Berkawan dengan Kelampauan
“Film ‘serius’
sering ditinggalkan penonton…”, begitu kalimat yang menggaung di kepala saya
waktu berniat menonton “Lewat Djam Malam” (LDM). Begitu tiba tempat pembelian
karcis, mata saya tertuju pada layar komputer si kasir. Ada duapuluhan kursi Studio
5 XXI Mal Panakkukang sudah terisi. Lumayanlah, pikir saya, tidak sampai
menonton bertiga saja.
Kami memutuskan tetap masuk kendati terlambat sepuluh menit dari jadwal pemutaran. Menunggu 120 menit lagi cukup menguras daya tahan kesabaran. Kami duduk di deretan kedua paling belakang. Seperti biasa deretan kursi itu adalah kursi idaman kawula penonton—baik buat berasyik-masyuk dengan pasangan maupun agar jarak pandang lebih leluasa ke layar.
Mari kita berkawan dengan kelampauan.[]
Kata
‘serius’ di dalam kalimat tadi bisa saja berarti ‘film drama’, ‘fakir adegan
kelahi’, ‘minim adegan tembak-tembakan’, ‘kurang adegan percintaan’, ‘mesti
mengerutkan kening’, atau ‘tanpa banyolan’.
Foto: Anwar J Rachman |
Tapi saya
yang lama menanggalkan status pelanggan XXI. Setelah empat tahun, LDM-lah yang
menyeret saya menjejakkan kaki ke lantai berkarpet jaringan bioskop ini. Itu
juga saya baru sadar ketika mau membayar karcis masuk seharga tiga puluh ribu
rupiah. Masih terang-benderang di ingatan, terakhir saya menonton film masih membayar
lima belas ribu rupiah. Saya lupa judul film terakhir yang saya tonton di
bioskop. Bahkan perubahan tipologi “Bioskop 21” menjadi “XXI” pun belakangan
saya tahu. Saya segan datang ke bioskop XXI sejak mengenal Amélie (2001) yang diikuti gelombang film-film Eropa, Tukri, atau Iran
yang sudut pandangnya lebih ‘galak’ dan terasa realistik. Film yang banyak
dipertontonkan XXI kebanyakan film buatan Hollywood—gambarnya tak liar dan
sudut pandang yang sangat biasa.
Kami memutuskan tetap masuk kendati terlambat sepuluh menit dari jadwal pemutaran. Menunggu 120 menit lagi cukup menguras daya tahan kesabaran. Kami duduk di deretan kedua paling belakang. Seperti biasa deretan kursi itu adalah kursi idaman kawula penonton—baik buat berasyik-masyuk dengan pasangan maupun agar jarak pandang lebih leluasa ke layar.
Duduk di
kursi B9, saya mendengar banyak tawa sebab tingkah pola para pelakonnya. Lima
menit setelah menyandarkan punggung, rupanya masih ada dua orang yang lebih
belakangan dari kami. Tapi tak lama berselang, dua laki dan perempuan, mungkin
duduk di kursi deretan baris sebelah, menuju pintu ‘Exit’. Setelahnya, saya lebih
fokus ke layar.
“Lewat
Djam Malam” pertama kali saya tonton di layar TVRI. Film hitam putih di
televisi hitam putih. Tempo itu saya duduk di kelas VI SD. Kurun waktu itu
pula, stasiun televisi milik pemerintah ini selalu memutar film Indonesia di
acara Film Akhir Pekan (yang kerap
didahului dengan Laporan Khusus). Tapi seingatan saya, LDM diputar menjelang
perayaan kemerdekaan memutar film bernuansa perjuangan revolusi. Maka menahan
kantuklah saya untuk menonton LDM. Berkali-kali saya harus lari ke kamar mandi
untuk membasuh wajah saya dengan air demi mengusir kantuk. Lumayan manjur. Tapi
benak kanak-kanak saya kala itu sejujurnya hanya memburu adegan
tembak-tembakan.
Bertahun-tahun
kemudian ingatan saya tergerus. Tak ada satu pun adegan yang saya ingat dari
LDM. Mungkin saya tertidur di awal-awal film ini. Tapi yang paling menyangkut
di kepala saya adalah wajah muda Netty Herawati, pemeran Norma. Netty pada
akhir dasawarsa 1980-an bukanlah bintang asing. Wajah ayu Netty kerap muncul di
film-film Rhoma Irama seperti Penasaran
(1976) dan Raja Dangdut (1978) dan
beberapa film lain. Biasanya Netty berperan jadi ibu lengkap dengan kebaya.
Kini LDM mendatangi saya bertahun-tahun kemudian, tepatnya dua hari setelah saya
merampungkan tulisan ini di pekan pertama Juli 2012. Kini yang tinggal di
pikiran saya tidak hanya wajah segar Netty Herawati. Beberapa hal penting
seperti bahasa yang dipakai dalam dialog para aktor. Sungguhlah elok mendengar
cakap-cakap para pelakon di dalam gambar bergerak macam itu. Amatlah senang saya
mendengar tuturan awal film-film kita, rupanya, bernuansa Melayu kental. Apalagi
kala para penikmat pesta di rumah Norma berbalas pantun memakai lagu “Rasa Sayange”.
Betapa
berharga pula LDM terkhusus bagi warga Bandung. Beberapa bagian adegan LDM berlatar kota ini. Suasana klasik Bandung
akan membantu memori para warganya atau orang yang pernah mendatangi kota
itu, yang kini berusia enam puluhan tahun, mengenang tempo-tempo itu.
Setelah
Iskandar tertembak dan digotong naik ke rumah Norma oleh empat CPM, menampaklah
tulisan “Kepada mereka jang telah
memberikan sebesar-besar pengorbanan njawa mereka supaja kita jang hidup pada
saat ini dapat menikmat segala kelezatan buah kemerdekaan… kepada mereka jang
tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri”.
Lampu bioskop menyala. Rupanya usai sudah film ini. Yang tertinggal hanya lima
orang. Saya bertiga, dan dua laki-perempuan di ujung barisan kursi kami. Kami tertawa.
Rupanya kami tidak sadar penonton lain sudah meninggalkan film di masa
kelampauan ini.
Beraneka
tanggapan yang tersiar dalam tulisan-tulisan tentang film ini di banyak media
pekabaran. Ada yang bicara teknis film atau kejanggalan adegan. Soal itu pastilah
ada karena selalu ada cacat. Tapi sekali-sekala, kita butuhlah ‘mesin waktu’
semacam ini untuk menengok kota lama dan kata-kata lawas. Untuk ini, biarlah
saya menjadi penonton sekaum dengan Iskandar, yang oleh Gafar disebut “siapa
yang tidak bisa melawan kelampauan dia akan hancur.”
Mari kita berkawan dengan kelampauan.[]
Apresiasi yang bagus untuk film Lewat Djam Malam. Apakah saya diizinkan untuk menyalin dan memuatnya di blog khusus Lewat Djam Malam?
BalasHapushttp://lewatdjammalam.blogspot.com
Tentu saja akan dicantumkan nama dan tautan ke blog ini.
Salam semangat.
Amang Suramang