Di Rongi, Jagung Awet Sampai 18 Tahun!
Rongi hanyalah nama sebuah desa di Sulawesi Tenggara, sekitar
30 kilometer dari Kota Baubau. Namun membicarakan desa ini, orang akan selalu
terkenang cerita-cerita tentang desa yang mencengangkan ini. Kebiasaan
turun-temurun yang ada di desa ini bahkan bisa menjadi pelajaran penting bagi
Indonesia yang bertanah paling subur di dunia, tapi tetap saja menjadi
pengimpor beras.
Karena kemarau yang panjang,
kelaparan hebat pernah melanda seluruh wilayah kesultanan Buton. Seluruh daerah
di pulau penghasil aspal ini kelaparan kecuali Rongi. Warga dari desa lain
berdatangan ke desa itu untuk menukar barang yang mereka bawa dengan makanan
simpanan warga Rongi. Karena kisah yang terus dikenang itu pulalah pemerintah
setempat pernah mengganti namanya menjadi Desa Sandang Pangan. Tapi Rongi tetap
saja jadi nama yang lebih populer sampai sekarang.
Kemampuan warga Rongi bertahan itu
ternyata karena masyarakatnya mengawetkan pasokan makanan, terutama jagung
sebagai makanan pokok, dengan cara “mengasapi”. Pasokan makanan yang ada di
dalam gudang yang berada di langit-langit rumah mereka setiap hari terkena asap
dari dapur mereka yang terletak tepat di bawah gudang itu.
“Jadi rupanya, nenek moyang kita
dulu itu sengaja menaruh dapur mereka agak di tengah rumah dengan tujuan mengasapi
persediaan makanan mereka yang ada di atas,” kata salah seorang tokoh
masyarakat setempat, Haruddin.
Memang dengan cara mengasapi
persediaan makanan itu akan menghitami biji jagung yang ditaruh di lumbung itu.
Tapi jangan ditanya soal daya tahan perbekalan. Ada biji jagung yang masih bisa
dimasak dan dimakan dengan rasa tidak berubah meski telah ditaruh di gudang
selama 18 tahun! “Biji jagung itu saya simpan ketika anak saya yang tertua
belum lahir. Nah sekarang dia sudah tamat SMA,” seru seorang warga.
Selain menaruh jagung di lumbung
yang ada di langit-langit rumah, warga desa itu juga menyimpan persediaan padi
mereka di bawah kolong rumahnya. Padi yang masih dalam bentuk gabah, masih
berkulit tahan terhadap kutu yang biasa menyerang beras. Ia juga tahan terhadap
cuaca dan binatang pengganggu karena ditutup kain rapat-rapat.
Padi yang mereka kembangkan adalah
padi pegunungan. Mereka tidak membawa pulang padi itu dalam karung seperti yang
terlihat di persawahan Sulawesi Selatan. Warga Rongi membawa pulang padi
panenan masih bersama batang-batangnya dan diikat dalam ukuran tertentu. Seikat
padi itu biasanya kalau sudah dipisahkan dari batang dan kulitnya akan menjadi
beras sekitar 3 kilogram.
Untuk memisahkan kulit gabah, warga
pun masih mengandalkan alu dan lesung. “Lain rasanya kalau beras yang ditumbuk
dengan beras penggilingan (padi). Beras dari penggilingan, kalau dipisah
kulitnya, kulit-kulit arinya juga ikut terpisah. Padahal itu yang bikin beras
itu enak dan bervitamin,” kata Sahuddin (53).
Padi sebenarnya belakangan baru
dikenal, ditanam, dan kini menjadi makanan pokok warga Rongi. Dulu warga hanya
mengenal jagung. Bahkan desa yang berada di ketinggian 300-an meter dari
permukaan laut itu menjadi salah satu penghasil jagung di Pulau Buton. Tapi
jagung hasil panen itu, mereka simpan untuk keperluan makan sehari-hari saja.
Jadi penghasilan warga desa yang rerata pekebun itu didapat dari panenan
tembakau, kacang tanah, atau kemiri yang juga banyak ditanam di ladang-ladang
mereka.
Selain stok makanan berlimpah tadi,
setiap rumah di Rongi juga memiliki banyak persediaan kayu bakar yang disimpan
dan disusun di kolong rumah. Pengumpulan kayu bakar yang dilakukan oleh kaum
ibu-ibu itu biasanya di musim kemarau untuk mengantisipasi persediaan kayu
bakar bila musim hujan tiba.
Selain dalam hal persediaan makanan, warga desa yang
berjumlah sekitar 1.600 jiwa itu pun mengatur diri mereka dalam menjaga
persediaan air untuk desa itu. Sistem Kaombo (hutan larangan) yang
dipegang teguh warga desa mengharuskan warga tidak menebang pohon yang berada
di radius 300 meter di sekitar daerah aliran sungai (DAS).
Jarak larangan tebang di DAS
sekitar ini sendiri lebih jauh bila dibanding dengan SK Menteri Kehutanan
No353/Kpts-II/1986 tentang Penetapan Radius/Jarak Larangan Penebangan Pohon
dari Mata Air Tepi Jurang, Waduk/Danau, Sungai dan Anak Sungai dalam Kawasan
Hutan, Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya. Dalam pasal 2 butir 2 surat keputusan
itu, pemerintah melarang siapa pun menebang pohon yang berada di daerah kiri
kanan sungai sekurang-kurangnya selebar 100 meter.
Manfaat sistem pengelolaan air itu
dirasakan warga Rongi. Mereka tidak pernah kesulitan air bersih. Mata air yang
berada di lereng gunung sekitar desa tak pernah kering meski musim kemarau
melanda. Bahkan kini air itu bisa mengalir lancar hingga ke rumah-rumah yang
ada di Rongi karena bantuan mesin pompa dari sebuah lembaga asing.
***
Untuk bisa ke Rongi, saya harus
kejar-kejaran dengan bus yang akan berangkat ke sana. maklumlah, angkutan yang
hendak ke sana masih jarang; sekali sehari, pada sekitar pukul 10.00 Wita. Saya
sebenarnya sudah terlambat kalau berdasarkan jadwal berangkat angkutan
tersebut. Untung bus itu berhenti di depan sebuah toko bahan bangunan untuk
mengambil semen pesanan. Tapi karena angkutan jarang ke desa itu, bus kejaran saya itu sudah penuh. Kursi penuh dan lorong antar kursi pun sudah disesaki barang
para penumpang. Akhirnya saya harus rela berdiri di dekat pintu belakang.
Awalnya saya santai saja. Saya
pikir, nikmati saja perjalanannya, toh cuma 30-an kilometer. Kalau bus lari
dengan kecepatan 70-an km per jam, paling cuma sekitar setengah jam sudah
sampai. Tapi nyatanya, perjalanan tidak semulus yang saya bayangkan. Perbaikan
jalan di beberapa titik, berkelok dan menanjak di lereng gunung-bukit, dan
jalan berlubang di sini sana menjadikan gerakan oto ini sedikit lambat. Satu
setengah jam kemudian saya baru tiba di Rongi.
Jalan menuju Rongi memang sedang
diperbaiki. Beberapa lereng bukit-gunung bahkan dikikis dan diperluas;
tampaknya untuk mengurangi risiko kecelakaan. Tapi khusus jalan yang membelah
Desa Rongi menuju desa tetangganya, Gunung Sejuk, kondisinya sudah berlubang
dan rusak. Menurut seorang warga, terakhir kali, jalan tersebut diaspal pada
sekitar tahun 1971. Sebuah cerita menyedihkan dari sebuah desa yang letaknya
justru di pulau penghasil aspal!
Di Rongi pun terdapat benteng yang
mengelilingi permukiman pertama Rongi, yang dibangun di sekitaran zaman
kesultanan Buton dulu, untuk melindungi warganya dari serbuan tentara Tobelo.
Benteng itu seakan menjadi lambang dan penanda bahwa Rongi sejak dulu dikenal
sebagai benteng pertahanan maupun salah satu benteng sandang pangan kesultanan
Buton yang sudah melegenda.[]
Catatan: Tulisan ini tulisan 2006 lalu. Pernah tersiar di sebuah situs pekabaran
warga. Saya rupanya tidak pernah menyimpannya di blog ini.
Metode mengawetkan makanan yang seperti itu,,masih sempat saya dapatkan ketika masih kecil. Rumah panggung yang punya Rakkeang..sekarang tidak lagi,,karena rumah warga, sudah berganti rumah batu,,,,tidak ada lagi pengasapan karena tembok akan kotor...teknologi orang dulu ternayata canggih ya..
BalasHapusbanyak metode nenek moyang dulu kini dipakai lagi sekarang, daus. entah kenapa :P
BalasHapusKalau ditempatku penyimpanan jagung itu namanya ditarang , biasanya jagung tidak dikupas habis , disisai biar biji jagungnya tidak hitam kena asap.
BalasHapus