Menafsir Lontara’ dalam Seni Lingkungan
ChengLong Spiral, salah satu karya Firman Djamil di ChengLong Wetlands International Environmental Art Project, 2011. (sumber foto: firmandjamil.blogspot.com) |
“Saya melihat
bahwa naskah kuno itu barang mati yang harus dihidupkan kembali melalui tafsir, yang menginspirasi kita dalam bekerja estetis,” terang Firman.
Menanggapi yang
dialaminya itu, pada 1996, Firman bekerja merancang sebuah pertunjukan, ‘teater
instalasi’—begitu ia namai, berjudul Mencari
Benua I La Galigo yang Hilang. Ia menyajikan pertunjukan melalui konstruksi
bambu berbentuk piramida sekaligus simbol perahu Sawerigading. Presentasi ini
berlangsung enam malam berturut-turut di depan Fort Rotterdam.
Berkesenian,
bagi Firman, sebaiknya berlangsung dalam prinsip outdoor, terbuka, dari segala perspektif. Kerja estetis ini sangat
efektif untuk membuka ruang alternatif yang bisa dibaca sebagai sebuah solusi
dari persoalan yang kita hadapi.
“Beberapa lama setelah
pertunjukan, teman-teman seniman mencandai saya setiap ketemu, ‘apakah kamu
telah menemukan Benua I La Galigo?’. Candaan itu baru mereka sadari setelah
Robert Wilson menggarap teater I La Galigo. Fungsi pekerja seni harusnya jadi
transformator dalam menafsir ulang masa depan kebudayaan Sulawesi Selatan,” kata
Firman.
Pembacaan dan
pergelutan Firman Djamil lebih mendalam terhadap teks I La Galigo, utamanya
episode Tumpa’na I We Lenrenge, makin
mengokohkan akar kerja estetis seni lingkungannya. Tumpa’na I We Lenrenge adalah epiode yang menceritakan tumbangnya sebatang
pohon raksasa di dunia I La Galigo bernama I We Lenrenge tumbang karena menjadi
‘tumbal’ dari keinginan Sawerigading—membuat kapal besar untuk menyeberang ke
Negeri China agar bisa mempersunting kembarannya, I We Cudai. Bagi Firman,
babakan cerita dalam naskah simbolisasi keserakahan manusia memperturutkan
keinginannya sampai merusak lingkungan hidup.
Menurut Firman,
seni lingkungan sebagai sebuah istilah besar dan luas. Namun inti kerja estetis
para penggiatnya lewat pemahaman seni outdoor,
kerja estetis yang dipresentasikan di ruang terbuka, tempat segala nilai
berebut menawarkan diri. Oleh sebab itu, cara kerja ini tidak melihat sebuah
ruang dengan segala apa yang ada di dalamnya semata-mata dipandang sebagai ‘objek’
eksploitasi, tetapi juga melihatnya sebagai ‘subjek’. “Tantangan seni
lingkungan adalah bagaimana cara menggunakannya sekaligus mempertahankan
sesuatu,” simpul Firman.
Firman
mencontohkan bahwa hal serupa sebenarnya sudah dilakukan oleh suku-suku yang
hidup di wilayah hutan. Mereka memiliki pandangan arif dalam melakukan berinteraksi
dengan alam dan lingkungan. Hutan dianggap sebagai bagian dari kosmik yang
harus dijaga. Oleh sebab itu, suku-suku tersebut menciptakan mitos-mitos agar
hutan tetap terjaga, seperti ‘menebang pohon ada ular besar yang akan menelanmu
bila masuk di sana’. Dan banyak sekali mitos yang dipelihara oleh suku tersebut
untuk menjaga hutan mereka, lingkungan mereka, demi kelangsungan hidup bersama.
Firman
menyarankan agar Indonesia melakukan hal yang sama dengan pemerintah Brazil,
yakni melindungi suku semacam itu. Negara ini, lewat Brazil’s National Indian
Foundation (FUNAI) menyiarkan foto-foto dari pesawat yang terbang rendah dan
memperlihatkan para penghuni rindang pohon di dataran Amazon yang baru saja
pulang berburu.
“Kita tidak
perlu mengintervensi kehidupan mereka sebagaimana Badui atau Kajang (masyarakat
adat di Bulukumba, Sulsel) yang sesungguhnya sudah eksis dengan gagasan dan
konsep kehidupan mereka. Justru mereka harus diberi penghargaan karena tidak
membebani orang lain, bahkan bisa survive.
Beri mereka kebebasan mengekspresikan ruang kebudayaannya!” cetus Firman.
Hal yang sama,
terang Firman, ketika media TV menyoroti kondisi bangunan sekolah-sekolah di
pelosok, lanskap, atau materi bangunan sekolah bersangkutan, mulai dari dinding
kayu, lantai tanah, sampai atap rumbia. “Itu sesungguhnya menyesuaikan dengan
kondisi lingkungan setempat. Dan suasana itu lebih mendukung kehidupan mereka.
Kok media mempersoalkan itu? Sekolah di pelosok tidak sama dengan sekolah di
kota yang berfasilitas canggih dan terstandar. Kenapa mereka seragamkan situasi
di kota dengan situasi di pedalaman sana. Apakah tidak berbahaya ketika
arsitektur kota dibawa ke pedalaman? Apakah tidak membuat mereka syok? Apakah
itu malah tidak menjadi beban?” papar lelaki yang menyelesaikan pendidikan
magister di ISI pada 2011 lalu.
Firman menyebut
kata ‘beban’ lantaran sekolah di pedalaman selalu menyesuaikan konteks
masyarakat dan sumber daya alamnya. Karenanya, ia mengharapkan bahwa bila melihat
persoalan lanskap dan persoalan arsitektural sekolah pedalaman, tidak perlu membikin
ukuran dan parameter yang sama dengan yang ada di kota. “Aneh pandangan orang
kota terhadap orang di desa!” cetus Firman.
FIRMAN DJAMIL merupakan
satu dari sedikit nama pekerja seni lingkungan di Indonesia, selain nama
semisal Dadang Christanto. Lelaki kelahiran Bukaka (Bone) 5 Februari 1964 ini kerap
mendapat undangan membawakan karya instalasi lingkungannya ke negara seperti
Taiwan, Belanda, Korea Selatan, Jepang, Australia, atau Turki.
Momentum Firman bekerja
estetis di forum internasional dimulai alumni IKIP Makassar ini menghadiri
sebuah forum di Tejakula Bali 1999 silam. Di sana Firman bertemu seniman
Jepang, Harada Akatsuki. Akatsuki kemudian mengundang Firman berpartisipasi di
forum seni lingkungan Yokohama pada 2000. Dari situlah terbuka jaringan seni
lingkungan. Firman menyadari harus berjuang sendiri di tengah lingkungan perkembangan
seni Sulawesi Selatan yang ‘tidur’.
“Gagasan
kesenian saya adalah keterlibatan. Keterlibatan aspek dan lingkungan di wilayah
ini juga saya bawa ketika di (Janggungbong Nature Art Park, Gongju) Korea
Selatan. Alasan estetis yang saya ingin katakan waktu itu adalah bumi kita
sebenarnya sudah berteriak. Teriakan bumi saya visualkan lewat medium bangunan
batu. Olehnya saya beri judul Suara dari
Dalam. Maksud saya, tidak mesti kita berteriak. Tapi kita bisa mengajak
orang yang memakan buah untuk melontarkan biji buah-buahan ke batu itu dan
biji-biji itu kelak bertunas lalu jadi pohon. Area itu adalah konservasi alam
yang dikelola. Dan biji yang tumbuh akan dipindahkan ke tempat tanam,” terang Firman.
Bagi Firman yang
juga pernah mendalami seni tari dan musik tradisional, seni lukis hanya salah
satu periode kerja estetisnya. Itu pun, menurutnya, karena ia pernah berkuliah
di Seni Rupa IKIP (sekarang UNM). Firman tidak lagi menggeluti seni lukis
lantaran ia menganggap seni ini hanya
berulang, tidak membangun paradigma lain secara estetis. Seni harusnya jadi
solusi. Seni mesti menjadi peristiwa yang menawarkan solusi.
Karenanya, Firman Djamil hingga sekarang enggan menyebut
dirinya seorang seniman. “Lebih nyaman sebagai ‘pekerja seni lingkungan’ saja.”
Tampaknya
tanggapan ini Firman lantaran beberapa waktu lalu ia menulis tentang seniman
harus menjadi ‘orang biasa’. Ini bertalian dengan seni lingkungan yang
berkonsep ‘outdoor’ sebagai konsep praktik senirupa yang tidak memiliki ruang
otonomi khusus. Outdoor—yang hingga sekarang belum mendapat padanan dalam
bahasa Indonesia lantaran tidak sekadar sebagai ‘luar-ruang’—merupakan ruang
yang bebas dan lepas serta mengelolanya butuh semangat kesetaraan (egaliter)
dalam menafsir ruang.[]
NB: Disiar pula di http://makassarnolkm.com
NB: Disiar pula di http://makassarnolkm.com
Komentar
Posting Komentar