Suara-suara yang Terbit di Ufuk Timur

Windah, Andi Fadly Arifuddin, Ningsih Millane, dan Nina Lim sepanggung di MIWF (foto: Armin Hari) 

RINI IRMAYASARI masih penasaran. Penulis cerita pendek berdarah Jawa-Papua ini bertanya-tanya, bagaimana penilaian tim kurator Makassar International Writers Festival (MIWF) sehingga ia mendapat undangan sebagai emerging writers fellowship awardees 2012 (beasiswa untuk penulis baru)?

“Saya setuju kalau dikatakan MIWF sebagai upaya memunculkan (memperkenalkan) penulis dari Indonesia Timur. Tapi saya juga masih bingung tentang kepenulisan Indonesia Timur di luar Makassar. Setahu saya, dibandingkan Papua, kehidupan bersastra dan menulis di daerah Indonesia Timur lainnya lebih ‘maju’,” jelas Rini, perempuan kelahiran 1983 silam.

Menurut Luna Vidya, salah seorang kurator MIWF 2012, penyebaran karya-karya sastra di kalangan penulis Papua lebih merebak semarak di dunia maya ketimbang media cetak. Menurut perkiraan Luna, suara-suara yang muncul dari karya sastra Papua kebanyakan membisikkan dan meneriakkan kemerdekaan Tanah Papua. Cukup riskan bagi penulisnya jika menyiarkannya lewat media cetak karena alasan keamanan.

Rini dalam kesempatan lain via surat elektronik membenarkan Luna. Penyiaran karya-karyanya sejak 2007-2012 berlangsung di tiga tempat: blog, grup Sastra Papua di Facebook, dan website. “Jangan kaget kalau saya terpaksa memakai beberapa nama pena yang berbeda. Ya demi satu dan lain hal saja mengingat ada beberapa cerpen dan puisi saya yang pernah membuat saya merasa ‘dibayangi’,” jelas perempuan yang hingga kini masih menyamarkan akun Facebook.

Salah satu jalur penyiaran Rini dan kawan-kawannya adalah www.yaswarau.com. Situs ini sendiri tak jelas lagi nasibnya kini. “Saya tak tahu apakah kembali kena banning (tangkalan) atau serangan virus. Padahal di situs ini hampir semua manuskrip cerpen saya unggah selama lebih dari 4 tahun,” papar Rini.

Emil Amir, salah seorang penulis emerging writer, pun menanyakan hal serupa yang ditekankan Rini. Beberapa kali ia membicarakan ini pada penulis yang hadir. Direktur MIWF, Lily Yulianti Farid mengatakan, peran yang diemban MIWF sebatas memperkenalkan karya, terutama penerima emerging writer fellowship awardees. Dengan mengikutkan festival, kemungkinan pembacaan karya mereka menjadi lebih luas, sehingga membuka kesempatan terjadinya dialog terkait karya bersangkutan. Untuk pelaksanaan 2012, MIWF meluaskan cakupan berskala Indonesia Timur. Tahun sebelumnya, tahun 2011, MIWF hanya mengundang penulis dari Makassar.

“Harus kita akui kenyataan, penerbitan karya-karya penulis di Indonesia Timur tidak seluas Jawa dan Sumatra yang ditopang media massa yang memberi tempat khusus. Di Makassar pun itu tidak terjadi,” ujar Lily.

Karenanya, MIWF mengundang emerging writer secara tertutup via surat elektronik. Aslan Abidin, Luna Vidya, M Aan Mansyur, dan Shinta Febriany—sebagai tim kurator MIWF—bekerja keras mencari penulis yang dianggap penting mendapat undangan. Sebagai contoh, untuk menemukan Emil Amir, tim MIWF mencari tahu ke Forum Lingkar Pena (FLP), komunitas tempat Emil kerap bergiat. Karya Emil, lelaki kelahiran Sinjai, 200 kilometer dari Makassar, sempat diterbitkan di sebuah harian terkemuka di Jakarta dan memenangkan beberapa lomba penulisan cerita pendek.

Sudah tentu, dari soal nama, MIWF menjadi ajang berskala besar tempat pertemuan sejumlah penulis. Mereka yang mengambil peran selama lima hari kegiatan, antara lain Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi, Akmal N Basral, Bernice Chauly (Malaysia), Butet Manurung, Elizabeth Pisani (Inggris), Fauzan Mukrim, Jennifer Mackenzie (Australia), John H. McGlynn (USA), Kent MacCarter (USA), Khrisna Pabichara, Mochtar Pabottingi, Novi Dwi Djenar, Ng Yi Sheng (Singapura), Nurul Nisa, Omar Musa (Australia), Uthaya Sankar SB (Malaysia), Wendy Miller (Australia), Xu Xi (Hongkong). Selama kegiatan, mereka narasumber workshop, pembacaan karya, kupas buku, pemutaran film, dan beberapa kegiatan yang berlangsung 13 - 17 Juni 2012 lalu.
Luna Vidya membacakan sajak di MIWF. (foto: Armin Hari)
Namun, sejatinya, kata Farid Ibrahim, salah seorang penyokong Rumata’, ajang ini adalah sebentuk perayaan kecendikiawanan. Setiap tahun mengusung sosok-sosok penting dunia ilmu pengetahuan Sulawesi Selatan. MIWF tahun lalu merayakan warisan kerincian kerja intelektual seorang munsyi Bugis bernama Muhammad Salim yang meninggal tahun 2011. Tahun ini mengangkat pentingnya upaya mendiang Mattulada, yang disebut sebagai ‘penghulu adat Sulawesi Selatan’. Karya-karya penelitian Mattulada hingga kini menjadi kutipan sejumlah penelisikan dan penulisan kawasan selatan Pulau Sulawesi. Salah satu karyanya yang menggaung hingga kini berjudul Latoa, Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Mochtar Pabottingi, peneliti senior bidang politik LIPI, diundang untuk mengupas pokok pikiran Mattulada di hari pertama festival.

MIWF adalah festival berskala internasional yang dilaksanakan rumah budaya Rumata’ Art Space, secara harfiah berarti ‘rumah kita’. Rumata’ berdiri atas prakarsa Riri Riza dan Lily Yulianti Farid. Riri yang sejak lama bergelut di dunia film merasa terpanggil menumbuhkan kehidupan kegiatan seni dan kebudayaan di Makassar, kota yang pernah membesarkannya. Bertemulah Riri dengan Lily, sastrawan dan mantan wartawan yang sekarang tengah menempuh studi di Australia.

Kekuatan media sosial tampak nyata di MIWF. Taman Benteng Fort Rotterdam penuh penonton. Malam-malam sepi benteng peninggalan Belanda di bibir pantai barat Makassar ini akhirnya pecah selama lima hari berturut-turut. Para penonton ini adalah sebagian besar datang karena penyiaran jadwal dan kegiatan MIWF lewat akun @mksrwriterfestival di jaringan sosial Twitter.

Inilah hal yang paling menggembirakan bagi pihak penyelenggara pihak Rumata’. Kalangan yang aktif di dunia ‘microblogging’ datang lalu menjadi penikmat baru sastra. Dan sastra yang dianggap sebagai hanya kalangan tertentu kini telah merebut penyimaknya sendiri, setidaknya untuk konteks Makassar. Mereka datang untuk menyimak langsung pembacaan dan pertunjukan karya sejumlah penulis undangan, dari ranah Indonesia bagian Timur, Indonesia, dan sejumlah penulis dari mancanegara.

Tak ada jalan lain bagi panitia selain memaksimalkan media sosial. Jangkauannya yang luas berhasil mengundang warga Makassar dan sekitarnya untuk turut andil merayakan MIWF. Mengandalkan peliputan media massa nasional seperti menggantang asap.

Peran media sosial pun, bersengaja atau tidak, telah melakukan perlawanan terhadap pendominasian wacana yang dikembangkan media-media ‘meanstream’ pusat (baca: Jakarta) dan sekitarnya. Makassar bercitra kota yang rusuh. Saban waktu tersiar berita demonstrasi (yang kerap disebut menjurus ‘anarkistis’). Dalam catatan pelaksana, hanya media lokal yang memberi ruang untuk ajang ini, mulai media cetak sampai beberapa radio di kota yang berjuluk Kota Daeng ini.

“Menyenangkan bagi penulis dan pendengar karena bisa saling menyapa satu sama lain. Mereka menjelaskan proses berkarya mereka dan berbagi dengan pendengar, sekaligus memiliki ruang untuk bertanya langsung serta membacakan cuplikan karya mereka,” kata Lily Yulianty.

Inilah satu-satunya cara melawan ‘pengucilan’ media terhadap kegiatan di luar dari pencitraan yang berlangsung itu. Bagaimana tidak, pengalaman seorang wartawan media online membuktikan sisi ini. Menurut sang wartawan, ia sempat mengirim foto-foto kegiatan ini. Tapi ia belum mendapat jawaban kenapa tak sampai ditayangkan.

“Di saat yang bersamaan, terjadi juga perkelahian di UNM (Universitas Negeri Makassar). Teman-teman wartawan, atas suruhan para redaktur di Jakarta, memilih meliput itu. Apa benar kota ini mau dicitrakan seperti itu?” tanya Lily.


Perlu waktu untuk menjawab pertanyaan Lily. Satu yang pasti, ragam suara dari ufuk timur Indonesia akan terus terbit. “Tunggu kami tahun depan!” pungkas Lily.[]



*Disiarkan http://makassarnolkm.com/ edisi 30 Agustus 2012.

Komentar

Postingan Populer