Tiga Benda, Tiga Masa

Ada tiga benda penting dalam hidup saya sampai tulisan ini saya rampungkan: tip ex, mesin tik, dan komputer. Setiapnya mewakili zaman yang berbeda, tentu, berikut dengan kesusahan dan kemudahannya masing-masing.


Tipex
Saya mulai mengenal Tip Ex saat naik kelas III SD, ketika wali kelas saya, mendiang Bu Rosmiaty menuntun kami mengerjakan tugas atau mencatat memakai pulpen. Coret saja satu kali kalau salah tulis, kata Bu Ros. Himbauan Bu Ros muncul gara-gara ia sering mendapati buku tulis yang koyak—gara-gara banyak di antara kami masih memakai ludah buat menghapus kalau keliru menulis. Belakangan, entah siapa yang mulai, kapur tulis kami pakai menimpa tulisan yang salah. Sisa kapur kami ambil dari bawah papan tulis. Buku terlihat lebih bersih dan rapi pakai itu. Dengan begitu, tentu bisa jadi murid kesayangan Bu Ros yang terkenal memang bergaya hidup higienis.

Cara itu tidak bertahan lama. Mendiang Ayah memperkenalkan penghapus tulisan pada saya. Suatu hari di tahun 1987, Ayah meletakkan dua botol kecil berlabel merah dan hijau di atas meja kerjanya. Namanya Tipp Ex, produk Tipp-Ex GmbH & Co., perusahaan asal Jerman. Label di botolnya bergambar jari perempuan yang mengusap kuas cairan ini. Semua toko ATK (alat tulis kantor) menjual tip-eks ini. Wajar bila nama ini lalu melekat untuk segala jenis cairan pengoreksi tulisan. Wikipedia pun menyebut bahwa dalam bahasa Inggris British, ‘tippex’ berarti ‘menghapus’. Tentu saya harus berterima kasih pada seorang perempuan bernama Bette Nesmith Graham atas penemuan hebatnya ini pada pertengahan 1960-an.


Ayah mengatakan, botol merah adalah cairan yang dipakai untuk menghapus kesalahan tulis, persis penghapus di kepala pensil. Tinggal menunggu olesan putih itu mengering, kita bisa menuliskan lagi kata yang salah di atasnya. “Tapi kocok dulu sebelum pakai,” wanti-wanti Ayah. Botol yang di sebelahnya, yang berlabel hijau, berisi pengencer cairan penghapus putih bila mengental atau membeku. Kalau mengocok botol merah dan terasa ringan, terang Ayah, berarti cairannya mengental. Karenanya, saya harus menetesinya cairan bening dari botol hijau lalu mengocoknya agar bisa dipakai lagi.


Mengenal Mesin Tik
Pada masa SMP, tip-ex menjadi barang wajib setiap siswa. Bahkan peruntukkannya tidak hanya di buku tulis. Bangku dan dinding kelas, kantin, dan, tentunya, toilet mulai penuh goresan dan olesan tip-ex. Coretan seperti kian banyak lantaran bentuk tip-ex menyerupai cara kerja pulpen, tidak lagi seperti cat dan kuas yang mengharuskan kita mengoles. Namun terpenting adalah kelas II dan kelas III, mata pelajaran Keterampilan mewajibkan kami belajar mengetik. Sekolah saya menyiapkan ruang kelas khusus berisi 20 mesin tik. Dengan jumlah siswa 40 orang maka praktik berlangsung bergilir tiap 45 menit. Dan tip-ex menjadi benda wajib untuk pelajaran yang diajarkan tiga jam pelajaran selama sepekan.


(Di masa SMP sebenarnya, kami sudah mulai menulisi nama-nama geng yang berada di sekitar rumah masing-masing. Ya, apalagi kalau bukan untuk gagah-gagahan saja. Hal yang sama juga yang saya alami ketika bersekolah di SMA. Coretan nama-nama geng memenuhi di sudut-sudut sekolah. Tentu di masa ini, kadarnya lebih tinggi dibanding masa SMP dulu. Tulisan itu sudah sampai membasuh dinding kantin.)


Istilah ‘komputer’ menghantui hidup saya, terutama menjelang ujian kelulusan SMA. Seluruh lembaran jawaban EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, istilah kala itu) tidak lagi diperiksa manusia, melainkan komputer. Imajinasi yang muncul di kepala saya hanya selembar halaman jawaban yang meluncur dari sebuah mesin yang memindai (scanning) di lubang mana yang mendapat hitaman pensil 2B.


“Mengisi bulatan lembaran jawaban harus hati-hati. Bulatan harus penuh. Tidak boleh lewat garis lingkarannya. Jangan sampai kotor. Kalau kotor bisa-bisa lembar jawaban tidak lewat. Itu berarti kamu juga bisa-bisa tidak lulus,” begitulah wanti-wanti guru pengarah.


Saya terus terang saja pasrah. Pemeriksaan komputer setahun sebelumnya menjadi bukti. Banyak kakak kelas saya tidak lulus, termasuk Waddi, yang berubah status jadi ‘teman sekelas’. Korban lainnya teman sebangku saya, Anda’. Setahun sebelumnya ia bersekolah di Parepare. Anda’ pindah karena tidak lulus hasil ‘pemeriksaan’ komputer. Nurhady, kawan seangkatan Anda’ di Parepare menyatakan, malah ada juara kelas mengalami stres karena tidak lulus. “Siapa yang tidak syok kalau selama ini dia terkenal karena juara kelas malah tidak lulus,” kata Nurhady.


Masuk kuliah tahun 1994, saya menyusun tugas kuliah menggunakan mesin tik milik tetangga kamar. Kesabaran saya benar-benar teruji masa itu karena kebanyakan tetangga kamar, para pemilik mesin tik, adalah mahasiswa-mahasiswa ilmu eksakta. Wajib bagi mereka menyusun laporan pakai mesin tik. Bahkan, teman-teman ini lebih sering membuat laporan ketimbang saya yang berkuliah di non eksakta.


Bila musim tugas tiba, rumah kos akan riuh suara ketikan dari kamar-kamar. Suaranya jelas mengganggu karena setiap kamar hanya dipisahkan papan tripleks. Setiap yang mengerjakan tugas pasti beraktivitas lain menunjang agar mata tahan dari kantuk, seperti memasak air panas membuat kopi, mondar-mandir ke dapur, yang mengeluarkan bunyi papan terinjak atau pintu berderit. Ini semua karena rumah kos di daerah pinggir Kampus Unhas kebanyakan rumah panggung. (Mungkin karena pemiliknya membangun demikian demi menghindari banjir. Maklum, kawasan sekitaran Kampus masih rawa-rawa. Bila musim hujam tiba, orang malah takjub bila sebuah kos-kosan tidak tergenang air.)

Komputer
Saya mutlak meninggalkan mesin tik peralihan 1997-1998, ketika saya mulai mengenal komputer. Tapi kata ‘mengenal’ di sini maksudnya sebatas belajar mengetik. Maksud ‘belajar mengetik’ ini layaknya orang yang belajar membaca, tertatih-tatih. Meski kibor setiap aksara persis letaknya di mesin tik, tetap saja perlakuannya berbeda. Setahun kemudian saya beranikan diri belajar. Itu saya lakukan karena saya terpaksa dan was-was, menyusun skripsi pasti memerlukan kelihaian memencet kibor.


Lewat sahabat saya, mendiang Yusuf, saya leluasa menyusun skripsi memakai komputer yang ada di rumahnya. Ucu’, panggilan akrabnya, hanya tinggal berdua dengan adiknya, Indra. Orangtua mereka bermukim di Papua. Jauh lebih bebas dari rumah kawan lainnya. Apalagi, menulis, bagi saya, harus aman dari gangguan-gangguan. Saya intens lebih kurang selama dua minggu sampai tugas S1 itu saya berhasil rampungkan dalam bentuk cetakan (print-out). Masih terbayang saya berpikir keras bagaimana meredam derit printer Epson tipe LX agar tidak sampai membangunkan orang-orang sekitar yang masih terpulas pada dini hari. Akhirnya, saya berhasil membekap suaranya menggunakan benda yang selama ini juga dipakai para penjahat membunuh dalam film-film yang saya tonton: bantal!


Printer ini, bagi saya kala itu, seperti bentuk terbaru dari mesin tik. Tintanya masih tinta pita. Memasukkan kertas juga harus memakai penggulung yang ada di samping kiri kanan, tergantung tangan mana yang dipakai si pengguna. Kalau kertas miring, kita bisa meratakannya dengan menarik penguncinya yang ada di dekat tombol on-off.  


Jenis printer EPSON LX ini rupanya bukan generasi pertama. Sebelumnya, menurut Dias Pradadimara, saat mencetak skripsi tahun 1988 di Toko Cika Jalan Kaliurang Yogyakarta, ia sudah memakai printer dengan mata cetakan serupa mesin tik. “Huruf-hurufnya itu seperti kipas, tapi cepat sekali,” terang Dias. Pak Dias adalah dosen di Ilmu Sejarah Unhas alumni Universitas Gadjah Mada.


Komputer lalu berubah wujud cepat. Saya masih ingat persis bagaimana saya antri di sekitaran Kopma Unhas (kala itu masih di bawah Perpustakaan Universitas Hasanuddin) tahun 1998-1999, untuk mendapat giliran berinternet. Masa itu pula email pertama saya ada: jimpe@ekilat.com. Alamat ini ada berkat bantuan dari seorang perempuan langsing, operator warnet di Kopma.


Kini email itu sudah ada dalam genggaman saya sendiri; tak perlu antri. Tak perlu bersiap ke kantor pos untuk menjilat punggung perangko dan menempelnya di bagian kanan atas lalu pulang berharap cemas menunggu balasan paling cepat dua minggu.[]

Komentar

  1. sangat terkesan dengan cerita tip-exnya jimpe :)
    sekedar share cerita tip-ex, saya dulu waktu sd kalau isinya sudah habis,dimasukkan bubuk kapur tulis yang sengaja dihaluskan lalu masukkan bensin terus dikocok :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer