Sumatera, 90 Kilometer per Jam

Sumatera seperti surga bagi saya. Meski jalannya berute jauh dan panjang, tapi kendaraan-kendaraan besar berseliweran yang mengangkut kelapa sawit dan karet bisa menghibur selama perjalanan.
Angkutan yang 'Beautivul'. (foto: Anwar Jimpe Rachman)

Dua hari pertama di Jambi, 12-13 Maret, saya langsung mendapat suguhan empat truk yang bermasalah dengan huruf ‘p’, ‘f’, dan ‘v’. Truk pertama menerakan kata ‘oftimis’. Tidak sampai setengah jam kemudian saya berpapasan dengan truk bertulisan ‘oproad’. Keesokan harinya, di depan Rocky Taft keluaran 1994 milik Mas Hambali yang saya tumpangi melaju bus antar kota dengan tulisan ‘beautivul’. Hanya sekisar 10 menit kemudian saya bertemu mobil truk Hino yang bertulisan ‘visabilillah’.

Maaf tak sempat membawa gambar, kecuali angkutan kota ‘beautivul’. Jalan di Jambi banyak kelok. Mobil-mobil besar itu laju.

Tapi, saya beruntung dalam perjalanan ke Sumatera kali ini. Tahun 2010 lalu saya sempat menyusur Aceh, Samosir, Nias, dan Padang. Sayangnya perjalanan kala itu, saya dan Dea, seorang teman fotografer, harus terburu-buru. Waktu terlalu sempit bagi kami untuk berleha-leha. Kami mesti merambah empat daerah itu dalam waktu 14 hari, tanpa tanpa bekal di mana titik perhentian atau orang yang bisa dihubungi.

Saya menyusuri ruas-ruas jalan di Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu dengan mobil pribadi Hambali, senior satu jaringan lembaga. Mas Hambali, begitu saya memanggilnya tanda takzim, adalah mantan direktur eksekutif sebuah lembaga swadaya di Jambi. Usianya 53 tahun. Tapi stamina jangan ditanya. Saya jamin: ia menyetir tanpa menenggak obat-obatan atau ramuan penguat. Ini memang, sepertinya, berkaitan dengan semangat hidup.

“Saya sering ditegur sama teman-teman ‘kenapa masih ke lapangan’. Padahal saya memang tidak kuat kerja di belakang meja,” keluhnya, tersenyum.

Hambali merasa dirinya tipikal orang lapangan. Ia mantan direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Jabatan itu diembannya tak berapa lama usai keluar dari pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan di Sumatera Utara, lima belasan tahun silam. Kala di Depdikbud Sumut, ia menjadi staf administrasi salah seorang kepala bagian. Lantaran bosan di ruangan, Hambali meminta jadi tenaga teknis. Maka, lewat sebuah surat keputusan, ia menjadi guru biologi di sebuah SMA yang baru dirintis di Sumut. Tapi ia kerap mendapat cibiran rekan sendiri lantaran sering membawa siswanya belajar di luar kelas bila jam pelajaran Biologi. Tak tahan, Hambali melamar lowongan jabatan direktur PKBI di koran. Profesi guru pun ia tinggalkan begitu diterima di lembaga tersebut.

Saya, seumur-umur, baru kali ini mendapati seorang begitu kuat menyetir mobil nyaris tanpa jeda. Kendaraan roda besar itu begitu kokoh membawa kami melaju di atas delapan puluhan kilometer per jam.

Kami berangkat pukul 13.30 WIB dari Jambi menuju Bengkulu. Pada pukul 15.30 WIB, kami istirahat makan siang di sebuah rumah makan Padang. Di batu kilometer di kanan jalan tertera: Jambi 150 KM. Duh, masih 350-an km, begitu saya membatin.

Setiba di rumah makan, Mas Hambali menyapa riang dan akrab para pelayan. Rupanya rumah makan itu langganannya sejak 15 tahun lalu. Ia lebih dulu menandaskan makanan dibanding saya. Hambali makan secukupnya; tidak menambah nasi atau lauk. Apa yang ia masukkan ke piring, sebegitu juga yang dihabiskan.

Jarak Jambi-Bengkulu lebih kurang 500 kilometer sama dengan Makassar-Sorowako (600 km). Bedanya, ratusan kilometer ini dengan saya diantar seorang supir paruh baya yang tampak tak lelah sekali pun dan tanpa supir cadangan.

Untuk sampai ke Bengkulu, kami melewati Lintas Timur, jalan trans Sumatera yang paling baru dibanding Lintas Tengah dan Lintas Barat. Jalur lintas ini menembus rawa-rawa dan membuka isolasi Provinsi Jambi. “Dua puluhan tahun lalu, kalau ke Jambi, kita harus naik pesawat. Sekarang semua sudah tembus,” terang Hambali.

Di persimpangan Lintas Timur dan Tengah, kami singgah di pompa bensin. Tapi tempat pengisian bahan bakar persinggahan kami sama di Jambi, kendaraan antri lantaran pasokan BBM sempat tersendat. Kami segera meninggalkan antrian. Kalau ada apa-apa, kata Mas Hambali, kami masih ada stok 20 liter di jeriken bak belakang mobil--bahan bakar cadangan karena selalu bepergian jauh.

Antrian BBM di setiap pompa bensin selama perjalanan. (foto: Anwar Jimpe Rachman)

Kami masuk ke jalur Lintas Tengah. Kaki Mas Hambali menekan gas lebih dalam. Sembilan puluh kilometer per jam—bahkan lebih. Jalanan lurus dan datar. Kendaraan terlihat di kejauhan. Hati tidak was-was. Beda Lintas Timur yang jalannya berkelok di daerah datar. Lintas Tengah yang lebih senyap ini dibangun tahun sekisar 1940-an oleh Belanda. Pihak Korea Selatan mengaspalnya tahun 1980-an lalu sebagai investasi pendukung usaha-usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan ini. Di jalur ini, mobil truk pengangkut sawit dan karet lebih banyak dari kendaraan pribadi atau angkutan kota.

Tak terasa, kami sudah masuk Kota Lubuk Linggau. Rupanya, sejak tadi kami sudah melintas di Sumatera Selatan, 130-an kilometer menuju Bengkulu. Sebenarnya, kami sudah masuk di lereng-lereng Bukit Barisan. Hari menjelang magrib. Kami membuka jendela, bersiap menerima udara sejuk pegunungan. “Di sini, jalannya seperti di Camba (Maros),” kata Mas Hambali, mengingatkan perjalanan kami akhir Februari lalu saat menuju Sinjai.
Penunjuk arah menjelang Lubuk Linggau. (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Taman Nasional Kerinci Sebelas, dan masuk ke wilayah Bengkulu. Beberapa jam kemudian, 19.30 WIB, kami mampir ngopi di sebuah warung di tepi jurang jalan berkelok di kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelas. Di warung ini, jarak Bengkulu tinggal 30-an kilometer. Lampu-lampu Bengkulu di kejauhan tampak jelas di bawah. Di sini kami hanya seisapan sebatang rokok saja lalu berangkat lagi.

Perjalanan ini benar-benar nyaman. Kaki saya leluasa berselonjor dan lurus. Saya bahkan belum mengantuk. Padahal, jarak yang setara di Sulawesi, saya biasa terkulai di kilometer dua puluhan—bahkan saya lebih cepat terpulas kalau di pete-pete. Mas Hambali juga belum menguap sekali pun.

“Saya memang sudah ubah joknya biar nyaman. Mobil ini mesinnya besar, bannya juga besar, jadi enak kalau perjalanan jauh. Kalau mobil kijang sebelum ini, saya juga cepat capek bawanya,” ungkap Hambali.

Pukul 20.15 kami masuk Bengkulu. Kami langsung cari penginapan. Jam sembilan malam kami sudah menyeruput kopi di kamar.

“Kok ndak kelihatan capek sih, Mas?” tanya saya.

“Ini masih biasa. Saya pernah bawa mobil itu dari Jambi ke Jogja. Itu 2400 kilometer. Tidur saya cuma empat jam!”


Alamak!

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer