Puang Upe’, Bissu Penjaga Rakkaeang Kuning
Puang Upe pada awal 2012. [foto: Sapriady Putra] |
SI PRIA langsing menghunus
pelan Alameng dari sarungnya yang berlapis
kuningan dan berbalut kain putih. Segera tampak sebilah pedang berlapis serbuk putih yang tipis. Lelaki berdada rata yang
tampak doyong itu segera mencium pedang tersebut seraya memejamkan mata kemudian memasukkannya lagi ke
sarungannya.
Lelaki itu bernama Puang
Upe’. Umurnya sekisar 50 tahun. Ketika
mendiang Puang Matoa Saidi memimpin komunitas Bissu Dewatae, Puang Upe menjadi Puang Lolo—bahasa Bugis yang berarti
‘pemimpin muda’—sebutan untuk jabatan wakil Puang Matoa. Ia mengemban tugas ini sejak 2001 silam, bersamaan saat Puang Saidi
dilantik menjadi Puang Matoa.
“Tadi yang putih itu adalah bedak, untuk mencegah karat,
Nak,” jelas Puang Upe’ dalam bahasa Bugis yang cepat, di kediamannya pada akhir Februari 2012. ‘Nak’ merupakan panggilan yang sering meluncur dari bibir Puang Upe’
ketika bercakap dengan siapa saja.
Alameng, pedang
pusaka pemimpin komunitas Bissu Dewatae, kini tersimpan di rumah panggung sederhana
Puang Upe’ di Bonto Mate’ne, Kecamatan Segeri, Pangkajene Kepulauan, sekisar 60
kilometer utara Makassar. Kendati Puang Upe’ kini sebagai pemegang Alameng, namun,
kenyataannya, ia belum resmi menyandang gelar ‘Puang Matoa’ karena belum melalui upacara
pelantikan.
Selain Alameng, di rumah Puang Upe’ juga memegang tanda
kebesaran dan perlengkapan upacara bissu lainnya: [1] Paccoda’, sebatang kayu
bersegi delapan yang terbungkus kain kuning cerah yang dibawa oleh Puang Lolo; [2] Tolousu dan Arumpigi berupa kayu berongga atau bambu berujung kepala ayam berisi butiran dan mengeluarkan
bunyi bila diguncang yang dibalut kain merah—keduanya dibawa
oleh anak bissu—mengingatkan pada hewan peliharaan sang pencipta jagat I La Galigo, Patoto’e (Sang Penentu Nasib), dan [3] Lellu Patara, pemayung
dari kain cinde segi empat yang setiap sudutnya
berbatang penunjang.
PERGANTIAN kepemimpinan bissu Segeri terjadi bila
sang pemimpin meninggal. Ketika Puang Saidi meninggal 28 Juni 2011 lalu, terjadi
pro dan kontra tentang pergantian kepemimpinan ini. Menurut antropolog Universitas Negeri Makassar, Halilintar Lathief,
penyigi yang telah 30 tahunan meneliti bissu,
pergantian itu dilakukan di depan jasad Puang Matoa sebelum dikuburkan. Entah
mengapa hal itu lalu diurungkan.
“Ada kabar kalau ada juga yang mau jadi matoa. Saya bilang silakan saja. Tapi
kalau ada apa-apa dan sampai mempermalukan komunitas bissu, biar dia tanggung,”
tegas Puang Upe’. Mimiknya begitu serius.
Bissu adalah komunitas pendeta wadam dalam kebudayaan Bugis
pra-Islam. Kalangan ini dipercaya sebagai penjaga pusaka (arajang) kerajaan. Berbagai literatur tentang masyarakat Bugis
menyebut bahwa bissu merupakan salah
satu dari lima jenis kelamin yang hidup dalam kebudayaan Bugis, selain orowane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki-laki
cenderung feminin), calalai
(perempuan cenderung maskulin).
Bissu merupakan penghubung dunia manusia dengan dunia
Dewata. Para pendeta ini memiliki bahasa sendiri. Dalam sebuah wawancara dengan
seorang peneliti pada 2010, ahli bahasa Bugis, almarhum Muhammad Salim menyebut
bahasa yang dipakai kala bissu memimpin upacara suci bernama bahasa Bugis Galigo.
“Selain (bahasa) Bugis pasaran dan bahasa resmi, ada
juga bahasa Galigo. Bahasa ini sepertinya bahasa masa pra-Islam karena belum
ada penanda waktu dalam bahasa Bugis jenis Galigo,” papar Pak Salim. Konon, Pak
Salim juga yang mengajari Puang Saidi membaca lontara’ berbahasa Galigo tak lama setelah menjadi Puang Matoa.
Kedua tokoh ini pula sempat ikut dalam pementasan I La Galigo ke beberapa negara yang dibesut Robert Wilson dan
kawan-kawan.
Pada masa gencarnya gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakkar yang mengusung anti feodalisme
dan pemurnian praktik Islam, peran para bissu
memudar seiring tradisi yang mereka jaga dianggap di luar dari syariat Islam
dan diperparah menyurutnya pengaruh istana kerajaan, yang sebelumnya jadi
tempat mereka menegakkan kharisma sebagai penjaga arajang (pusaka kerajaan). Sejak itu pula, menurut Susan Bolyard
Millar dalam Perkawinan Bugis
[Ininnawa, 2009], bissu beralih
menyewakan perlengkapan busana tradisional kalangan bangsawan (menggunakan
ornamen emas-sepuhan sebagai tiruan ornamen pusaka asli yang terbuat dari emas
murni).
PUANG UPE’ mulai menjalani hidup sebagai bissu pada usia 14 tahun. Lelaki tamatan
sekolah dasar ini mengenal dunia bissu
lantaran bertetangga dengan kepala bissu
masa itu, Puang Matoa Bissu La Seke’. Dari Puang La Seke’-lah ia mendapat bimbingan
dan pelajaran segala macam ritual pengobatan ala bissu yang masih dilakoninya hingga sekarang.
Puang Upe’ mengungkapkan, ia sering melayani pengobatan
ala sanro (dukun) untuk pria yang
bermasalah dengan kehidupan seks. Puang Upe’ lalu menunjukkan sebuah botol air
mineral transparan yang berisi cairan yang sewarna air seni. Baunya bau alkohol.
Air peraman padi itu disebutnya bisa menormalkan kehidupan seks pasiennya. “Cukup
tiga hari minum ini, bisa lagi tojo
(berdiri),” tegas Puang Upe’ membelalakkan mata, seraya menegakkan jari telunjuknya.
Dalam sebuah kesempatan pula di awal Maret ini, Puang
Upe’ sedang bersiap menggelar ritual mangota
dan mappanre lise’. Ia mempersiapkan upacara
ini atas undangan seorang warga setempat yang akan melakukan upacara pengobatan
untuk salah seorang anggota keluarganya yang memiliki kandungan rapuh. “Mereka
mau mengupacarakan karena sudah tiga empat kali keguguran,” jelas Puang Upe’.
Menurut pemuda setempat, Nasrul, 30 tahun, yang selama
ini berguru pada Puang Upe’, dalam mangota
dan mappanre lise’, bissu menyiapkan sarung dan benno berre’ (sanggrai beras) untuk
upacara tersebut. Sarung akan dibentuk jadi wadah untuk sanggrai beras lalu diletakkan
di atas perut si perempuan. Konon, bila terjadi komunikasi antara bissu dan roh
yang diajak berbicara, wadah sarung dan sanggrai akan bergerak tak berhenti.
Puang Upe’ pun sesekali diminta menjadi ‘pawang
hujan’. Namun untuk tugas ini ia tidak turun langsung. Puang Upe’ hanya
mengajarkan pada si pelaksana pesta beberapa laku dan bacaan-bacaan. Tentu
saja, kata Puang Upe’, ada yang gagal karena sangat bergantung pada orang yang
diajari apa percaya atau tidak.
Dalam kehidupan sehari-hari, Puang Upe’ menjadi
pelindung bagi para calabai. Bahkan,
berdasarkan pengakuan Puang Upe’, seluruh waria di Kecamatan Segeri
mencantumkan ‘bissu’ untuk keterangan ‘pekerjaan’ mereka. “Saya pernah
dihubungi Haji Susan (Ketua Waria Pangkep) kalau banyak waria dari Segeri
menulis di kartu anggotanya. Dia tanya, bagaimana dengan ini. Saya bilang tidak
apa-apa. Yang penting mereka tidak berbuat macam-macam,” cerita Puang Upe.
Lelaki asli Segeri ini mengaku, kerap mendengar perbincangan
kalangan waria bila sedang membincangkan lelaki yang mereka sukai. Salah seorang
anak kerabatnya yang disebutnya sebagai ‘cucu’ bahkan ada yang pernah menjadi
waria. Namun cucunya itu kemudian menikah tak lama setelah pulang dari Makkah
berhaji. Sayangnya, cucunya itu bercerai beberapa waktu kemudian dan tak punya
anak. Tapi, berdasarkan pengakuan Puang Upe’, sebagai bissu, hasratnya terhadap sesama jenis memang tidak ada. “Ya tidak
bisa sama sekali. Memang lain kalau bissu,
Nak,” terangnya. Suaranya terdengar merendah.
Wibawa Puang Upe’ seperti tameng bagi kaum wadam.
Dalam sebuah porseni waria di Bulukumba beberapa waktu lalu, kalangan agamawan
menggelar demonstrasi terhadap kegiatan kalangan ini. Apalagi Bulukumba dikenal
sebagai kabupaten yang menerapkan peraturan daerah berorientasi syariat Islam. Puang
Upe’ maju menghadapi para demonstran itu. Untungnya, kericuhan antara kedua
kubu kemudian bisa ditangani pihak keamanan.
RUMAH PUANG UPE’ tipikal rumah panggung Bugis
lazimnya. Letaknya di pinggir hamparan sawah hijau di Bonto Mate’ne, Segeri, lima
ratusan meter di timur bola arajang,
rumah kebesaran komunitas bissu. Ukurannya
sekisar enam kali lima meter—lebih kecil dari rumah dua saudaranya, Puang Duri
dan Puang Mame’, yang ada di depannya. Menuju rumah Puang Upe’ pun harus lewat
rumah Puang Duri yang berpagar tembok tinggi. Di sana ia tinggal sendiri di
rumah yang tampak miring itu. Segala keperluan makan dan minumnya disediakan
oleh kedua saudaranya.
Rumah panggung seperti yang didiami Puang Upe’ menjadi
cerminan dari tiga dunia dalam cerita I La Galigo: rakkeang atau loteng menjadi Boting
Langi (Dunia Atas), watang pola
atau bagian tengah menjadi Alekawa (Dunia
Tengah), dan awa bola atau kolong
menjadi Buriliung (Dunia Bawah).
Puang Upe’ memelihara bebek dan ayam di bawah rumahnya
empat tahun lalu. Bebek dan telurnya ia sering hadiahkan untuk para kerabatnya.
“Saya kasih saja. Kalau uang bisa habis,” ujarnya, enteng. Di dalam bagian
tengah rumah, Puang Upe’ menerima tamu-tamunya. Di bagian tengah itulah
terdapat beberapa benda yang dipakai dalam upacara bissu. Benda-benda itu diletakkan di sekitaran ranjangnya. Di sebelah
timur ranjangnya terdapat tangga bambu menuju rakkeang. Lubang segi empat menuju ‘dunia atas’ itu dilapis kain
berwarna kuning emas, sewarna dengan hiasan benda-benda ritual bissu.
Apa gerangan di atas sana? Puang Upe’ hanya menggelengkan
kepala. Ia hanya menuturkan cerita perihal kedatangan seorang istri pengusaha
yang berhajat menyembelih kerbau sekaligus ‘naik’ ke rakkeang, bila kapal yang sedang dibangun suaminya rampung
dikerjakan. Kejadian itu berlangsung beberapa waktu silam. Setelah kapal
tersebut benar-benar selesai dan siap berlayar, ia segera meminta Puang Upe’
untuk melaksanakan upacara syukuran.
Dari rumah Puang Upe’, sekisar lima ratus meter ke
arah barat, pintu bola arajang
tertutup rapat siang menjelang sore di akhir Februari 2012 itu. Belum ada kegiatan
di rumah panggung tersebut. Tersiar kabar di awal Maret ini Puang Upe’
akan menggelar upacara tolak bala di bola
arajang yang digelar hanya sekali setahun. Mungkin menolak bala agar praktik-praktik
kebudayaan yang Puang Upe’ dan sepuluhan bissu lainnya terus jaga agar tetap berjalan.
[]
#Disiarkan di majalah Warisan Indonesia edisi 15 Maret-15April 2012
Tabee, Cuma ralat sedikit untuk nama kampungx bukan bonto te'ne, tapi Bontomate'ne. mungkin juga bisa dmasukkan sebagai tambahan keadaan rumah Puang upe' yg reok dan tanpa dinding, apakah itu salah satu dampak atau gambaran kurangx perhatian pemerintah kepada org2 yg menjaga dan melestarikan budaya,...
BalasHapusBung Burhan Kadir, terima kasih banyak untuk ralatnya.
BalasHapussoal keadaan rumah, terima kasih atas masukannya. tulisan ini hanya saya siarkan ulang demi berbagi kabar untuk teman dan sahabat semua. keadaan rumah Puang Upe' memang menyedihkan. tapi orang-orang berjasa seperti Puang Upe' (dan banyak lagi contoh yang mungkin ada di ingatan kita) menjadi sesuatu yang jamak terjadi di negeri ini. terima kasih sekali lagi!
Like this k thejimpe... Tp harusnya ada sdikit daftar istilah untuk org2 seperti sy, ada beberapa istilah yg membuat sy hrus saearching dlu di google :)
BalasHapusTerima kasih masukannya, Mir! Daftar istilah itu cukup repot memasukkannya ke dalam tulisan. Karenanya, saya mengartikan langsung di badan tulisan dalam italic biar pembaca lebih awas pada istilah dan memasukkan dalam kurung artinya. Terima kasih sekali lagi! :)
BalasHapusJenasa Puang Matoa Saidi dibaringkan di rumah kerabat dekatanya yang bernama Dg. Aso. Itu atas pilihannya sendiri jauh sebelum ia wafat. Pada malam itu, orang datang silih berganti melayat. Salah satunya Pak Halilintar Latif yang datang sekira jam 9 malam. Memang sempat tersiar kabar kalau harus diadakan proses pengganti kepemimpinan Bissu. Tapi itu jelas tidak etis bagi keluarga Puang Matoa Saidi. Karena masih dalam keadaan berduka. Lalu terkait Puang Lolo, setahu saya, yang di maksud adalah Bissu muda yang bernama Muharram, yang tak lain kemanakan dari Puang Matoa Saidi. Muharram memang dipersiapkan sebagai pengganti beliau. Tapi karena kapasitas penguasaan bahasa bugis kuno dan proses upacara adat lainnya. Jadi Muharram belum bisa jadi pemimpin Bissu. Secara nyata pada hari kematian Puang Matoa Saidi. Tampak Muharram tak begitu memperlihatkan ekpresi kesedihan yang mendalam. Ia terlihat biasa2 saja. Beda dengan Puang Upe yang datang sekira jam 11 Malam.
BalasHapushttp://kamar-bawah.blogspot.com/2011/07/tegallao-temmateta-mengenang-puang.html
Daus: Wah, terima kasih atas laporan langsung dan sangat akrab ini! Mantap, sobat! Ini sekaligus menambah-lengkapi laporan sederhana saya :)
BalasHapusPraktik kebudayaan seperti bissu selalu saling pagut dan baku silang dengan laku kemanusiaan juga nilai-nilai tenggang rasa versi Islam, seperti yang sudah Anda lihat dan informasikan--etis atau tidaknya suksesi di depan jasad. Kita akan terus mungkin mendua-dunia, kan? :)
Sama2, tulisan tentang Puang Upe ini sangat berharga. Saya sendiri orang Pangkep, tapi belum berkunjung di kediaman pribadi beliau. Dulu waktu masih hidup Puang Matoa Saidi, sya sering kesana, karena lokasinya yang dekat.
BalasHapusSaya juga orang Pangkep Pak.. 😁😁 ada tugas kuliah saya. lalu mau tau tentang Alm. Puang Matoa Saidi.. boleh tau Alm. Puang Matoa Saidi orangnya seperti apa ? Mohon bantuannya pak, terima kasih
HapusSaya juga orang Pangkep Pak.. 😁😁 ada tugas kuliah saya. lalu mau tau tentang Alm. Puang Matoa Saidi.. boleh tau Alm. Puang Matoa Saidi orangnya seperti apa ? Mohon bantuannya pak, terima kasih
HapusTerima kasihh karna sdh berbagi informasi ini. Saya sebenarnya penasaran dengan pengganti Alm. Puang Matoa Saidi setelah beliau wafat. Apakah ada yang menggantikan beliau sebagai Puang Matoa yang baru ?? Terima kasih
BalasHapus