Berpikir Emas di Gunung Perak
BANYAK ORANG DESA mengaku bahwa bertani merupakan kerja sambilan atau terpaksa karena tak ada pilihan lain. Tapi Pak Daming justru sebaliknya. Lelaki langsing dari Dusun Tassoso’ ini
mengaku bekerja sampingan sebagai guru. Pekerjaan utamanya justru petani.
“Saya ingin orang-orang bangga menjadi petani. Petanilah
juga yang menghidupi kita. Selama ini, banyak orang malu mereka petani. Saya ingin
mengubah itu,” katanya, pada pertengahan Mei 2012 lalu.
Pak Daming dan keluarga. (Foto: Anwar Jimpe Rachman) |
Pak Daming merupakan alumni lulusan Teknik
Elektro IKIP Makassar (sekarang UNM) tahun 1990. Ia pengajar
tidak tetap di SMP Satu Atap Tassoso’, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat,
Kabupaten Sinjai. Gunung Perak adalah nama pengindonesiaan nama Bugis desa itu,
Bulu Salaka.
Tahun 1998-2001 ia menjadi pedagang sayur antar pulau.
Setiap bulan Pak Daming berangkat ke Balikpapan (Kalimantan Timur) lewat pelabuhan
feri di Mamuju, Sulawesi Barat (sekisar 800 kilometer barat daya Tassoso’).
Keuntungan sejuta per bulan membuat Pak Daming mengurungkan niat jadi pegawai
negeri sipil. Ia menganggap, pendapatan per bulannya melebihi gaji kakak
kandungnya yang PNS berkisar Rp 250.000/bulan tahun-tahun itu.
Pak Daming mengajarkan
pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB) di semester
ganjil untuk siswa kelas VII SMP Satap Tassoso’. Materi-materinya meliputi tanda-tanda terjadinya angin,
jenis-jenis angin, tindakan saat dan setelah terjadinya
angin, dan penghijauan.
Menurut lelaki kelahiran 1963 ini, Bulu Salaka dilanda angin kencang setiap tahun yang berasal dari puncak Gunung
Bawakaraeng, berjarak sekira 5 jam perjalanan di selatan Bulu Salaka. Tassoso berada
pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan
laut. Dusun ini merupakan dusun teratas desa yang disebut sebagai salah
satu desa terdekat dari puncak Bawakaraeng. Selain Tassoso’, terdapat lima dusun lainnya yakni Lembanna,
Lembasiali, Batu Leppa, Puncak, dan Bonto Manai.
Hembusan angin kencang melanda kawasan ini antara
Desember - Maret setiap tahun. Kalangan pecinta alam pun
mengakui salah satu tantangan terberat pendakian Gunung Bawakaraeng
adalah anginnya. Para pemanjat gunung tidak bisa menapak
berdiri begitu puncaknya kian dekat. Angin yang menerbangkan lembaran-lembaran
atap seng rumah warga setempat merupakan hal yang terjadi
setiap waktu.
Sehingga warga menangkal fenomena saban tahun ini dengan menjempit atap rumah
mereka menggunakan batang-batang bambu. Warga pun menopang rumah mereka menggunakan
bebatang
kayu dan bambu. Kalau tidak begitu,
angin bisa membuat rumah ‘melompat’ semeter dari tempatnya semula berdiri.
Warga menunjang rumahnya dengan batang bambu dan menjepit atap rumahnya. (Foto: Anwar Jimpe Rachman) |
“Tahun 2009, kandang itu,” terang Pak Daming seraya
menunjuk kandang sapi di belakang rumahnya, ”pernah terbang sampai 25 meter.
Ada dua sapi waktu itu. Untung talinya putus. Kalau tidak, sapinya pasti ikut
terbang!” tambahnya.
Warga Bulu Salaka mengenal tiga musim: musim
kemarau, hujan, dan musim angin. Pak Daming mengajarkan bagaimana mengenali
gejala awal musim-musim tersebut kepada siswa—deretan pengetahuan yang ia
warisi dari para orang tua Bulu Salaka, dan tentu juga dari
ayahnya, Haji Tette’.
Menurut kepercayaan orang tua di Tassoso’, tanda-tanda angin kencang dusun itu bisa diketahui dengan memerhatikan bagian utara daerah itu, yakni ke arah Gunung Latimojong. Jika puncak gunung yang berada di dataran tinggi Enrekang dan Tana Toraja itu terlihat tanpa halangan awan dan kabut, maka bisa diperkirakan angin akan bertiup kencang. Jarak Bawakaraeng dan Latimojong berkisar 500 kilometer.
Menurut kepercayaan orang tua di Tassoso’, tanda-tanda angin kencang dusun itu bisa diketahui dengan memerhatikan bagian utara daerah itu, yakni ke arah Gunung Latimojong. Jika puncak gunung yang berada di dataran tinggi Enrekang dan Tana Toraja itu terlihat tanpa halangan awan dan kabut, maka bisa diperkirakan angin akan bertiup kencang. Jarak Bawakaraeng dan Latimojong berkisar 500 kilometer.
Selain itu, kata Pak Daming, prediksi angin akan
bertiup deras atau sebaliknya dapat kita baca lewat tumbuhan seperti nangka.
Bila buahnya muncul di batang, bisa dipastikan angin akan kencang. Kalau nangka
berbuah di dahan berarti tak perlu risau akan angin tahun ini. Perkiraan bakal
ada kemarau panjang dapat pula dibaca lewat bambu. “Kalau rebungnya lebih
tinggi dari dari induknya, berarti hujan akan panjang,” jelas Pak Daming.
Orang Tassoso memiliki empat nama untuk angin yang
setiap tahun menyambangi dusun ini. Mereka menyebut Bara’ Tallumbangngia untuk angin yang berhembus tiga malam
berturut-turut dan bara’ tujua [angin
bertiup selama tujuh hari] yang berlangsung pada Desember; bara’ pinruatuju [angin bertiup selama 14 hari 14 malam], dan bara’ pinruasalapang [angin yang
berhembus 18 hari tanpa henti]. Angin yang terakhir ini mulai terasa kemaraunya
karena angin sudah tidak kencang.
BILA MEMASUKI DESA BULU SALAKA, Anda seakan berada di
dalam bingkai lukisan-lukisan bergaya Mooi
Indie, istilah perupa S Sudjojono untuk lukisan-lukisan pemandangan—yang banyak ditemui di rumah makan atau ruang tamu.
Gunung Bawakaraeng tampak kokoh memayungi sawah-sawah berundak yang menghampar
di lereng dan lembahnya yang dingin.
Desa Tassoso’ berdiri tahun 1962, kala berlangsung pemukiman warga yang berumah terpisah-pisah karena menghuni kebun dan ladang mereka di kawasan sekitaran Bulu Salaka—nama yang diberikan pada sebuah bukit yang memancarkan sinar keperakan dari kejauhan. Semua penghuni ladang dan kebun harus pindah ke pinggir jalan untuk memudahkan kontrol tentara pengaman. Maklum, kurun waktu itu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar sedang mengencarkan perlawanan terhadap TNI.
Konon ‘Tassoso’ memiliki makna ‘masuk berdua ke
dalam sarung’, yang mungkin menandakan bahwa daerah ini daerah yang dingin.
Namun tuturan tetua Bulu Salaka, kata Pak Daming, lema dari bahasa Konjo ini bisa juga berarti ‘kelak, tempat ini
orang akan berduyung datang ke sini’. Mungkin makna itu memang semacam doa.
Arti kata itu sangat
berkesan bagi Pak Daming. Bisa jadi bahkan seperti
anugerah baginya. Konon pada tahun 1963, ketika Pak Daming masih bayi
dan diupacarakan aqiqah, seorang pembesar Sulawesi Selatan datang dan naik ke rumahnya. Orang besar itu ingin bertemu Haji Tette’. Apa yang membawa tokoh itu masuk
ke hutan bertemu seorang petani yang hidupnya biasa saja? Rupanya, setahun
sebelumnya, tim Universitas Hasanuddin pernah melakukan
penelitian
pertanian yang menjadikan Haji Tette’ sebagai narasumber. Penelitian itu
menyebutkan bahwa praktik pertanian sapa’-sapa’ untuk dataran tinggi, yang dalam konteks sekarang disebut terasering, dipraktikkan sejak lama oleh
Haji Tette’. Ayah Pak Daming itu juga menanam tumbuhan dengan pola acak (zig-zag)
yang berfungsi menjadi penahan angin sebagai pelindung tanaman ladangnya. Hasil
penelitian tersebut lalu sampai ke telinga orang penting
tersebut.
Tiga puluh enam tahun kemudian, tahun 1999, Pak
Daming diundang ke Istana Negara bertemu Presiden BJ
Habibie untuk menerima penghargaan Kalpataru dalam kategori penyelamat
lingkungan. Pak Daming yang meniru cara ayahnya saat membuat
penahan angin untuk kebun-kebunnya, dianggap oleh panitia seleksi Kalpataru sebagai
satu bentuk perlindungan
lingkungan hidup. Namun ia tidak menconteknya mentah-mentah. Pak Daming mengadopsi cara itu
dengan: [1] mengganti cara ayahnya yang
menanam kaju colo’ (yang menurut Pak Daming bernama alabisia),
paradeng (jenis kayu keras tapi
tumbuh pendek), ka’ne (pohon yang
berduri banyak) sampai mematenkan pohon bambu “yang bila meninggi
tetap rapat batang-batangnya”; dan [2] gerakan Pak Daming lebih
terorganisir karena melibatkan kelompok taninya,
Bontosunggu, yang berjumlah 25 orang.
“Orang dulu menganggap itu biasa-biasa saja waktu sarasehan para penerima Kalpataru. Ketika
saya bilang bahwa ini cara yang dilakukan oleh dua generasi, barulah orang
menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa,” kenang Pak Daming.
Pak Daming kini tinggal bersama istri dan empat
orang anaknya. Anak sulungnya, Aris, sekarang berkuliah di Jurusan Pertanian
UIT (Universitas Indonesia Timur) sambil bekerja
di sebuah hotel di kawasan Panakkukang, Makassar. Ifa (17), Haerul Mubarak (2,
6 bulan), dan Syaiful Arbani (1) tinggal bersamanya di sebuah rumah panggung
warisan ayahnya yang baru-baru ini ia pugar.
Dari kolong rumah itu pula kerap tercium bau tak
sedap karena lelaki berkumis dan berjenggot ini membiakkan lactobassilus (bakteri pengurai) yang ia pakai untuk menyuburkan
kol, bawang prei, kentang, dan kopi di kebunnya. Kata
seorang teman saya, Agung, “Ia seperti ilmuwan. Suka coba-coba.
Campur ini campur itu. Ia juga suka ‘melamun’.”
Pak Daming seorang petani organik. Sejak lama ia memakai lactobassilus
jenis IM64 (induk bakteri lactobassilus)
untuk
membuat pupuk berbahan baku rumput, yang
ia banyak peroleh di
sekitar kebun dan di sela-sela tanaman. Pak Daming tinggal menggalikan lubang
kecil dan meremuk rumput ke dalamnya lalu menyemprotkan lactobassilus. Cara itu rupanya mumpuni. Terbukti tanaman di
kebunnya lebih subur dan menghijau ketimbang tanaman yang ada di kebun
sebelahnya. Ujung daun bawang prei tanaman tetangga kebunnya menguning
seperti terpapar matahari. Kata Agung, kebun itu
menyemprot ramuan
kimia, hal biasa yang dilakukan petani setempat.
“Dengan cara itu, Pak Daming bisa menghemat biaya kurang
lebih Rp 4 juta
untuk satu hektar kalau membandingkan bila memakai
pupuk kandang. Kalau sekarang, harga sekarung kotoran ayam Rp 9.700. Itu belum
termasuk biaya angkut ke ladang karena berada daerahnya
terjal,” rinci Agung.
Sebenarnya cara itu hasil ‘lamunan’ Pak Daming. Di
benaknya pernah muncul pertanyaan, mengapa kotoran sapi bisa menjadi pupuk?
Pasti ada sesuatu di perutnya! Setelah mencari bahan bacaan dan mencari tahu
sana-sini, ia kemudian mendapat jawaban bahwa semua lactobassilus-lah yang berperan besar terjadinya proses tersebut.
JIKA ANDA berkesempatan ke Dusun Tassoso’, bertandanglah
ke rumahnya. Ia akan menyuguhimu kopi panen dan olahannya sendiri. Kopi yang
harum dan alami. Jangan lupa sampaikan salam saya. Katakan, saya merindukannya.
Sungguh merindukannya.[]
Terima kasih undangannya, Adang. Salam dari seorang blogger di makassar! :)
BalasHapusSelamat... Emang pantas menang :)
BalasHapusterima kasih, vita! salam takzim :)
Hapusselamat dapat juara dua yaaaa
BalasHapusalfin, terima kasih banyak! salam kenal dari saya :)
Hapuspantesan menang tulisannya keren gini :)
BalasHapusSelamat ya bang
hahaha! makasih banyak, bayu. senang kamu berkunjung ke sini. jangan sungkan mampir! :)
HapusSelamat yaaaaaaa...Salam dr Semarang..
BalasHapusBunsal, maaf baru sempat membalas komentar Anda dan beberapa komentar sebelumnya. saya offline beberapa hari. senang bisa berbagi dengan teman-teman yang datang ke blog ini, termasuk Anda. salam hormat dari saya, Jimpe
HapusHAdir untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya sebagai runner up di Paling Indonesia...
BalasHapussalam sahabat:)
Ririe, terima kasih banyak salamnya. insyaAllah begitu juga denganmu. ini soal kesempatan saja. kelak kamu juga segera. amin!
Hapussalam,
jimpe
selamat atas juaranya , keep spirit blogger indonesia :)
BalasHapusRifki, tetap semangat dan selalu keren! :D
Hapusselamat kak. pantasan menang,tulisannya sangat menginspirasi banget. mohon bimbingannya ya kak,soalnya newbie dalam dunia blog.http://matarik-allo.blogspot.com/2012/06/bantimurungku-sayang-bantimurungku.html
BalasHapushalah! kita sama juga kok. masih baru. jarang posting. siap menuju ke tkp! :P
HapusSelamat ya kawan, semuanya menginspirasi...
BalasHapusterima kasih, sobat! niatnya ingin berbagi. tidak lebih :) salam kenal dari saya di makassar :)
HapusSelamat, tulisan yang sangat apik dan detil. Semoga berkah untuk pak Daming, selalu dalam ridha Allah SWT sehig dapat konsisten.
BalasHapusSalam kenal dari Makassar juga pak :)
(Oya tempo hari saya ikut acara ta' di Rotterdam, yang bersama Maya, Emil, pak John, dan bu Luna Vidya itu)
amin. beliau begitu rendah hati, mugniar. berkah selalu untuk Pak Daming sekeluarga dan orang-orang di Bulu Salaka :)
HapusKapan waktu deh kita ketemu ya :)
congrats :) waah benar-benar paling Indonesia
BalasHapussalam kenal, Mushdigah! terima kasih tak terhingga pokoknya! dibaca pun sudah senang hehehe...
Hapusdi sekitar kita, orang-orang yang kita kenal kan melakukan hal-hal yang sangat dan paling Indonesia. tinggal dikabarkan saja.
salam takzim selalu.
Selamat telah menjadi juara 2.
BalasHapusSalam kenal.
cyber katrox (lucu juga namanya :D ), terima kasih banyak yak! jangan kapok ke sini :)
HapusArtikel yang sangat bermanfaat Hidup Petani
BalasHapus. Bagus Bung...
BalasHapus(tingkatkan)
Semat yah Juara 2, bagus banget tulisannya
BalasHapus