Media Menyintas dalam Isu Bencana

Penyebaran informasi terkait kerentanan dan kebencanaan merupakan satu unsur penting pengurangan risiko bencana. Namun, para pewarta harus berusaha sendiri menyusur ke lapangan karena sulit menembus ke pusat data pemerintah. Dengan begitu, para jurnalis harus bekerja keras sebagai pekerja dan, di sisi lain, tak jarang sebagai korban kala bencana terjadi.

Jurnalis Thailand, Darin Klong-ungkara melontarkan keluhan itu ketika menceritakan bagaimana ia dan rekan-rekannya harus bekerja keras mencari sendiri data seputar banjir yang melanda Bangkok pada 2011 lalu. Darin Klong-ungara menceritakan pengalamannya kala didaulat berbicara dalam side event AMCDRR V yang berlangsung di JEC, Yogyakarta, akhir Oktober 2012 lalu.

Darin Klong-ungara adalah editor berita di stasiun televisi Thai PBS. Ia bersama Seree Supratid (profesor manajemen bencana Universitas Rangsit, Thailand) mengudara setiap hari melaporkan perkembangan banjir yang terjadi selama musim lengas (muson) 2011 lalu. Air pasang ini mengharuskan pemerintah Thailand membangun tanggul di sekitar Sungai Chao Praya.

Darin memberi penegasan ulang tentang pentingnya kekuatan komunitas, senada dengan sejumlah pembicara di bagian lain seminar yang digelar sebagai rangkaian AMCDRR tahun ini. “Media sangat bergantung pada komunitas untuk mengatakan apa sebenarnya yang terjadi dan apa yang mereka alami,” simpul Darin.

Namun, Darin sendiri menimpali keluhannya dengan menuturkan pelajaran yang ia peroleh dari liputan maraton yang diasuhnya. Yang menarik, kata Darin, peran media pada kasus banjir di Negeri Gajah ini malah sebaliknya yang terjadi; media yang mendatangi komunitas-komunitas di Thailand kemudian menceritakan apa yang akan terjadi.


Yuli Ismartono [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Bagaimana dengan Indonesia? Soal ini, Wapimred Tempo, Yuli Ismartono yang angkat bicara. Yuli perempuan berambut pendek ini turut mengambil bagian dalam diskusi bertema peran media dalam pewartaan PRB, baik sebelum maupun sesudah bencana.

Ia menyebut bahwa kendala yang sama juga dialami rekan-rekannya. Jawaban seperti "sebentar ya, nanti telepon lagi" sudah biasa mereka dapatkan. “Dia mungkin pelajari dulu. Tapi, biasanya mereka (menghubungi) kembali. Kadang jawabannya kurang memuaskan,” ungkap Yuli, tertawa. Namun, kata Yuli, tidak semua pihak yang terkait bencana berlaku demikian. Ada juga yang membantu dan bahkan mengantar para wartawan untuk mencocokkan data di atas kertas dan data di lapangan. 

Tempo sendiri, berdasarkan pengakuan Yuli, tidak memberi perlakuan khusus pada berita seputar bencana. Namun, kalau menjadi perbincangan berkala, iya. Sebagai jurnalis, tentu tak ada alasan untuk menjadi "berat sebelah". Segalanya harus berangkat dari ketakberpihakan. “Paling tidak kita perlu tahu kendala pemerintah dan duduk perkara di bencana itu bagaimana? Apakah implementasi dan pendanaan sudah sampai ke masyarakat? Kita sebagai jurnalis, apalagi sebagai jurnalis investigatif, harus mendalami ada atau tidaknya dana untuk persiapan bencana. Kalau ada, ke mana dan diapakan saja?” papar Yuli.

Tantangan terberat media terletak pada tahap sebelum dan sesudah bencana. Dalam kesempatan yang sama, seorang pekerja televisi memberi tanggapan soal ini. Menurutnya, sungguh sulit menjual bencana bila awak rumah produksi televisi menjadikannya program. Pertimbangannya, bagaimana rating share. “Pendidikan? Nol koma dua ratingnya!” kata penyiar itu.

Ini senada penjelasan Yuli ke hadirin seminar bahwa media (swasta) selalu mengalami dilema. Di satu sisi bertanggung jawab untuk menyebarluaskan informasi ke masyarakat, di bagian lain menjaga agar tetap terbit dengan menghasilkan berita yang bisa dijual.

Yuli merupakan wartawan senior Tempo. Ia pernah bertugas di konflik Kamboja, perang saudara di Afghanistan, dan Perang Teluk I pada 1991. Baginya, kecamuk perang tempatnya bertugas justru lebih tak terduga. “Kalau bencana itu sudah terjadi, sudah jelas kita bisa ke mana. Ada panduan, ada pejabat. Tapi, kalau perang, perang saudara seperti kudeta, kita tidak tahu peluru datang dari mana,” ungkapnya, tertawa.

Hal yang sama juga dilontarkan jurnalis di Padang, Hendra Makmur. Sejatinya, kata dia, sifat liputan bencana serupa bila meliput di wilayah konflik. Maksud pernyataan Hendra tak lain wilayah bencana merupakan areal rawan, tempat wartawan bisa menerima kekerasan. “Kalau teman-teman menemui kendala di lapangan, yang sampai sekarang, Alhamdulillah belum terjadi, ini bisa jadi jaringan yang bagus untuk berbagi informasi,” kata Hendra, yang Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sumatera Barat ketika saya menemuinya pada 2010 lalu.
Hendra lalu menceritakan bagaimana para kuli tinta di Padang dan sekitarnya dalam tugas mereka mengalami kejadian serupa dengan para pengungsi ketika gempa mengguncang Padang 30 September 2009 silam. Hendra sendiri harus kerepotan mencuci popok anaknya, yang ketika itu, baru berusia satu bulan. Pasca gempa, warga Padang ambil air di sumur karena listrik mati total. Dia ingat betul bagaimana hal terbalik justru dialami ketika liputan tsunami Aceh 2004 lalu. “Dua minggu saya masih sangat kencang (mencari berita). Tapi di sini, begitu lima hari, saya telepon Jakarta ‘tolong gantikan saya. Saya nggak sanggup!’,” tutur wartawan Media Indonesia ini.
Lantaran itulah Yuli menyarankan agar media, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat lebih menguatkan komunikasi dan informasi terkait kebencanaan dan bagaimana seharusnya masyarakat mempersiapkan diri menghadapi bencana yang sewaktu-waktu bisa menimpa.
Yuli sadar benar bahwa berita penanganan sebelum bencana dianggap tidak menarik. Maka, ia menawarkan cara menulis berita yang tidak biasa dan menarik pembaca. Jalan keluar tawaran Yuli ini mempertimbangkan dua hal, memberi informasi serinci dan seluas-luasnya pada masyarakat, sekaligus menjadi penyintas dari bencana yang paling mereka hindari: tidak terbit lagi.[]

Komentar

Postingan Populer