Mempelajari Makassar dari Tiga Penjuru

foto: Anwar J Rachman
PADA AKHIR PEKAN awal Oktober 2011, saya mendatangi Daeng Serang Dakko, master gendang Sulawesi Selatan, di Benteng Somba Opu. Esok siangnya saya bersama Surahman Ahmad, yang akrab dipanggil Abba’, di studionya di kawasan Borong, Panakkukang. Malamnya saya ke kedai buku Jenny, di Kompleks Wesabbe, kawasan Tamalanrea.
 
Baik, saya mulai dari Daeng Serang Dakko. Saya mengenalnya lewat Calling Back the Spirit, buku terbitan Oxford University Press yang tersiar awal dekade 2000-an, karya etnomusikolog dari Amerika Serikat, Anderson Sutton. Daeng Serang memimpin Sanggar Alam, yang setiap Sabtu dan Minggu sore berlatih. Pada Sabtu itu, saya di sana bersama Sigit cs (kawan dari Jakarta yang meliput kegiatan kreatif di Makassar), serta Tika yang ikut latihan menari di sanggar yang terletak di depan rumah adat Toraja Kompleks Benteng Somba Opu itu.
 
Untuk buku Pak Andy, sapaan akrab Anderson Sutton, pula saya datang menemui Daeng Serang. Saya mau meminta izin mengambil gambar Daeng Serang demi melengkapi buku Calling, yang sudah diindonesiakan oleh Penerbit Ininnawa. Sampai tulisan ini saya susun, Calling dalam tahap penyuntingan. Kesepakatan akhir saya dengan Daeng Serang, pekan depannya ia meminta saya datang lagi, sekalian mengobrol panjang.

Daeng Serang merupakan salah seorang maestro kesenian Sulawesi Selatan yang disebut oleh Pak Andy dalam Calling. Beberapa nama dalam buku ini semisal Mak Coppong (maestro tari magis, Pakkarena), Bu Nani Sapada (pionir pemanggungan tari etnik-etnik di Sulawesi Selatan), dan Siradjuddin Daeng Battang (maestro keso’-keso’, rebab Makassar), sudah menghadap Sang Pencipta. Maklum penelitian itu Pak Andy lakukan pada paruh awal 1990-an.
 
Umur Daeng Serang, menurut pengakuannya, sudah 72 tahun. Tapi ia masih sigap dan cekatan. Daeng Serang memutar kaset dari sebuah tape recorder ber-sound system tunggal dalam latihan menari sore itu. Sesekali Daeng Serang menabuh gendangnya mengikuti irama yang mengalun dari kaset lalu menggebuk berimprovisasi dengan gendang besar yang konon ia sering pakai dalam acara resmi pemerintah itu.
 
Sembilan penari berlatih di sanggar Alam. Ada dari kalangan biasa. Banyak juga dari kalangan mahasiswa seperti teman saya, Tika, dan seorang mahasiswa Sastra Inggris UNM, Eva. “Sebenarnya ada UKM di kampus, tapi bagi saya tidak memadai. Makanya saya ke sini belajar,” ujar Eva, di sela latihan.
foto: Anwar J Rachman

Daeng Serang menutup pertemuan itu dengan menunjukkan tulisan di oblong hitam yang ia pakai: Seni Budaya dan Tradisi Tidak Bisa Dinilai Uang, Tetapi dengan “Kepuasan”. “Kita harus melakukan sesuatu dengan ikhlas, tanpa harus diimingi duit. Untuk kepuasan batin. Ya kalau sudah ahli, pasti uang yang mencarimu,” pesan Daeng Serang, ingin menegaskan pesan dari kaosnya.
 
Daeng Serang kerap mendapat undangan tampil, mulai dari acara keluarga kelahiran-perkawinan, festival kebudayaan, acara resmi pemerintah kota-provinsi-pusat, sampai undangan tampil dalam perayaan ulang tahun Raja Thailand. Ketika menjelang tsunami melanda Aceh, termasuk Negeri Gajah ini, Daeng Serang berada di Thailand.
 
Sehari menjelang tsunami, Daeng Serang dalam keadaan antara tidur dan terjaga, mendengar suara. Sang suara yang menyuruhnya pergi dari negeri itu. Daeng Serang seperti orang yang bermimpi berjalan. Ia ikut saja apa yang dikatakan suara itu. Daeng Serang mengajak beberapa kawan untuk pulang. Sesampai di Makassar, ia menyaksikan Aceh diterjang gelombang raksasa lalu menyapu kawasan lain, termasuk Thailand.
 
Kunjungan saya berikutnya ke Abba’. Dia mantan mahasiswa jurusan seni rupa di UNM, angkatan 2003. Lelaki ini berkulit coklat, bertubuh atletis. Matanya bulat, seperti ingin menelan dunia. Hari itu Abba’ terserang flu. Tapi senyum tak pernah lepas wajah lelaki dari Pajalele, Pinrang ini, sebagaimana hari-hari biasa.
 
Galeri Abba terletak di lantai dua sebuah kos-kosan, di sekitaran jembatan Borong. Di belakang rumah ini menghampar sawah. Pandangan tak berpenghalang sampai ke cerobong PLTU Tello yang mengeluarkan asap setiap hari.
 
Di dalam galeri, terpajang karya lukisan Abba’, yang sebagian besarnya bertema alam dan manusia Sulawesi Selatan. Beberapa juga jelas mengambil ikon Sulawesi Selatan, semacam pa’raga, rumah adat Bugis dan Makassar, tanduk kerbau (ikon Toraja), sampai sabung ayam.
Akhir-akhir ini Abba’ bergadang menyelesaikan kerajinan dari barang bekas. Salah satu dinas di Makassar mengundangnnya berpameran di Gorontalo. Jangan heran bila sempat ke sana, Anda akan temui begitu banyak barang bekas di bagian tengah galeri Abba Art Studio. Hari itu studio Abba penuh dengan tempurung buah maja. Abba mengubahnya menjadi asbakdengan mengukir dan mengecatnya.
 
Di sela kesibukannya, Abba menunjukkan pada saya iklan tempo dulu vespa, jenis skuter yang selalu Abba tunggangi bila bepergian. Di lantai satu kos-kosan tersebut, terparkir sebuah vespa hijau bernomor plat 7460 NA, yang sepintas terbaca “JAGONA”.
 
Tidak semua lukisan Abba’ ada di galeri. “Beberapa saya titip di kafe di perbatasan Makassar Gowa. Masih ada juga di Trans Studio. Belum saya ambil karena baru habis pameran dengan Zainal Beta,” terang Abba’. Zainal Beta dikenal publik Makassar sebagai pelukis tanah liat.
Abba’ kerap menitipkan lukisannya, sebagai cara ia mengenalkan karya ke khalayak. Kerap pula Abba pamerkan karena even kecil. Abba’ pernah menitipkan beberapa lukisannya untuk dipajang dalam rangkaian gerobak bioskop Dewi Bulan, program bulanan pemutaran film ala layar tancap besutan Tanahindie dan ruangrupa, di Kampung Buku, Kompleks CV Dewi Panakkukang.
 
Malam usai berkunjung ke Abba’ Art Studio, saya mengunjungi sebuah Kedai Buku Jenny. Kedai buku ini baru dirintis. Para perintisnya sekumpulan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Mereka membuat dan merakit raknya dari bambu, mengerjakannya hingga larut malam. Sampai beberapa di antaranya tertidur lekas kendati jam baru menunjuk pukul 10.00 malam. Mereka menjual buku, menyablon kaos dan memasarkannya sendiri. Semuanya mereka lakukan di kedai itu. Mereka mengobrol dan bernyanyi.
 
Saya selalu merasa beruntung bila sempat datang ke orang-orang atau komunitas seperti ini. Selalu ada semangat yang kuat terpancar dari mereka. Saya belajar dari mereka, menyerap semangat itu. Dari percakapan dengan mereka, meski tersirat, bahwa mereka tanpa henti merajut mimpi yang mereka harapkan terjadi. Mereka tak pernah jauh dari diri mereka—berdaya pikir dan berdaya tahan untuk segala yang mereka impikan.

Catatan ini terlalu pendek bagi mereka. Ini pun hanya menampilkan generasi dari tiga waktu yang berbeda. Daeng Serang bekerja dan bergiat sejak lama untuk kesenian tradisional Sulawesi Selatan; Abba’ generasi yang belakangan belajar tentang dunia Sulawesi Selatan mengurainya dalam lukisan dan karya-karya mereka; sementara Kedai Buku Jenny dan komunitas yang sejenis mencoba bangkit dari hal-hal lebih kekinian di kalangan terkecil yang ada di Sulawesi Selatan.
 
Dan saya sadar, ternyata[!], saya baru berkunjung ke tiga arah di kota ini. Belumlah sampai keempat penjuru mata angin. Pasti masih banyak di luar sana yang bisa menjadi tempat belajar—mementingkan tindakan dari sekadar bicara.[]

Komentar

Postingan Populer