Hikayat Perasan Jeruk Nipis di Kuah Coto
foto: Anwar Jimpe Rachman |
Anda ingin tahu kapan saja masa jeruk nipis
berlimpah dan berkurang di
Makassar? Gampang!
Caranya bisa dengan hanya melihat bentuk potongan jerung
nipis yang ada di meja warung yang Anda datangi. Bila bentuk potongannya
besar-besar berarti stoknya sedang berlimpah. Tapi kalau Anda melihat potongan
kecil-kecil, bahkan di beberapa kasus potongan sisa perasan jeruk nipis masih
bercampur di mangkuk, sudah jelas pasokan jeruk jenis ini benar-benar sedang berkekurangan.
Jeruk nipis merupakan penyedap rasa organik yang ‘wajib’ ada
di warung coto atau warung ikan bakar, dua menu kuliner yang banyak kita
temukan di Makassar. Namun, tak banyak yang tahu bagaimana perjalanan jeruk
nipis menggelinding sampai ke meja makan warung yang kita datangi selama ini.
Perdagangan jeruk nipis di Makassar berpusat di Pasar Terong.
Di pasar yang terletak di Kecamatan Bontoala ini, sebagaimana diketahui, menjadi
sentra distribusi semua komoditas yang dikonsumsi warga Kota Daeng dan sekitarnya.
Tiga puluhan pedagang memasok jeruk nipis untuk Makassar setiap hari di pasar
induk ini, termasuk memasok sekisar 4000 warung coto yang tersebar di Kota
Daeng. Salah seorang di antaranya adalah Haji Nanna.
Haji Nanna berdagang jeruk nipis sejak gadis. Perempuan
berdarah Jeneponto ini khusus mengirim suplai untuk melayani sejumlah penjual
coto dan warung makan. Ia berdagang jeruk nipis sampai sekarang, di usianya
empat puluhan tahun. Setiap hari, bila pasokan sedang normal, Haji Nanna memasok
400-500 kilogram per hari untuk warung pelanggannya. Tapi bila pasokan jeruk
nipis berkurang, ibu dari empat anak ini menyalurkan jeruk nipis dengan cara mengira-ngira
kebutuhan warung bersangkutan.
“Dia akan memperkirakan kebutuhan berdasarkan banyaknya pelanggan
datang di setiap warung. Bukan atas dasar permintaan atau siapa yang punya uang
cash (tunai). Dia membagi biar
sedikit. Intinya, di Pasar Terong, pedagang memelihara pelanggan. Itu
berdasarkan prinsip sitallassiki paranta
rupa tau atau saling menghidupi sesama manusia,” terang Zainal.
Dua kawasan yang selama ini menyuplai jeruk nipis ke Makassar
adalah Luwu (meliputi Mangkutana, Masamba, dan Malangke) dan Selayar (kawasan
Bontomanai). Jeruk kedua daerah itu masing-masing punya kelebihan dan
kekurangan. Jeruk Selayar disebut-sebut kualitas airnya terbaik karena airnya
lebih banyak dari jeruk nipis Luwu. Juga, menurut Zainal Siko, air jeruk
Selayar lebih kecut.
“Kekurangannya tidak bisa dikirim antar pulau atau diekspor.
Karena buah jeruk Selayar kulitnya lebih tipis. Cepat menguning. Sehingga
pelemparannya seputar Makassar,” ungkap Zainal Siko, pendamping SADAR,
organisasi pedagang Pasar Terong.
Ini berbeda dengan karakter jeruk Luwu. Karena kulitnya lebih
tebal, buahnya bisa bertahan lima hari hingga seminggu. Jadi memungkinkan untuk
dikirim ke kota lain seperti Jakarta yang membutuhkan pasokan 40-45 ton/bulan,
Surabaya 30 ton/bulan, Kalimantan 30-40 ton/bulan, Ambon 10-20 ton/bulan,
sampai ujung timur Papua yang memerlukan 20 ton jeruk nipis saban bulan. Kerap
pula jeruk nipis itu diekspor ke Singapura, Australia, Filipina, Malaysia Timur
dan Barat, Hongkong, sampai Pakistan.
Kosongnya pasokan itu terjadi sebab dalam setiap bulan
terdapat 15 hari pasokan jeruk kosong. Namun, berdasarkan Zainal, pasokan
penyangga seperti Bone, Sidrap, dan Sengkang mengirim dalam jumlah kecil. Namun
jika suplai tidak memadai, jeruk nipis yang dikirim dari Makassar ke kota lain
dikemas ulang lalu dikirim kembali ke Kota Daeng.
“Sering terjadi jeruk dari Makassar yang sudah tiba di
Jakarta, dikirim lagi ke Makassar karena tidak ada lagi di Terong. Maksud saya,
bisa saja jeruk nipis yang dikirim ke Manado, terus Manado kirim ke Surabaya
dan tiba di Jakarta, diminta kirim lagi ke Makassar. Tapi kalau sudah begini,
harga bisa mencapai Rp12.000/kg di eceran,” jelas Enal, panggilan karib Zaenal.
Mengapa kekosongan itu terjadi? Menurut Enal, itu lantaran
pola tanam petani di Sulawesi Selatan yang bergantung musim. Dengan demikian,
waktu pemanenan pun bisa berlangsung di waktu yang bersamaan.
“Tapi kalau penjual bakso kasih ki’ cuka, berarti dia tidak bisa beli lagi jeruk karena mahal karena
pasokan lagi kurang!” pungkas Enal, dengan mimik serius.[]
NB: Tulisan ini disiarkan http://makassarnolkm.com edisi 4 Agustus 2012.
Komentar
Posting Komentar