Masa Kuliah yang ‘Berlumur Dosa’

Kalau ada dosa yang membanggakan, maka yang hendak saya ceritakan barangkali termasuk dosa. Tapi saya lebih suka menyebutnya semacam ‘balas dendam’. Ini soal pelanggaran sebuah janji.
 
Saya kerap berjalan bertiga dengan Zul dan Ripe di masa kuliah. Kami diplonco bareng. Kentalnya hubungan kami sehitam saluran air yang pernah kamu temui. Lama-lama, saya merasa, hubungan kami tidak sekadar teman biasa. Jalinan gerombolan ini jadi perkawanan dan jadi persahabatan. Kami kerap nongkrong di kampus sampai magrib (atau malam). Kami pun melanjutkannya di luar kampus. Kalau tidak sedang menginap di rumah Ripe di Pa’baeng-baeng, kami menghabiskan waktu di kontrakan saya di Tamalanrea (yang berlanjut di rumah saya di BTP). Kalau ada kiriman orangtua, Ripe atau Zul yang mengantar saya mengambil di perwakilan bis.
 
Hubungan kami bahkan sampai jadi berubah bagai sedarah dan sekandung, saudara semakan dan seair. Kopi segelas kami tigai. Makanan sebungkus, bila musim kere tiba, kami sisakan untuk yang lain. 

Ke mana pun kami seperti angka 101. Saya dan Zul adalah dua pemuda ceking yang mengapit Ripe yang berbadan sentosa. Tapi siapa yang lebih subur antara saya dan Zul? Barangkali, saya lebih berat sekisar lima kiloan dari Zul. Tapi Zul lebih percaya diri bertelanjang dada, sekalipun di depan teman perempuan seangkatan. “Badan Zul seperti tripleks yang ditempeli dua butir nasi,” begitu ejek saya bila dia membuka baju. Ripe terbahak mendengar ejekan saya itu.
 
Saya menduga, Zul biasa buka baju untuk meniru Iwan Fals, tokoh idola kami berdua. Saya takjub pada lirik-lirik lagunya, Zul lebih kagum pada gaya Iwan (semisal Iwan Fals bertelanjang dada menyanyi di panggung). Zul memang sering bersuara fals bila menyanyikan lagu-lagu Si Oemar Bakrie itu.
 
Anggapan saya tentang kampus semata-mata tempat bergaul. Ruang kuliah seperti embel-embel, boleh ada boleh juga tidak. Kami bukan anak ‘bureng’ (buru rengking), golongan yang betah duduk lama di ruang kuliah dan mengejar nilai tinggi. Untuk menegaskan itu, Ripe dan Zul membentuk kelompok bernama Dislexia, nama yang merujuk satu penyakit susah berkonsentrasi belajar. Saya, dengan sendirinya, merasa jadi salah seorang umat aliran ini karena kerapnya berkumpul dengan dua sahabat ini.
 
Dalam sebuah obrolan saya dengan Zul di Baruga, kami sempat membincangkan rasa frustasi tentang perkuliahan. Tugas menumpuk, keharusan kuliah pagi (beban berat bagi para tukang begadang), dan larangan bersandal jepit masuk kelas adalah tiga dari sekian hal yang membuat kami memicu kedongkolan kami pada dunia kuliah.

Saya dan Zul lalu berjanji untuk melewatkan saja semua mata kuliah yang kami program di KRS semester ganjil kami.

Zul belakangan mengkhianati janji sejoli kami. Saya menganggap dia ‘berkhianat’. Dia masih saja rajin di beberapa kuliah. Salah satunya Studi Kawasan Pasifik (nama mata kuliah ini mungkin sudah berubah).

Zul lalu mendapat giliran naik ke depan kelas untuk presentasi profil negara di kawasan Pasifik. Ia kebagian Mexico. Bahan sudah lengkap. Tulisan spidol profil, trivia, dan segala tetek bengek Mexico di lembaran flipchart sudah siap. Kecuali satu: nama presiden Mexico!
 
Di himpunan, bergilir orang ia tanyai, tapi semua menggeleng tidak tahu. Ia hanya menggaruk-garuk kepala. Bingung mau cari tahu di mana. Waktu sudah mepet. Saya yang mencuri dengar pertanyaan Zul ke banyak kawan, diam-diam menyiapkan jawaban.

“Huan Klementero,” bisik saya ke Zul.

“Betulan?” tanya Zul, setengah percaya.
 
“Iya! Tapi, tidak usah ditulis kalau tidak percaya.”
 
Zul tampak melunak. Mungkin karena satu pertanyaan yang tersisa sudah dapat jawaban. Waktu makin sempit.
 
“Bagaimana ejaannya?” tanya Zul, yang masih setengah percaya.
 
Waktu tinggal satu-dua menit.
 
“J-u-a-n C-l-e-m-e-n-t-e-r-o,” eja saya. Suara saya lirih, tanda saya masih setengah tega.
 
Zul menuliskan huruf-huruf yang saya eja itu ke flipchart.
 
Ia bergegas riang. Profil Mexico lengkap. Tampil sekarang pun ia pasti siap.
 
Selang satu setengah jam kemudian, Zul datang tersenyum puas. Rupanya, kata Zul, ia membaca tanda kalau ia bakal dapat nilai memuaskan. Kok bisa?
 
“Iya, dosennya tersenyum puas,” timpal Zul.
 
Dugaan Zul benar. Dia mendapat nilai A di akhir semester. Saya menduga, itu sebiji nilai tertinggi yang diperoleh Zul di semester itu.
 
Sekisar setahun kemudian, Zul datang pada saya dan menyatakan sumpah. Seumur-umur, begitu Zul mencetus, dia tidak akan percaya dengan apa pun yang saya katakan. Baik sekarang maupun nanti. “Titik!” Zul menekankan.
 
Apa pasal? Rupanya ia baru saja tahu nama presiden yang saya bisikkan di telinganya hanya nama rekaan. Saya tertawa puas. “Tapi kan kamu dapat A,” timpal saya.
 
Bertahun-tahun setelah kejadian ini, saya buka laman di internet, presiden Mexico kala itu bernama Ernesto Zedillo Ponce de León. Bandingkan kecocokan nama yang saya bisikkan ke telinga Zul. Huruf ‘J’ pun tak ada di situ. Tapi, bukan Zul yang saya kasihani, melainkan dosen dosen pengasuh mata kuliah itu.
 
Juan Clementero itu nama rekaan refleks saya. Saya menyebut nama itu lantaran, sepengetahuan saya, Juan adalah nama awam pria Latin, yang saya comot dari cerita Zorro yang saya baca masa SD dulu. Sedang Clementero sendiri mengadopsi bunyi pelafalan merek permen “Mr. Sarmento”. Yang membekas di benak saya adalah logo permen itu, kalau saya tidak keliru, kelinci bertopi Sombrero, topi khas Mexico. Biar meyakinkan, saya memplesetkan ‘Sombrero’ jadi ‘Clementero’ untuk bunyi yang, entah atas pertimbangan apa, saya pikir cukup meyakinkan bagi telinga Zul.

Benar-benar dosa sekaligus pembalasan yang membanggakan.[]

Komentar

  1. hahaha sy jg pux pengalaman yg sm di matkul studi kawasan amerika; kala itu kita disuruh menyebut nm tokoh2 di amerika latin dan teman sy (achi) kehabisan tokoh panutan krn duduk dgn sy paling blkng. dgn enteng sy membisikkan roberto da silva-presiden brazil dan sekls (bahkan dosen) mengiyakan pula tokoh tsbt. padahal nama itu merupakan paduan imajinasi sy dari ROBERTO carlos dan gilberto DA SILVA pemain sepak bola brazil.

    BalasHapus
  2. hahaha sy jg pux pengalaman yg sm di matkul studi kawasan.amerika; kala itu kita disuruh menyebut nm tokoh2 di amerika latin dan teman sy (achi) kehabisan tokoh panutan krn duduk dgn sy paling blkng. dgn enteng sy membisikkan roberto da silva-presiden brazil dan sekls (bahkan dosen) mengiyakan pula tokoh tsbt. padahal nama itu merupakan paduan imajinasi sy dari ROBERTO carlos dan gilberto DA SILVA pemain sepak bola brazil.

    BalasHapus
  3. hahahaha! rupanya dosa beginian masih ada ya?! mantaflah! :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer