Mengubah dari Bawah; Cerita yang Diulang



Judul Buku   : Hidup di Atas Patahan
Penulis          : Anwar Jimpe Rachman
Penerbit        : Insist Press
Tebal Buku   : iv + 110 hlm


Buku ini dengan bahasa ringan menarasikan pengalaman dan perjuangan penanganan bencana di Bengkulu Utara, Sinjai, dan Tual (Maluku Tenggara). Buku ini menceritakan heroisme dan perjuangan inspiratif dari orang-orang dan beberapa lembaga akar rumput yang ‘bergerilya’ mencari solusi pencegahan bencana di daerah basis kegiatan mereka.

Tiga hal menarik bagi saya yang wajib dikabarkan dari buku ini adalah heroisme para penggiat basis ini, peran negara dan birokrasi rumit, dan inisiatif rakyat itu sendiri.

Pertama, saya ingin memberikan klaim bahwa aktivitas para penggiat dan pemerhati masalah akar rumput ini adalah sebuah bentuk heroisme yang langka. Nama-nama yang disebut dalam buku ini, bersama masyarakat dan staf pemerintahan, merancang formula bagi pencegahan bencana di lokasi masing-masing.

Lihat saja apa yang dilakukan Nurkholis Sastro dan Hambali di Bengkulu Utara, salah satu daerah yang paling rentan gempa dan tsunami di Indonesia. Sastro bersama Hambali (Mitra Aksi) berjuang memasukkan materi kebencanaan sebagai mata ajar muatan lokal di dalam kurikulum pendidikan di Bengkulu Utara.

Cerita dari Sinjai senada. Ada sosok Pak Daming, pembiak tanaman organil dan pengajar di SMP Satap Tassoso, yang menjadi ‘rekan’ lokal tim Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Payo-Payo. Persoalan birokrasi menjadi tantangan lain bagi usaha tim PRB Payo-Payo ini bersama dengan kepentingan politik yang sangat acak dan momentum Pilgub Sulsel.

Sedangkan di Maluku Tenggara, ada cerita perjuangan Fritz Elmas dan Uly dari Yayasan Nen Mas Il, bersama Pak Nor, Edo Rahail, dan Pieter Elmas. Kisah suksesnya: mereka berhasil menarik simpati lembaga legislatif, DPRD Maluku Tenggara hingga mampu terus mendesak pemerintah daerah untuk memperhitungkan aspek kearifan lokal dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat maupun pemerintah. Meski tetap saja mereka mendapat tantangan dari paradigma proyek pemerintah dan seringnya tidak nyambung dengan kebijakan pemerintah pusat.

Semua itu menjelaskan bahwa ada sekelompok manusia yang berniat bekerja dan belajar bersama orang kecil dan membuat perubahan-perubahan sederhana namun bermakna. Kisahnya sangat kecil kemungkinan untuk dikabarkan jika mengharapkan media massa untuk melakukannya. Media cenderung mengangkat berita bencana ketika telah terjadi dan membawa korban–istilah buku ini “paradigma keperistiwaan”, bukan menyorot cerita sukses pencegahan dan pembangunan pola pikir baru berdasarkan kearifan masyarakat.

Kedua, peran negara dan birokrasinya yang sangat rumit menjadi kendala dan tantangan tersendiri bagi para hero dalam buku ini. Menyoroti ini, tiga hal penting yang bisa dicatat dalam buku ini, yakni kapasitas negara (pemerintah) yang tidak mengenal dan memahami wilayahnya, paradigma proyek pemerintah dalam menjalankan tugas, dan kesan lepas tangan dari masalah bencana pasca-proyek, dan tentu saja birokrasi berbelit.

Cerita di Sinjai dan Maluku Tenggara mungkin bisa mewakili catatan pertama. Tahun 1980-an, pemerintah mencanangkan program berlabel “Sejuta Pinus” di Kompang, Sinjai, daerah yang berkemiringan ekstrem. Bagi pemerintah, program ini bisa berarti sebagai upaya pemberdayaan lahan yang ditinggalkan warga akibat pemindahan paksa ke tepi jalan untuk kepentingan strategis pengawasan militer pada masa DI-TII. Selain itu, tentu saja getah pinus merupakan komoditas berharga bagi pengusaha karet nasional kroni Orde Baru masa itu. Namun demikian, dampaknya baru terasa sejalan 20 tahun program tersebut ketika daerah Kompang yang tingkat kemiringannya tinggi tersebut menjadi neraka akibat longsor pada tahun 2006 silam.

Membandingkan ide “Sejuta Pinus” pemerintah dan argumen orang kecil seperti Pak Asikin Pella, tampak tidak fair. Meski demikian, ada logika lain yang terbangun dalam ucapan Pak Asikin, bahwa sesungguhnya pohon pinus merupakan tumbuhan yang bisa merubah siklus air dikarenakan struktur akar tunggangnya yang menancap ke tanah. “Dengan begitu, tanah menyerap air, yang dengan demikian sewaktu-waktu air tertampung banyak sehingga menyebabkan retak/pecahnya tanah,” begitu dalih Pak Asikin (hl. 66).

Di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara yang terbentuk dari pulau-pulau atol kini harus menghadapi ancaman kekurangan air bersih akibat pertumbuhan populasi dan permukiman berikut semakin dibukanya lahan hutan. Sementara itu, pemerintah meresponnya dengan mengirimkan bibit jati putih yang merupakan tanaman penyerap air yang banyak. Blunder pemerintah ini bisa saja menspekulasikan berbagai motif, namun tetap perlu pembuktian lebih. Hal terpenting yang bisa dipetik dari cerita ini bahwa pemerintah masih saja angkuh dan merasa lebih mengerti seluruh dunia daripada orang-orang kecil yang bergulat dengan praktik kearifan lokal berbasis pengalaman puluhan hingga ratusan tahun di kesehariannya.

Kedua cerita di atas juga sekaligus ingin menunjukkan paradigma dan pendekatan penyelesaian masalah pemerintah dalam kebencanaan yang (masih) berpola proyek. Ketimbang memberdayakan masyarakat lokal dan memberikan dukungan bagi rencananya, pemerintah memilih menjalankan sendiri programnya.

Lelucon lebih parah terjadi di Bengkulu Utara ketika pada tahun 2011, Pemerintah Bengkulu membangun gudang logistik yang kemudian ditolak oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Penolakan itu didasarkan pada lokasi bangunan yang hanya berjarak seratus meter dari bibir pantai, pembangunan yang melanggar UU Pokok Kehutanan No. 41 tahun 1991 tentang sempadan pantai. Pembangunan gudang logistik di tepi pantai daerah yang rentan gempa dan tsunami benar-benar lelucon pemerintah dan hanya menampakkan ketidakseriusan negara dalam pencegahan bencana.

Kedua catatan tersebut menjadi semakin rumit jika dihadapkan pada persoalan birokrasi. Persoalan mutasi sebagai wajah baru birokrasi di Indonesia akibat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berimbas kepada pendekatan ‘dari-nol-lagi’ terhadap aparat pemangku kebijakan sebagaimana dikeluhkan oleh Fritz Elmas, Uly, dan Pak Nor di Maluku Tenggara. Pak Nor, aparat BPBD Maluku Tenggara, bahkan galau karena pengetahuan penangann dan pencegahan bencana akan ‘menguap’ begitu saja akibat mutasi.

Kegelisahan yang sama mungkin dirasakan juga oleh tim PRB Payo-Payo di Sinjai. Betapa tidak, berbagai kegiatan yang mereka lakukan haruslah mendapat izin atau paling tidak sepengetahuan para pengambil kebijakan Kabupaten Sinjai. Persoalannya adalah kesepahaman yang tidak pernah terjadi di antara mereka dikarenakan dua hal. Pertama, jarang hadirnya pihak pengambil kebijakan dalam setiap rangkaian kegiatan ataupun pertemuan PRB. Kedua, arogansi dan mentalitas feodal pihak pengambil kebijakan tersebut yang menolak mendapatkan wawasan dan ide segar dari generasi yang lebih muda. Buku ini mengutip kalimat ketus petinggi Pemda Sinjai bahwa “Dalam adat kita, seorang anak tidak pantas mengajari orangtuanya!”(hl. 54).

Meski demikian, harus diakui tetap saja ada orang-orang yang memiliki kepedulian di dalam lingkaran pemerintah dan birokrasinya yang serba berliku. Kita tentu tidak melupakan sosok Pak Nor, aparatur BPBD Maluku Tenggara, mantan staf Dinas Pekerjaan Umum, dan mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, yang sudah dibicarakan dari tadi. Di tanah yang sama, ada Pieter Elmas dan Edo Rahail yang mendukung penuh kegiatan dan usaha pencegahan dan penanganan bencana di Maluku Tenggara. Di Bengkulu Utara, ada Kardo Manurung, Kepala SMA 1 Lais, bersama guru-guru yang dinaunginya yang berjuang memasukkan unsur kebencanaan sebagai materi ajar muatan lokal di dalam kurikulum pendidikan sekolah di Bengkulu Utara. Kita tentu tidak melupakan kerja keras Pak Daming, Ibu Guru Anti, Pak Bahar, Kasim, dan yang lainnya di Sinjai.

Ketiga, hal terakhir yang ingin saya catat di sini adalah penegasan inisiatif dari bawah masih merupakan metode paling efektif dalam menggerakkan perubahan. Hal ini tentu saja berdasarkan pada gagasan sederhana: mereka yang bekerja lebih dekat dengan objek lebih memahami dan mengerti kebutuhan mereka untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Dengan sendirinya, akan terbentuk kearifan-kearifan berikut nilai dan pranata untuk menjamin kelangsungan kehidupan tersebut dan melindunginya dari ancaman.

Namun, tentu saja ada keserakahan manusia lain yang senantiasa mengincar. Apalagi yang melatarinya kalau bukan motivasi ekonomi. Dengan restu kekuasaan, maka atas nama perubahan, kemajuan, dan modernisasi, kearifan berikut sistem nilai dan pranatanya tersebut menjadi target untuk dimusnahkan.

Perubahan sejatinya lahir dari gerakan dan inisiatif sederhana berbasis kebutuhan masyarakat. Bukankah masyarakat yang merasakannya lebih mengerti kebutuhan sendiri?[]

Penulis:  Saharuddin Idris

Komentar

Postingan Populer