendang. “Tidak boleh. Dengar Mami, liat Mami. Tidak boleh,” katanya.

Bobel berlinang air mata. Sepertinya bocah itu tahu diri kalau sedang bersalah. Memang sih, Bobel memiliki kebiasaan yang bisa membuat kelinci itu stres. Seperti menggoyang kandang, atau mencolok matanya dengan jari. Tapi itu tadi, Bobel anak dua tahun dan baru belajar memiliki peliharaan.

Cara Mami dan Papinya mengajari Bobel cukup menarik bagi saya. Saya ingat pertama kali berkunjung ke tempat itu. Sebagai anak kecil, Bobel belum bisa mengeluarkan kata yang sesuai dengan lafas seharusnya. Tapi Papinya mengajak saya mengajarinya dengan tidak berusaha meniru cara pengucapan anak kecil – misalnya harus cadel juga mengatakan sesuatu. Menurut Papinya, anak-anak yang diajari dengan bahasa cadel akan lebih sulit bicara.

Maka untuk itu, ketika Bobel melakukan kesalahan, orang tuanya menasehati seperti anak-anak yang sudah paham dan mampu memilah mana yang baik dan tidak.

Saya pernah melihat Bobel jatuh dengan menggunakan sendal orang dewasa. Yang jauh lebih besar dari kakinya. Papinya sudah menasehati untuk tak pakai itu sendal, tapi Bobel tetap saja nekat. Lalu dia terjatuh. Tahu tidak, apa kalimat pertama yang diucapkan, “tidak apa-apa.”

Kalimat ini begitu fasih keluar dari mulutnya. Saya kira dia belum tahu apa arti sebenarnya kalimat itu. Ketika Bobel jatuh, baik kesakitan, sambil mengeluarkan air mata, atau menangis terseduh, dia tak akan lupa mengatakan kalimat itu. “Tidak apa-apa,” seraya mengusap bagian tubuhnya yang kesakitan.

Sekarang ada kalimat baru lagi. Yakni Mauka, tapi pengucapannya menjadi Mouka'. Semua perkataannya tiba-tiba ditambah kata ini. Maoka mandi, maoka jayan-jayan (jalan-jalan), atau hal yang tidak berhubungan. (Eko Rusdianto)

Komentar

Postingan Populer