Laki-laki Lebih Rentan dalam Bencana?
Di sela kesibukannya
dalam The Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) V yang digelar di Yogyakarta, 22-25 Oktober lalu, Dati Fatimah
menyempatkan berbincang dengan saya tentang bukunya yang baru terbit, Menolak Pasrah: Gender, Keagenan, dan Kelompok Rentan
dalam Bencana (Aksara, 2012).
Lewat buku itu, Dati ingin
menunjukkan bahwa sebetulnya bencana itu bukan sesuatu yang alami, tapi
terkonstruksi secara sosial. Bicara soal dampak bencana, kita harus bicara
tentang aspek kerentanan. Itu yang menjadi penjelasan mengapa satu kelompok
menjadi menerima dampak lebih, sedangkan yang lain tidak. “Kerentanan itu yang
dieksplorasi di buku ini, menggunakan analisis gender sehingga bisa melihat
dengan sisi gender yang ada, apa dampak bencananya, kondisi-kondisi yang
membuat satu kelompok itu menjadi rentan dibandingkan yang lain,” jelas Dati.
Sebagai contoh, karena konstruksi sosial, maka perempuan tidak mempunyai akses
informasi dan pengambilan keputusan. Akhirnya, mereka berada pada kerentanan
yang lebih tinggi.
Pengakuan terhadap kelompok
rentan itu kerap disuarakan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menyinggung soal
ini. Tapi, menurut pandangan Dati, anggapan pengakuan kerentanan itu membuat
mereka yang rentan dianggap tidak punya kapasitas. “Menurut saya, ini
bermasalah! Sebab, kemudian upaya-upaya PRB mengabaikan kapasitas mereka.
Upaya-upaya yang kita lakukan, karena berangkat dari asumsi itu, jangan-jangan
membunuh kapasitas yang mereka punyai,” kata Dati.
Dati mencontohkan, kalau
terjadi gempa, skema pertama yang ada di komunitas adalah evakuasi korban dan
dapur umum. Kenapa demikian? Sebab, kata Dati, ini berkaitan dengan kelangsungan
hidup. “Nah, siapa di balik itu? Evakuasi berlangsung karena laki-laki
yang melakukan. Dapur umum dianggap sebagai tugas perempuan, maka perempuanlah
yang melakukan. Artinya apa? Laki-laki dan perempuan sama-sama berkontribusi.
Kenapa kontribusi di level domestik sering tidak diakui, tidak dianggap
penting, dan tidak istimewa?” tanya Dati.
Hal ini tampak dari ranah
dapur umum. Sumber makanan pertama justru bukan dari pemerintah, melainkan dari
jaringan informal seperti keluarga, saudara, dan orang tak dikenal. Pas gempa
di Bantul, kata Dati, orang-orang datang dari Wonosobo dan sekitarnya memakai
truk membawa pakaian, sayur, dan buah-buahan. Bahkan, sering nasi bungkus
datang berlebihan. “Ya, namanya juga spontanitas. Tapi, itu menunjukkan tanggap
bencana itu ada. Kami melihat, di dapur umum, perempuan melakukan proses
mobilisasi sumber daya sesaat setelah bencana,” terang Dati.
Sejak berdiri pada 2007, Aksara mencoba mengombinasikan pendekatan pemberdayaan dengan riset dan pelatihan. Dati dan kawan-kawan berupaya menemukenali persoalan berbasis gender di masyarakat sehingga menjadi isu bagi banyak orang. Belakangan, perempuan kelahiran November 1975 ini berpikir, jangan-jangan konstruksi tentang gender ini tidak cukup hanya diselesaikan oleh perempuan—karena banyak laki-laki yang menjadi pengambil keputusan. Dengan kata lain, ia mencoba untuk "menjawab persoalan gender dengan peta yang lebih besar". Dugaan “laki-laki juga bermasalah dengan konstruksi yang ada selama ini” pun ia ajukan.
Sejak berdiri pada 2007, Aksara mencoba mengombinasikan pendekatan pemberdayaan dengan riset dan pelatihan. Dati dan kawan-kawan berupaya menemukenali persoalan berbasis gender di masyarakat sehingga menjadi isu bagi banyak orang. Belakangan, perempuan kelahiran November 1975 ini berpikir, jangan-jangan konstruksi tentang gender ini tidak cukup hanya diselesaikan oleh perempuan—karena banyak laki-laki yang menjadi pengambil keputusan. Dengan kata lain, ia mencoba untuk "menjawab persoalan gender dengan peta yang lebih besar". Dugaan “laki-laki juga bermasalah dengan konstruksi yang ada selama ini” pun ia ajukan.
Dari bergiat di Aksara, Dati
pun melihat bahwa kelompok rentan juga berkontribusi pada banyak hal. Kelompok
lansia, misalnya, berperan sebagai penyampai kearifan lokal, sampai pendataan
korban. Soal pendataan korban, para kader Posyandulah yang melakukannya. Dapur
umum, dalam kebudayaan masyarakat Jawa, disebut rewang sambatan,
dihidupkan oleh perempuan. Skema tradisi ini dipakai ketika terjadi bencana—ada
yang membawa beras, kelapa, nangka, bumbu. Cara ini terjadi spontan.
Namun, ketika terjadi
bencana, ketika respons formal datang—dari pemerintah, BNPB, atau militer,
tugas memasak di dapur umum digantikan laki-laki. “Anda lihat, misalnya, di dapur
umum ada peralatan panci besar. Menurut saya, itu bagian dari pengabaian.
Ketika datang bantuan, yang memasak itu laki-laki. Lalu, para penyintas
dianggap tidak punya kapasitas. Mereka duduk diam dan menunggu jam makan. Itu
yang membuat mereka stres karena merasa tidak dibutuhkan. Pengabaian tidak
dihargai itu justru menambah kerentanan!” tegas Dati.
Peran perempuan dalam
tanggap bencana juga tampak jelas pada ranah ekonomi. Jika dihitung rinci,
kontribusi mereka tidak kecil. Namun, itu luput dari perhatian khalayak karena
perekonomian perempuan merupakan jenis perekonomian subsisten. Mereka bekerja
di rumah untuk nafkah tambahan dengan berjualan kue, es, dan jenis panganan
lainnya.
Dati mengungkapkan, dalam
pengalaman di dalam komunitas, ketika bencana terjadi, ada masa mereka berhenti
karena berfokus pada penyelamatan. Tapi, kata Dati, ia melihat bahwa justru
aktivitas produktif informal cepat pulih karena menjadi bagian dari healing(penyembuhan).
Ini terlihat sehari setelah gempa di Desa Pundong, Bantul, tatkala seorang
perempuan mencari rumput.
“Dia bilang, rumah saya
hancur. Kalau tidak pergi mencari rumput sekarang, saya bukan hanya kehilangan
rumah, tapi kehilangan ternak juga. Artinya, ada semangat untuk bertahan hidup.
Padahal kan beban domestik mereka berlipat saat bencana. Misalnya, sumber air
lebih jauh karena sumur mereka rusak atau anak mereka yang rewel karena
trauma,” terang Dati.
Membincangkan gender
memutlakkan berbicara konsep maskulinitas dan feminitas. Konsep maskulin akan
membuat laki-laki dikonstruksi harus kuat , tak boleh takut, dan mau mengambil
risiko. Itu kemudian berkontribusi pada praktik-praktik berisiko, seperti
mengorbankan diri sebagai tumbal. Karena itu, ketika erupsi Merapi pada 2010,
Dati menelusuri nama-nama korban. Ia menemukan: lebih dari separuh jumlahnya
adalah laki-laki.
Pada beberapa situasi,
konstruksi gender yang ada bisa juga merugikan laki-laki. “Ini mirip dengan
bencana peperangan karena mereka harus berada di garis depan,” tutupnya.[]
Komentar
Posting Komentar