Cemburu pada Surabaya


Foto: Affang UKM Seni UMI

Saya berkesempatan ke Surabaya pada Februari 2012 lalu. Cuma tiga hari. Rutenya pun hanya dua: Bandara Juanda ke Jalan Cipto, Kampus B Airlangga ke Bandara Juanda. Tapi ada satu pesan Surabaya yang sampai pada saya: Makassar harus seperti kami!

Sepanjang jalan, tak sekali pun mata saya luput oleh rimbun pohon dan tanaman jenis lain tumbuh di badan pembatas jalan. Bahkan teramat cantik. Segalanya berbeda dengan Makassar. Yang tumbuh justru ruko (rumah toko) dan baliho!

Dua ‘tanaman’ ini sedang marak tumbuh di ibukota Sulawesi Selatan ini. Ruko sejak sepuluhan tahun terakhir tumbuh di pinggir-pinggir jalan. Begitu juga baliho. Menjelang pemilihan kepala daerah sampai suksesi organisasi-organisasi pun harus memamerkan kandidatnya ke warga kota. Apa yang bisa saya harapkan sebagai warga dengan baliho semacam itu? Sampai memaku pohon segala?

Foto: Affang UKM Seni UMI
Kata teman saya, Aditya Remy Adinegoro dalam obrolan kala ia mengantar saya ke bandara, Surabaya sudah punya, sedikitnya, lima belas taman kota. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, menyulap bekas pompa bensin menjadi taman. Teman saya lainnya, Muhammad Cora bilang, dengar kabar memang ruang terbuka hijau (RTH) Kota Pahlawan ini sudah lebih 30 persen, porsi yang diharuskan peraturan pemerintah.

Selain itu, di kota ini juga ada wisata sungai Kali Jagir—yang termasuk dalam proyek Strenkali. Katanya lagi, kita bisa naik perahu di Kali Jagir sampai ke muara di pantai utara Surabaya, tempat tumbuh lebatnya hutan bakau yang juga jadi kawasan wisata. Saya amat senang mendengar kabar itu. Kesan saya tentang Surabaya selama ini sibuk dan panas berganti dengan hal-hal menyejukkan begitu.

Kata Remy, Walikota Surabaya itu arsitek, mantan kepala dinas pertamanan. Tapi hemat saya, pengelolaan kota tidaklah bergantung pada latar belakang si pemimpin. Ini soal visi membangun. Si pemimpin, yang berasal dari latar apapun, punya wewenang menggerakkan semua sumber daya untuk menguatkan wilayah yang jadi tanggungjawab si walikota. Unit kerja yang dibawahi sang walikota adalah sumber daya yang memungkinkan kota lebih baik, apalagi mereka ‘dipersenjatai’ dan diberi wewenang menggunakan dana APBD dan APBN yang tidak sedikit.

Sudah jamak studi banding para anggota legislatif melakukannya ke luar negeri. Kini saya bisa memberi saran: Anda, anggota DPRD, tak perlu jauh-jauh berangkat yang bakal habiskan uang APBD. Anda cukup ke Surabaya atau telepon langsung Bu Walikota menanyakan bagaimana kiatnya memelihara warganya dengan pantas, layaknya sebagai seorang ibu.

Apa berlebihan kalau saya cemburu pada Surabaya? Tentu tidak. Bagaimana pun, saya akan pulang ke Makassar, kota yang akan saya tempati hidup dan menghirup udaranya lagi. Gila aja kalau saya nggak cemburu! Anda sendiri bagaimana? []

Komentar

  1. hmm.. bicara soal kota.. siapakah yang kenal dengan nama Mataram?

    Matraman?
    Kerajaan Mataram?

    huft..!

    maklum, provinsi yang biasa2 saja, sehingga tidak pernah terliput oleh berita..

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya kenal mataram kok, bro. tapi soal kenal atau tidak, menurut saya tergantung pada teman-teman mataram untuk tidak bergantung pada publikasi dari media mainstream. tulisan-tulisan di blog juga penting meluruskan dan menginformasikan banyak hal. ayo menulis! :)
      btw, terima kasih sudah berkunjung ke sini. sering-sering ya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer