Berburu Air di Kawasan Rawa-rawa

Cerita bagaimana warga di satu kampung di Makassar memenuhi kebutuhan air sehari-hari mereka.

Anak-anak di Kampung Pisang membantu orangtuanya
mengangkat air untuk kebutuhan sehari-hari. {foto: Anwar Jimpe Rachman]
KAMPUNG PISANG merupakan wilayah berawa yang terletak di Kelurahan Maccini Sombala. Bila saja teman saya, Cora, tidak mengantar, saya pasti akan kewalahan mencari kawasan ini. Kita harus melewati gang berliku nan sempit untuk masuk ke sana. Luas jalan berlapis blok semen hanya seukuran motor bergerobak bakso. Bila Anda masuk memakai motor dan berpapasan pengendara lain, salah satunya harus mengalah dan menepi untuk memberi jalan buat yang lain.

Kampung itu dihuni sepuluhan tahun lalu. Tempat itu, menurut Daeng Sampara, dihuni pada awal 2000, ketika tanah urukan pembuatan danau (tempat latihan dayung) di kawasan GMTDC ditempatkan di kawasan ini.

Penyaring buatan warga. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
Sampara bersama keluarganya pindah dari Jeneponto ke Kampung Pisang pada tahun 2004, hanya beberapa bulan setelah membeli tanah kavlingan selebar 10 x 15 meter di daerah ini.
“Saya panjar Rp 5 juta, sisanya saya cicil. Saya hanya berbekal kuitansi pembelian,” ungkap lelaki kelahiran Binamu, Jeneponto, 1963 silam ini.

Sampara bertukang kayu. Pekerjaan sehari-hari inilah yang membuatnya bisa membangun rumah. Ia menunjukkan bagian-bagian rumahnya yang merupakan beberapa bagian berbeda dan berasal dari tempat yang tidak sama.

Salah satu bagian berawa Kampung Pisang. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
“Saya satu-satunya orang yang pakai pagar besi di sini. Itu juga yang sampai sekarang bikin saya tidak lagi dapat bantuan,” ujar Sampara, tertawa. Bantuan yang Sampara maksudkan adalah bantuan pemerintah seperti BLT dan lainnya.

Pagar besi itu, kata Sampara, ia dapatkan dari hasil memperbaiki masjid di wilayah tetangga. Pagar itu, kata lelaki berambut ikal ini, ia beli dengan memotong gajinya sebagai tukang yang mengerjakan rumah ibadah tersebut.


Air di sumur salah seorang warga (atas), air dari sumur Daeng Sampara. [Anwar Jimpe Rachman]
HIDUP di kawasan berawa seperti Kampung Pisang mengharuskan warganya menggunakan air PDAM untuk minum dan makan. Sementara untuk mencuci, warga tetap menggunakan air yang berasal dari sumur yang mereka buat. Sebagaimana yang awam terjadi di daerah rawa-rawa, air sumur itu, menurut Sampara, cocoknya untuk mencuci saja.

Warga mendapat air dari rumah yang berada sekisar 100 meter di bagian utara Kampung Pisang. Mereka tidak gratis. Warga harus membayar—bergantung seberapa sering mereka mengambil air. Rerata, seperti rumah Sampara, ia membayar Rp 50.000 setiap bulan.

Terhitung ada lima sumur di Kampung Pisang, termasuk sumur Pak Sampara. Dari semua, hanya sumur Sampara yang airnya lebih jernih—kendati tetap berwarna kecoklatan. “Tapi itu sudah mendingan dari pada yang lain kayak kopi susu,” ujarnya.

Daeng Sampara mengajak saya berkeliling kampung dan melihat langsung sumur-sumur yang dimaksud. Ia ingin membuktikan apa yang barusan dikatakannya. Ia menunjukkan sumur-sumur berwarna kopi susu. Warga menggunakan kain dan batu untuk menyaring air timbahan mereka.
Bocah-bocah Kampung Pisang bermain di sekitar sumur mereka. [foto: Anwar Jimpe Rachman]
Menurut lelaki beranak empat ini, resep membuat sumurnya memang berbeda. Kala membuat sumur yang berada di bagian belakang rumahnya itu, ia menggali lebih lebar. Dan ketika cincin sumur dimasukkan, ia tidak menimbun cincin itu menggunakan tanah galian, melainkan menimbunnya dengan pasir dan kerikil. “Saya tidak pakai ijuk karena biasanya berbau airnya,” kata Sampara.

Dari mana pengetahuan itu ia peroleh? Sampara mengaku, itu merupakan warisan nenek moyangnya. Di Jeneponto, yang dikenal dengan kabupaten yang kering, masyarakat yang hidup di masa lampau memiliki metode khusus. Sebagai contoh, ketika mencari titik penggalian sumur yang tepat, masyarakat menggunakan cara sederhana. Hanya berbekal tempurung dan garam, mereka menaruh garam di beberapa titik dan menutupnya dengan batok kelapa. Keesokan harinya, mereka memeriksa batok dan garam itu. 

“Di titik mana garamnya sudah mencair, di situlah titik air terdekat. Jadi di situ juga yang digali,” ungkap Pak Sampara.[]

Komentar

Postingan Populer