Perempuan Magma Samosir

Di Samosir, ubun-ubun Sumatera Utara, perempuan-perempuan Batak membantu perekonomian keluarga dengan menenun ulos. Sengaja maupun tidak, mereka tetap berkarya kendati posisi perempuan dalam masyarakat Batak masih di pinggir perhatian; di tengah masyarakat yang beretos maskulin. Berikut tulisan saya tentang seorang perempuan Samosir 2010 lalu.

Kosti Sinurat dan alat tenunnya. (foto: Idealita Ismanto)
TAK PERNAH terlintas di benak Kostina Sinurat (46) kalau anaknya, Sandro Sitanggang (27), tidak mau melanjutkan sekolahnya. Padahal tujuh saudara Sandro justru sebaliknya. “Saya sampai sekarang tidak mengerti mengapa,” ujar Kosti.

Suara perempuan bertubuh besar nan sehat ini tanpa ragu; mantap dan bulat seperti bunyi baliga—sebatang alat tenun yang ia pakai merapatkan tiap helai benang ulos setiap hari. Matanya menatap tajam; sebagaimana intensnya Kosti menenun kain khas suku Batak itu, di Rabu sore pekan ketiga Mei.

Sandro adalah anak sulung pasangan Kosti Sinurat dan Sintong Sitanggang. Sandro kini tinggal di Jakarta, mencari nafkah sebagai sopir angkutan kota. “Tapi kita sudah coba mendorong dia tetap sekolah. Kalau anaknya memang yang tidak mau, ya mau apa lagi,” begitu Kosti mengujar pasrah. Ia berhenti menggerakkan baliga sebentar dan melanjutkan kerjanya.

Adik-adik Sandro berpendidikan beres. Elis (25) lulusan Ekonomi Manajemen Univesitas Katolik Santo Thomas Medan kini mengurus administrasi Radio Samosir Green; Verawaty alumni D1 Medikom Medan sekarang kerja di PNPM Samosir; Esra yang lahir 30 Oktober 1988 masih kuliah kebidanan; Domuraja (20) lulus PMDK di Bandung; Hendra Priyantoni (18) di kelas II SMA, mengulang kelas karena menganggur setahun lantaran kakinya patah dalam sebuah kecelakaan Agustus 2009; Apriyoni yang lahir pada 27 April 1996 sekarang kelas III; sedang si bungsu, Elisabeth yang berusia 12 tahun duduk di SMP Kelas I, “Dapat ranking dia,” ujar Kosti bangga.

Kosti tak lain salah seorang penenun di komunitas kecil yang bermukim di Huta Lumban Nabolak, Buhit Pardugul. Huta (kampung) ini berada di pinggir Danau Toba, termasuk wilayah Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Kampung yang terletak sekisar 10 kilometer dari Pangururan, ibukota Samosir, dihuni oleh enam marga, yakni Sinurat, Sitanggang, Malau, Nainggolan, Naibaho, dan Sihotang.

Tampaknya tradisi terjaga di huta ini. Di sana masih terawat rumah adat kuno, rumah ganjang (panjang) dan rumah bolon (rumah besar), lengkap dengan foto pastor berwarna sepia di samping kanan pintu utamanya. Konon, sosok yang ada dalam foto itu adalah pastor pertama yang mengabdi di Huta Lumban Nabolak. Ada pula tempat tidur kayu yang sudah berumur 200-an tahun.
Gambar-gambar berwarna sepia di salah satu rumah pusaka
(foto: Idealita Ismanto) 
“Itu pusaka orang dulu. Pusaka yang menurun ke kita. Hanya atapnya yang diganti seng. Dapurnya sudah di belakang. Semua, dari dinding sampai tiangnya masih asli. Dulu di situ tinggal enam keluarga. Makanya, dapur mereka dulu di tengah,” jelas Kosti di keesokan paginya, sambil menunjuk rumah besar yang tepat berada di samping rumahnya, “tanpa dinding!” sergah Kosti—seperti tahu pertanyaan susulan penjelasannya tadi.

Kosti melakoni kerja menjalin ulos setiap hari, mulai pagi hingga menjelang senja. Para tukang tenun Buhit Pardugul mengerjakan ulos bermotif Karo. Ulos motif Karo memang tidak ditenun di kampungnya; melainkan dikerjakan oleh perempuan-perempuan Samosir. Jarak Karo dari Samosir membutuhkan perjalanan ‘pergi pagi pulang malam’. Entah sebab apa hal ini berlangsung sejak lama.

“Ya, kalau lan..car,” kata Kosti, sambil menatap ke atas, “satu lembar itu bisa selesai tiga atau empat hari,” lanjut Kosti. Dia lalu mengambil selembar kain berwarna merah marun campur coklat dari kantong plastik menunjukkan contoh hasil kerajinan tangannya. Beban Kosti menyelesaikan sehelai seperti itu menjadi ringan berkat bantuan dua anak perempuannya yang terakhir. Elisabeth menggulung benang—bahan baku tenunan yang dibeli di Karo; sementara Apriyoni membantu mangani (menjajar benang ke dalam alat tenun).

Matahari mulai redup di balik gunung seberang Danau Toba. Awan mulai menjingga. Kosti berhenti menenun. Penahan punggung, tundalan, ia lepaskan. Pagabe (penjepit kain) dan giun (pemisah helaian benang) ia dekatkan ke pemapan (penahan benang). Sementara turak (tempat benang pengisi) Kosti masukkan ke kaleng bekas bundar bekas tempat camilan bercampur dengan gulungan-gulungan benang. Perempuan berambut lurus itu segera duduk menyeruput segelas teh dan kue gabin, berbaur dengan para kerabatnya. “Yang paling sering sakit kalau habis menenun itu paha dan bahu,” kata Kosti seraya meregangkan badan.

Perangkat tenun ulos. (foto: Idealita Ismanto)
Kosti lalu memalingkan wajahnya ke Derita Sitanggang (31), yang duduk di sampingnya. Keduanya berbicara bahasa Batak—sepertinya menanyakan sesuatu. Derita yang punya panggilan akrab Nai Dimpos ini sejak tadi menemani Kosti menenun, sambil bermain dengan bayinya yang berumur setahun di atas matras hijau terang. Rumah Nai Dimpos hanya diantarai tiga rumah dari rumah Kosti. Beberapa kerabat Kosti, kebanyakan bocah, berkumpul di halaman rumah Kosti bermain. Sesekali terdengar suara babi dari kandang yang berjarak hanya tiga atau empat meter dari tempat Kosti menenun.

Menurut Kosti, hasil tenunannya dijemput langsung para toké (pedagang kain ulos) di Lumban Nabolak. Para pedagang inilah juga yang biasanya membawakan mereka bahan baku tenunan dari Karo.

“Dulu, waktu kami (saya) belum berkeluarga, kamilah yang bawa dan pasarkan sendiri ulos kami ke Karo. Karena sekarang repot mengurus anak, ya mereka (tokĂ©) mulai datang lagi ke sini,” jelas Nai Dimpos.

Harga ulos seperti hasil kerajinan tangan Kosti tadi seharga Rp300ribu per helai. Setiap helainya, Kosti mendapat keuntungan bersih Rp120 ribu. Kosti peroleh laba itu dari hitungan sebagai berikut: biaya kerja Rp120.000 (Rp30.000 × 4 hari kerja) + Rp60.000 (modal bahan) = Rp180.000,-.

Harga Rp300 ribu per helai bisa menjadi dua kali lipat bahkan lebih bila pedagang ulos sudah menjualnya di pasar. Harga ini sekisar tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan ulos hasil rajutan mesin. Harga itu, menurut pedagang-pedagang di onan, pasar pekanan di Parurungan, tenunan manusia jauh lebih rapi dan lebih rapat dibanding buatan mesin. Sebutan onan berasal dari bahasa Batak Toba, on (di sana) dan an (di sini), yang merujuk banyaknya barang yang tersedia/dijual di pasar setiap pekan ini.

Awalnya ulos hanya digunakan masyarakat Batak dalam acara ritual siklus hidup, seperti kelahiran, acara adat perkawinan dan kematian. Namun belakangan ini pemakaian ulos dalam masyarakat Batak semakin meningkat. Mulai dari acara kelahiran, pembaptisan, naik sidi, memasuki rumah baru, acara adat perkawinan dan kematian. Pihak dari keluarga perempuan (istri) akan membawa ulos, sedangkan dari pihak laki-laki (suami) memberikan tumpak (uang).
Ulos yang terkumpul, jika banyak, sebagian akan dijual ke pedagang ulos.  Banyak tidaknya ulos tergantung besarnya undangan, misalnya pada saat acara adat perkawinan. Ulos yang terkumpul bisa dijual untuk menutupi biaya pesta perkawinan.

“Mereka (para pedagang ulos) akan datang dan menunggu pesta selesai. Begitu pesta selesai atau keesokan harinya, mereka akan datang menawar kain-kain ulos itu,” tutur aktivis KSPPM Parapat, Delima Silalahi, mengenang pengalaman pesta pernikahannya tahun 2002 lalu.

Menurut Kosti, sebagaimana halnya yang terjadi pada komoditas lain, harga ulos pun bisa naik turun. Di waktu-waktu tertentu seperti Ramadan (orang Karo banyak yang muslim) dan menjelang masuk sekolah, harga ulos sering turun.

“Karena para pembeli kan lebih mendahulukan membeli sembako untuk puasa, pas menjelang tahun baru, atau beli seragam atau buku tulis anak yang mau masuk sekolah,” terang Kosti.
Keterampilan menenun ulos diturunkan pula Kosti ke anak-anak perempuannya sedari mereka kecil. Mulai dari Elis, anak perempuan tertuanya, sampai ke Elisabeth yang bungsu. Si bungsu sejak duduk di bangku SD belajar menggulung benang. Pewarisan pengetahuan itu berjalan alami.

“Biasanya kan gitu anak-anak... kalau lihat kita kerja, dia juga minta diajari karena lihat saya sama kakaknya menggulung benang,” cerita Kosti.

“Sejak SD mereka menggulung, sambil belajar mangani. Sudah tamat menggulung baru belajar mangani. Di kelas III SMP sampai SMA mereka belajar menenun. Usia SMA mereka bisa kerja satu sarung seminggu. Kalau kami dua atau tiga per minggu,” sambung Kosti.

Kerja ulos itu membantu Kosti dan Sintong, suaminya, mengelola rumah tangga yang mereka bangun sejak 1982 silam. Hasil penjualan lembar-lembar ulos Kosti-lah yang membantu Sintong yang bergiat di sawah. Tentu dengan syarat, “Bila kita tidak terganggu panen atau musim tanam,” ujar Kosti.

Malam pun mulai merayap. Lampu di ruang keluarga Kosti sudah menyala. Orangtua dan anak-anak yang berkumpul di halaman sudah pulang. Hanya dua ekor anjing peliharaan Kosti yang berjaga di halaman. Kosti membungkus alat tenunnya dengan sarung lalu naik ke rumahnya.
Berdoa dan bekerja. (foto: Idealita Ismanto)
KOSTI SEKELUARGA bermukim di daerah berbukit. Cuara secerah bagaimana pun udara tetap sejuk dan matahari tak sampai terik menusuk. Itu karena letak Samosir 1000 meter di atas permukaan laut. Itu ditambah lagi oleh rimbun pokok kemiri, pohon mangga, kopi dengan buah merah dan hijau bercampur di tangkai-tangkainya, dan pokok randu yang tumbuh di kisaran rumahnya. Buah randu yang mencoklat di pekan ketiga Mei itu mulai pecah dan menebarkan kabu-kabunya ke segala arah, pertanda musim kemarau telah tiba.

Selain memberi pasokan oksigen yang memadai, pepohonan itu juga menambah penghasilan buat keluarga Kosti, selain kemiri di kebunnya yang satu rante, 400 meter persegi. Kosti menjual kemiri bulat dengan harga Rp35.000/kaleng (10 liter). Para penadah datang sendiri ke Lumban Nabolak untuk membeli biji-biji kemiri panenan Kosti.

Selain dari pekarangan, Kosti sekeluarga mendapatkan buah-buahan dari kebun. Di sana tumbuh pisang, alpukat, mangga, dan jagung.

“Kalau (alpukat) lagi berbuah, kita bawa pulang bikin jus di rumah. Kalau sedang ada uang, kita tambah susu,” kata Kosti tertawa, seraya menyeka keringat di keningnya. Mungkin ia membayangkan lezatnya jus itu di tengah cuaca cerah, sehabis mengeringkan gabah di sekitar penggilingan saudaranya.

Namun karena pohon-pohon itu berbuah musiman, pasar tiap Rabu menjadi alternatif keluarga ini mendapat pasokan buah-buahan.

Di pasar itu pula Kosti rutin membeli daging. “Kalau nggak ada uang kita untuk beli sekilo, ya beli setengah kilo, kalau nggak setengah kilo ya sepuluh ribu,” katanya enteng. Ia mengaku, resep ini sejak dulu ia terapkan di rumahnya, kendati belakangan anjuran yang sama disampaikan oleh petugas puskesmas setempat.

Kondisi alam dan pola asupan yang diterapkan Kosti membuat seluruh anggota keluarga hidup sehat. “Anak-anak saya sangat jarang sakit. Kalau pun sakit ya pilek biasa aja. Itu pun kita tidak bawa ke puskesmas. Kita telepon saja bidannya, bidannya yang datang ke rumah periksa dan dikasih obat. Nggak pernah disuntik,” jelas Kosti.

Riwayat sakit terparah justru ada pada Sintong. Kondisi hati (lever) suami Kosti itu akut di tahun 1997 sampai harus dibawa ke rumah sakit di Medan. Di sana mendapat perawatan selama dua minggu, mengharuskan Kosti yang kala itu mengandung Elisabeth 4,5 bulan ikut ke Medan. Sepulang rumah sakit, Kosti merawat sang suami dengan pengobatan alternatif di sekitar Belawan. “Saya nggak ingat obat apa, tapi yang jelas akar-akaran dimasak,” kata Kosti, seraya memainkan gelang mambang kuningnya.

Karena penyakit hati itu, Sintong tidak boleh mengecap makanan bergaram selama setahun penuh. Santapan sehari-harinya hanya ikan tawar yang dibakar dan sayur rebusan kacang panjang.

“Makanya dia tidak merokok lagi. Dulu dia peminum. Sekarang udah kena dia, berubahlah dia. Nggak judi lagi, nggak mabuk lagi,” kata Kosti dengan suara yang merendah. Sintong kini mengganti rokok dengan sirih—kebiasaan awam di Lumban Nabolak.

Untungnya ketika itu, Kosti dan Sintong punya tabungan yang cukup. Tanggungan mereka belumlah sebanyak sekarang, ketika anak-anaknya masih kecil-kecil. “Sampai-sampai tabungan waktu itu ada 50-an juta. Barulah pas sekolah kuliah begini sudah susah,” ungkap Kosti. Matanya tak berkedip. Ia melanjutkan meratakan hamparan gabah dengan tangan.

Seperti magma yang menumpuk lalu membentuk Pulau Samosir, serta memberi kehidupan seratus tiga puluh ribu jiwa, begitu pula Kosti dengan sekuat daya—kendati bergerak dalam senyap—menghidupi orang-orang terdekatnya.[]

Komentar

Postingan Populer