Menjabat Erat Tangan Kota


Foto: Anwar J Rachman

LIMA HARI di Jakarta, lima hari pula menjalani hari yang melelahkan. Hari pertama, begitu tiba, kami langsung berkumpul di Bakmi GM di Jalan Sunda. Begitu Bayu dkk tiba dari Semarang, kami langsung berkeliling Jakarta. Keliling ini hanya melintas di jalan utama agar memahami pembagian Jakarta secara administrasi.

Kami singgah di sebuah warung nasi uduk di kawasan Kebon Kacang. Kami pun mencicipi toko es krim Ragusa. Di dalam warung itu terpajang banyak foto awal Ragusa tahun 1930-an. Salah satu foto yang paling menarik adalah suasana malam tahun baru yang ramai di toko itu. Sejumlah pendatang berpakaian necis dalam foto tersebut. Beberapa di antaranya berpasang-pasangan.
Foto: Anwar J Rachman
Saya bersama Ipul Daeng Gassing, Darmadi, dan Ime (penggiat KPAJ Makassar) ke Jakarta untuk pelatihan tentang pengetahuan perkotaan. Makassar menjadi salah satu kota yang diajak Rujak Center Urban Studies (RCUS) bekerja sama melaksanakan kegiatan Urban Knowledge Dynamic (UKD). Program ini sudah berjalan sejak Maret 2012 dan berakhir pada Maret 2013 mendatang. Pelatihan empat hari ini berlangsung di Wisma PGI, Jalan Teuku Umar, Menteng-Jakarta.

Di hari pertama pelatihan, Marco Kusumawijaya mengenalkan kawasan tempat kami pelatihan. Menteng adalah Jakarta tahun 1920-an. Ketika itu, ada 15 kota di Indonesia mendapat otonomi daerah tahun 1903 pada masa pemerintahan Belanda. Masa itu terbentuk secara sadar komunitas urban di kalangan orang Eropa.

Marco, yang juga Direktur RCUS, menekankan perlunya inovasi dalam riset. Dan pengetahuan yang tergali dapat berguna memengaruhi kota menjadi lebih baik. Marco mencontohkan, kerap para pemangku kepentingan kota seperti arsitek, bagian tata kota dalam pemerintahan, sering menyederhanakan masalah dengan cara, misalnya, rasio besar dan luas jalan bukan ukuran tepat yang dipakai untuk menangani kemacetan.

Presentasi Kota
Makassar mendapat giliran pertama. Saya menjelaskan beberapa program yang sedang berjalan di Makassar seperti mengundang para blogger menulis pengalaman pertama mereka bersentuhan dengan komputer, komputer dan pasar sampai Darmadi, mengambil gambar di UIN Samata, satu dari dua kampus yang baru dibangun di Makassar.

Setelah Makassar, giliran Semarang yang memaparkan perkembangan keikutsertaannya. Semarang sendiri kota yang baru ikut. Mungkin baru sebulan lalu.  Mereka merencanakan membuat program pembuatan flatform wadah berkomunitas di kota itu. Menurut Bayu, gagasannya baru sebatas menjadi tempat berkumpul dan bertanggungjawab satu sama lainnya.

“Program kami rencananya tidak berpretensi menjadi godam pemecah kebuntuan. Hanya berupaya keluar dari zona nyaman; mengasah kepekaan menyadari krisis,” jelas Bayu.

Katheline, kawan saya yang berkiat di C2O Library membawa tiga kawan yang saya kenal kala ke Surabaya. Kath, begitu saya biasa memanggilnya, memaparkan metode “Ayo Rek!”, program yang mereka jalan: [1] memetakan pelaku komunitas dan individu; [2] tempat (ruang bersama); metode [1]  formulir ayorek bermelok! [2] cangkruk; narasi bersama dengan melakukan pengarsipan dokumen, pemetaan, pengarsipan foto, kumpul kisah, digitalisasi; dan melaksanakan kisah kampung yang meliputi asal-usul kampung, cara bertahan hidup, masakan/resep kampung, pengobatan kampung, dan progesi/keterampilan.

Selain itu, para pematerinya pemateri mumpuni. Ada Abdul Maliq Simone, seorang profesor sosiologi perkotaan. Dia pemateri utama. Alamat blognya villes-noires. Selama tiga hari ia menjelaskan penelitian sosiologisnya tentang Jakarta. Lelaki sepuh nan langsing yang selalu mengenakan topi hitam itu menjelaskan fenomena sosiologis yang selama ini ia dapati di ibukota Indonesia ini dengan bahasa encer, dan tentu saja lengkap dengan foto-fotonya.

Abdul maliq Simone (foto: Anwar J Rachman)
Ada pula nama Suryono Herlambang, dosen dan peneliti superblock. Dari paparan dia juga kami bisa tahu tinjauan kritis dimensi ekonomi dan politik proyek-proyek pembangunan perumahan dan properti yang ada di Jakarta, dan di Indonesia umumnya.

Suryono mengutip Teori Global City Regions (Soja, Friedman, Sassen) bahwa globalisasi seperti membuka kotak pandora, membuka penutup dan sekat, memberi kesempatan setiap kota dan wilayah untuk mengembangkan potensinya; peluang pasar terbuka dari tingkat pelayanan lokal/internal kota, regional, sampai skala global; dan keterbukaan yang ditawarkan bukan gratis, melainkan harus mampu mengikuti standar dan persyaratan yang berlaku global (global cities).

Ia juga mengutip konsep yang dikemukakan Abidin Kusno tentang konsep paradigma pembangunan perkotaan antara masa Orde Baru dengan Reformasi dan setelahnya. Pada konsep paradigma Orba disebut nationalist urbanism, ketika negara sebagai pusat, negara hadir di ruang kota, kota sebagai sarana transformasi modernisasi, metropolitanisme-hierarki kota inti >< kota pendukung, dominasi peran pemerintah pusat/negara.

Sedang konsep masa reformasi dikenal globalisasi. Desentralisasi; privatisasi—dominasi peran sektor privat dengan dukungan pemerintah kota; enterpreneurship; warga sebagai konsumen; kelas terpilih—displacement the poor/city without slums; kota-kota dunia, kompetitif, investasi global, superblok; pasar uang internasional, dan portfolio real state.

Di luar materi ruangan, kami berduabelas juga berkunjung ke beberapa tempat seperti Rawa Belong, kawasan sekitar Binus. Kawasan ini ramai dengan penjual bunga. Di sana malah ada pasar bunga, yang menurut Dendi, seorang pedagang, pusat distribusi bunga-bungaan yang datang dari seantero Asia. Di pasar ini, anggrek dari Thailand bersandingan dengan anggrek Kalimantan. Sebagaimana namanya, Rawa Belong adalah mintakat rawa yang dibolongkan dengan ditimbun lalu menjadi hunian.

Kami juga menyempatkan ke Central Park, sebuah superblok yang dikembangkan Agung Podomoro. Kawasan itu kawasan elite. Semua bangunannya berskala raksasa. Mal-mal dipadu dengan apartemen yang menjulang. Tentu pula mimpi-mimpi modernitas. Semua serba rapi. Kemakmuran semata, tanpa orang miskin.

Tempat Romo Sandyawan, di Bukit Duri (foto: Anwar J Rachman)
Kami juga ke Kampung Bukit Duri, tempat Romo Sandyawan dan anak-anak pinggir Ciliwung berkegiatan. Rohaniawan ini kelahiran Jeneponto. Menurut Romo Sandy, ia lahir di sana ketiga ayahnya bertugas sebagai kepala polisi di Jeneponto di masa penumpasan tentara DI/TII. 

Kedatangan kami disambut hangat. Romo Sandyawan dan Ivana membeberkan program dan kegiatan yang selama ini mereka laksanakan. Tak lupa, kejutan dari anak-anak yang memainkan musik tabuhan.

Perpustakaan di Bukit Duri (foto: Anwar J Rachman)
Pementasan dadakan anak-anak Bukit Duri (foto: Anwar J Rachman)
Pemandangan Sungai Ciliwung, bagian belakang rumah Bukit Duri (foto: Anwar J Rachman)

Di hari terakhir bertemu para penggiat komunitas Menteng, kumpulan penghuni kawasan elite. Mereka adalah generasi kedua dan ketiga penghuni kawasan tersebut.


Selain kegiatan itu, saya bertemu dengan sejumlah sahabat-sahabat baru seperti Jaelani, redaktur bahasa di Harian Seputar Indonesia. Bertemu Ayu Ambong, Iccang, dan seorang kawan lagi. Ketiganya jurnalis Koran Tempo yang pernah bertugas di Makassar lalu ditarik ke Jakarta. Kami berbagi cerita tentang ibukota. Pasti juga plus kesulitan hidup di sana. Ayu sendiri saya baru ketemu. Kami hanya mengobrol lewat twitter selama ini.

Belajar seperti ini, bagi saya, sebentuk proses saling mengingatkan. Semua tahap yang terjadi di dalam maupun luar kelas menjadi hal yang luar biasa. Saya bertemu banyak orang yang gigih pada bidang tertentu. Tentu pula, harapan-harapan menjadi orang-orang yang bertahan pada sesuatu yang mereka pelajari dan tekuni seperti memberi pesan bahwa kita harus bergerak mulai dari yang kecil. Dari kecil, menjadi sederhana, berubah bentuk menjadi menengah, lalu membesar. Ya membesar. Membesar namun tetap ada kerincian dan kesederhanaan di dalamnya.

Mereka telah mengajarkan, kita sesekali perlu mencintai sesuatu yang semula tak kita pahami tapi terjangkau. Terjangkau pandangan, juga jabat tangan.[]

Komentar

Postingan Populer