Ketika Aktor dan Penonton Menjadi Warga
Hal-hal apa saja yang menarik ketika menyaksikan pertunjukan seni di
luar ruangan? Ini catatan saya saat
menjadi bagian performance arts
Ku-PartaiBaru yang difasilitasi oleh UKM Seni Universitas Muslim Indonesia
(UMI), akhir Juni 2012.
Kota Batu (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
BANYAK ORANG KAGET, termasuk saya, ketika menyusuri
jalan menuju kawasan Metro Tanjung Bunga. Di sana rupanya sudah berdiri megah Rumah
Sakit Siloam. Saya tidak pernah masuk ke kawasan ini sejak beberapa bulan. Tanjung
Bunga, kawasan yang dikembangkan belakangan di Makassar, mengharuskan terjadinya
penimbunan sekitar Pantai Losari hingga pesisir perbatasan Makassar-Gowa.
Di seberang jalan, berdepanan RS Siloam, tampak
sejumlah orang berkumpul di tanah timbunan yang berada sekisar 200 meter lebih
ke dalam. Di dekat mereka sudah berdiri bangunan bambu. Jalan masuk ke sana
dijaga tukang parkir. Beberapa kerabat kerja pertunjukan sudah berada di balai
beratap tukang parkir untuk memastikan tidak salah memungut bayaran parkir pada
para pengunjung pertunjukan.
Semakin dekat kian jelas bahwa bangunan bambu itu
rupanya rangkaian bambu berbentuk segitiga setinggi sepuluhan meter, berdiri di
atas jembatan beton penghubung timbunan luar dan timbunan dalam. Bangunan bambu
itu tampak berdiri anggun disinari matahari sore dan tak goyah diterpa angin
laut. Sebatang bambu di ujung atas terikat melintang seimbang—sebagai neraca keadilan.
Timbangan keadilan. (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
Tanah timbunan, lokasi berlangsung performance art Ku-Partai Batu,
merupakan kawasan pembangunan Center Point of Indonesia (CPI). Berdasarkan
kabar yang beredar, mintakat ini rencananya akan dibangun Wisma Negara. Titik
ini diambil karena Makassar menganggap titik ini adalah titik tengah Kepulauan
Indonesia bila ditarik garis dari Sabang sampai Merauke (barat ke timur) dan
Sangir Talaud ke Pulau Rote (utara ke selatan).
Sayangnya, penimbunan itu berakibat pada kawasan
sekitar Makassar, seperti yang terjadi di Desa Bontosunggu, Galesong Utara,
Kabupaten Takalar. Seorang warga menyebut abrasi melanda Bontosunggu ditengarai
akibat perubahan pola arus karena semakin tingginya sedimentasi di sekitar
muara Sungai Barombong atau Sungai Jeneberang (http://panyingkul.com/view.php?id=1178, diakses pada 8 Juli 2012, 22.56 Wita). Pementasan Ku-Partai Batu menjadi
salah satu bentuk kritik atas pembangunan kawasan ini, dalam bentuk performance art.
Empat penguasa mengusung rumah masing-masing. (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
KU-PARTAI BATU merupakan konsep pertunjukan yang
mengimajinasikan batu sebagai kekuasaan para pemimpin. Kepemimpinan ini penuh
pencitraan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/dinasti batu. ‘Batu’ dalam
judulnya menjadi kata yang merepresentasikan kezaliman yang teramat bebal.
Bangunan bambu segitiga yang berdiri anggun itu
berasal dari mitologi I La Galigo. Dalam alam pikiran mitologi masyarakat Bugis
dan Makassar, dunia terdiri dari tiga dunia: botting langi’ (dunia atas), ale
kawa’ (dunia tengah), dan peretiwi
(dunia bawah). Di rangkaian bambu itu bergantungan pula bebatuan yang diikat
menggunakan tali rotan.
Latar kota, salah satu bagian penting dalam pementasan. (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
Terdapat lima aktor dalam alur gerak Ku-Partai Batu.
Seorang membawa api di tangannya. Empat penguasa partai membopong rumah
segitiga masing-masing. Mereka berjalan beriringan seolah berjuang untuk satu
tujuan. Si pembawa api lalu menapaki bangunan tersebut hingga ke atas. Di sana
ia meliukkan gerak gemulai. Sementara empat penguasa masing-masing bergerak
menguasai wajan, lesung, nyiru, dan ulekan. Mereka menggaruk dan membisingkan
benda-benda tadi—tentu dengan gerakan yang berbeda dan seperti saling berebut
perhatian pengunjung. Setelah semua tandas dan dunia bawah berubah seperti meja
makan, sang pemimpin turun ke dunia tengah. Sementara pula, keempat penguasa di
bawah membuka kain, menumpuknya dengan semua rumah segitiga, lalu membakarnya.
“KAWASAN INI bakalan ditutup dan hanya diakses
kalangan tertentu saja. Jadi mumpung masih berupa timbunan, ayo kita pakai,”
ujar Ibrahim, salah seorang fasilitator performance
itu.
Ujaran Bram, demikian panggilan akrab saya padanya,
merupakan karakter sifat pertunjukan sebuah perfomance
art. Ia memberi kita pengalaman baru dalam menyikapi ruang, terutama
berkaitan dengan latar berlangsungnya seni jenis ini. Seni ini mengabarkan dan
memberitahu kita tentang perkembangan terakhir kota (dalam hal ini Makassar).
Ragam seni semacam yang disajikan anak-anak seni UMI itu mengajak kita melihat kondisi
kekinian Makassar. Bukankah kekinian adalah akumulasi dari masa lalu?
Karenanya, ketika bagian membincangkan performance art ini di Kampung Buku dua
hari setelah pertunjukan, saya dengan naif dan berani mengajukan istilah ‘seni
keperistiwaan’ untuk mencakupi dua istilah ‘happening art’ dan ‘performance
art’, yang tampaknya sempat membuat bingung beberapa peserta diskusi.
“Jangan-jangan ini soal peristilahan saja,” kata salah seorang penanggap.
Saya mengerti kebingungan yang dimaksud. Karena, pada
dasarnya, kedua seni ini agaknya berkarakter serupa, yakni: [1] memberi ruang
yang sama antara pelakon dan penonton untuk berpartisipasi, baik segi interpretasi
maupun komunikasi; [2] titik tumpu gagasan berorientasi fenomena/peristiwa
kekinian (yang terjadi dalam rentang waktu yang tak berapa lama); dan [3] kerap
penyajiannya berlangsung di luar ruangan.
Bagi saya, istilah itu bisa membingungkan. Padahal ranah
bahasa kita masih sangat luas dan membutuhkan penggalian serta pemaknaan dari
penggunanya. Mengapa tak kita berpikir bersama mencari padanan istilah demi
mengayakan perbincangan terkait soal ini?
Latar kedirian dalam mengolah pengalaman kota dan kosmis. (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
‘Seni keperistiwaan’ bagi saya istilah paling cocok
untuk menyebut genre ini karena seluruh rangkaian dari gagasan sebuah
pertunjukan sebagai sebuah ‘peristiwa’. Penggodokan dan penyebaran gagasan tetap
menjadi bagian penting dalam pertunjukan. Para kerabat kerja dan aktor menjadi
peramu gagasan (fasilitator). Bagaimana pun, keterlibatan semua kalangan adalah
salah satu hal utama. Bahkan apa yang dilakukan, semisal, oleh tukang parkir
demi kelancaran pertunjukan itu tetap masuk dalam hitungan ‘berpartisipasi’
dalam pertunjukan ini.
Demikian juga ketika pementasan berlangsung. Penonton dan
fasilitator lebih menyatu. Mereka lalu menjadi warga biasa. Penonton disarankan
lebih mengambil posisi sebagai pihak yang turut bergerak dan berpartisipasi. Mereka
boleh ‘mengganggu’ pertunjukan dengan melintas di depan fasilitator untuk
mengambil gambar—sesuatu yang tidak terjadi dalam pementasan konvensional
(memakai panggung).
Latar kosmis menjadi bagian penting. (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
Kalangan penonton perlu mengabadikan peristiwa seni
yang tidak akan terulang itu, berikut dengan situasi kota ketika pertunjukan
berlangsung. Mereka dapat mengambil gambar dari mana saja. Penonton lebih
berdaulat menentukan posisi di mana saja, tergantung selera menyaksikan
pementasan dari arah mana. Seni keperistiwaan membebaskan penonton kok.
Peristiwa yang berlangsung di ketiga jagat memang serba tersebar, yang
menyebabkan fokus kita terpecah, meski sejatinya pertunjukan itu satu peristiwa
yang saling berkait.
Perubahan peran yang saya jelaskan di atas tersebab terdapat
tiga ranah dalam seni keperistiwaan itu, tempat kita mendudukkan diri, yakni
latar kosmis (jagat raya), latar sekitar (jagat kota), dan latar manusia (jagat
kedirian). Kedua dunia yang paling awal disebut adalah bagian terluar yang berbentuk
dan terjadi tanpa campur tangan penonton karena tanpa peran dan rekayasa sutradara
sebagaimana yang terjadi dalam pementasan konvensional. Namun kedua latar itu
memberi kita gambaran kabar tentang lingkungan (kota), tempat hidup warga sehari-hari.
Suasana pementasan di lokasi pembangunan CPI, Makassar. (foto: Anwar Jimpe Rachman) |
Keberhasilan
seni jenis ini, menurut hemat saya, tidak ingin menyeret kita berlama-lama
dalam melankoli tentang ekstensial kedirian saja (penonton). Lebih dari itu, peristiwa
ini mengundang kita peduli pada latar dan tempat seni ini berlangsung, yang
memungkinkan penonton berubah menjadi warga.[]
tawwa, kerennya.
BalasHapusalhamdulillah! terima kasih. sekadar berbagi, kasyan :D
BalasHapussamaji, kasiyaaaan.
HapusFoto-fotonya semakin signifikan, kakang. Penjelasan mengenai istilah happening art dan performing art juga membuat awam seperti saya tidak lagi begitu kabur pada kesesatan dua istilah ini :)
BalasHapusBravo buat teman-teman UKM seni UMI! jarang sekali di Makassar pementasan di lakukan di luar ruangan yang membuat seni pementasan menjadi lebih dekat dengan orang awam.
kurru sumange'!
BalasHapuswahhh..kerennya..."seni dan partisipasi", "latar kedirian,kota dan kosmis..." :)
BalasHapuswargalah segala-galanya, sawing! :)
Hapusnice post :)
BalasHapusditunggu kunjungan baliknya yaah ,