Rewind – Makassar Nol Kilometer
(Catatan ini merupakan catatan Joeni Hartanto, kawan dari Yogyakarta, yang kebetulan mampir ke Kampung Buku ketika acara #Rewind digelar. Ia singgah menengok Isobel sebelum melanjutkan tugasnya ke beberapa daerah lagi. Saya mencomotnya dari note Facebook lelaki yang akrab dipanggil Mas Tanto ini.
Tulisannya sangat ekspresif. Saya yakin, Mas Tanto tak mau membiarkan kesannya tertimbun jeda atau tidur. Ia menyelesaikannya sepulang dari Kampung Buku. Saya hanya mengedit beberapa tanda baca saja untuk tidak menghilangkan esensi pikiran dan inti impresinya atas acara tersebut.)
Tulisannya sangat ekspresif. Saya yakin, Mas Tanto tak mau membiarkan kesannya tertimbun jeda atau tidur. Ia menyelesaikannya sepulang dari Kampung Buku. Saya hanya mengedit beberapa tanda baca saja untuk tidak menghilangkan esensi pikiran dan inti impresinya atas acara tersebut.)
Satu hal yang saya
rencanakan sebelum sampai Makassar, bertemu mengunjungi Bobel, ‘Bidadari’ Kampung Buku, yang suka sekali memberi makan kambing dengan sayur! Seperti sudah diatur,tanpa sengaja, tempat menginap saya hanya sepelemparan batu dari Kampung
Buku, Komunitas Ininnawa. Setelah siang sampai lepas maghrib berkutat dengan interview, sambil melepas kepenatan terlalu lama duduk, berjalan-jalan
mungkin akan sangat menyenangkan meskipun tentu Anda tahu bagaimana
kondisi lalu lintas di Makassar; sangat ramai dan jalanan berdebu saat tidak
turun hujan.
“Keluar hotel, belok
kanan, terus saja sampai mentok, ada jembatan belok kanan lagi,..sudah sampai,
dekat Kantor Kelurahan Pandang. Jika naik taxi, argo belum bergerak sudah sampai!” petunjuk dari SMS kawan Ishak.
Berjalan di tepian jalan tanpa trotoar, sedikit mengerikan karena memang jalan beton baru dibangun
dan tidak banyak menyisakan orang berjalan kaki dengan nyaman. Mendekati
tujuan, terlihat banyak motor parkir, kalangan muda berdiri, terdengar juga celotehan orang bercerita dari pengeras suara.
Terlintas dalam pikiran, mungkin rumah buku sedang ada acara. Kebetulan sekali!
REWIND!
Sebuah acara yang diprakarsai oleh kawan-kawan Makasar 0 Kilometer sedang
berlangsung di Kampung Buku. Berhenti, berdiri beberapa saat di antara kerumunan penonton, melihat dan
mengamati sebelum menjumpai tuan rumah, keluarga Bobel, bidadari Kampung Buku. Judul acaranya
provokatif.
Memutar ulang? Apa yang diputar ulang? Inspiratif.
Saya mulai paham apa yang dimaksud REWIND,
memutar kembali pita-pita kaset koleksi dari generasi "para tetua"
didengarkan bersama sambil menceritakan koleksi pita kasetnya yang berupa
lagu-lagu original dari zamannya pada generasi di bawahnya yang hanya mengenal cakram digital
hasil rekaman digital abad 21. Ada yang membawa koleksi Kaset Beatles,
Scorpion, Rick Springfield dan mungkin juga KoesPlus. Mereka bercerita
bagaimana mendapatkannya, kenapa mengkoleksinya, latar belakang lagu dan kontek syairnya, dan saat
didengarkan pita kaset, terdengar dan terasakan seolah lagu tersebut hidup
lagi,
dan bisa menyentuh
gerak hati mereka atas lagu yang diputar. Saya rasakan itu. Mungkin demikian juga yang lainnya. Ada apa
ini? Apakah "jiwa" pemusik dan musiknya
terbawa oleh pita kaset? Sangat menarik! apakah lagu-lagu yang direkam
secara digital dengan puluhan track di studio bisa menimbulkan efek imagi
mendalam seperti itu? Mungkin!
Terkejut ketika saya menyeruak menyalami Jimpe, Hepi, temanten baru, istri Imran. Terkejut karena saya muncul tanpa diundang!
Aiiih
Si Bobel muncul dari pintu dengan matanya yang
bundar melebar berkaos pink, berbando pink, pun membawa boneka berwarna pink
pula! Memangkunya, mencowel pipinya yang mbakpauw melepas kangen setelah terakhir
bertemu beberapa bulan lalu di Pakem. Kemajuan Bobel sudah mulai bawa buku cerita ke mana-mana, ngoceh
sambil buka-buka buku bercerita tentang gambar-gambar yang ada di bukunya. Anggota termuda Kampung Buku mulai cinta buku! Terus ya, Bel! Asiik, nanti kalau sudah bisa menulis, belajar nulis cerita!
Sederhana, dari sebuah ide simple tapi bukan sederhana
diimplementasikan langsung dalam tindakan nyata dari Komunitas Makassar 0 Kilometer. Mereka berkumpul bersama untuk saling menambah
wawasan, mengembangkan sebuah ide, mengumpulkan banyak orang untuk menciptakan
momen kebersamaan, juga mempromosikan ide-ide kepada yang lain di kegiatan berikutnya. Buku-buku dipajang
dijajakan untuk dijual, beralaskan karpet plastik; hasil rajutan dari kelompok QuiQui dipamerkan dan dijual untuk mengumpulkan dana kegiatan di
bulan Juni 2013:
BOM QUIQUI di Fort
Rotterdam! Siapa mau ikut? Siapa mau menyumbang? Silakan langsung ke Kampung Buku!
Bidadari
Kampung buku tampak mengekor mengikuti ayahnya membawa layar projector untuk
memutar film dokumenter SOUND CITY. Pemutaran film inilah yang semakin membantu
pemahaman saya tentang apa maksud REWIND! Kenapa memperkenalkan kembali pita
kaset dengan perekaman manual? Apa yang sebenarnya tujuan dari kegiatan kawan-kawan
Makassar 0 Kilometer? Semoga saya tidak salah menafsirkannya hehehe…
Film
SOUND CITY adalah film dokumenter yang mengisahkan tentang studio rekaman bernama SOUND CITY di San Fernando Valley, yang
terletak di tengah-tengah deretan gudang bobrok. Studio rekaman yang memiliki konsol
rekaman custom yang pada awalnya memiliki reputasi sangat bagus untuk perekaman
alat musik drum.
Beberapa group rock ternama misalnya Fleetwood Mac, Neil
Young, Rick Springfield, Tom Petty, Kyuss, Slipknot dan Nirvana merekam lagu-lagu terpopulernya di
studio ini secara manual, sebuah versi "live" direkam secara manual
di studio. Langsung apa adanya, suara berasal alat musik pemusik tanpa melalui
proses "olah suara dan efek studio digital", murni keterampilan pemusik, demikian juga vocalnya.
Penguasaan, kepiawaian mengeluarkan bunyi dari alat musiknya murni
dari si pemusik, demikian pula vocal penyanyinya, dan memang dimainkan live.
Tidak seperti studio rekaman digital beberapa tahun belakangan ini, yang serba digital, puluhan track digunakan, pengisian
musik bisa satu per satu, efek suara bahkan kekeliruan pun bisa "diperbaiki" dengan sistem
perekaman digital. Suara "pas-pas-an", penguasaan alat musik
secukupnya
pun bisa diolah
menjadi wah di studio rekaman digital. Skill dan kapasitas "bermusik"
bisa diperbaiki di perekaman digital, sangat berbeda ketika perekaman manual
yang memerlukan skill dan kapasitas bermusik, soliditas yang mumpuni untuk bisa
menghasilkan rekaman musik yang bagus! Digitalisasi perekaman memang
memudahkan, dan bisa menghasilkan musik yang berkualitas meskipun pemusik dan
penyanyinya pas-pasan, karena apa yang dihasilkan bisa dimanipulasi dan diolah
kembali sampai mendapatkan kualitas yang baik, meski ‘pemainnya’ relatif tidak berkualitas.
Boy
band, Girls band pun sekarang bisa menelorkan album yang
"berkualitas" meskipun kenyataanya kemampuannya sangat minim, walau tidak live show mereka bisa terkenal karena
hasil rekaman. Live show ketika sudah terkenal dan hasilnya kebanyakan sangat
berbeda! Itulah sebenarnya kemampuan mereka!
akhirnya lip-sync jalan keluarnya. Beda dengan group-group musik/penyanyi
di era perekaman manual, kualitas dan kapasitas pemusiknya memang nyata tanpa rekayasa
mereka sudah terkenal dulu di panggung, baru kemudian merekamnya secara manual
"liveshow" di studio! Bukan rekayasa!
Musik
adalah rasa, musik adalah jiwa dari pemusik atau pelantun lagu. Dengan liveshow
"kejiwaan" pemusik/pelantun bisa terasakan oleh pendengar, dan
tergerakan untuk merasai sebagaimana yang dirasakan oleh pemusik atau pelantun
nyanyian. Ada jiwa, rasa yang terinteraksi diantara penonton dan pemain! Metode
perekaman "liveshow" manual bisa mewadahinya! Sehingga meskipun kita
mendengarkan hasil rekamnnya kita masih merasakan hingar bingar kejiwaaan musik
yang kita dengarkan seolah kita menonton langsung. Apakah rekaman digitalisasi
tidak bisa menghasilkan atmosfer seperti rekaman manual? Tentu bisa, tapi memang dibutuhkan seorang
pemusik dan pelantun yang memang benar-benar mumpuni dan memiliki kualitas dan
kemampuan yang tinggi, bukan karbitan atau instan. Salah satu yang saya ketahui,
beberapa pemusik jazz masih melakukan perekaman
"liveshow" manual karena memang Jazz penuh improvisasi, setiap performance selalu
tidak sama improvisasi dan jiwanya.
Modernitas
bukan suatu yang instan, tetap kemampuan dan kapasitas prima yang menjadi modal
utama. Digital era memang memberikan kemudahan, tapi bukan karena kemudahan itu
kita melupakan kualitas, hanya karena segala sesuatunya bisa direkayasa menjadi
kelihatan "berkualitas". Jangan heran jika anda saat ini mendengarkan
Ebiet, Koesplus, Godbless atau group musik "kuno" Indonesia lainnya
masih tetap menghipnotis "jiwa" meskipun didengarkan dari MP3 player
oleh generasi yang tidak pernah melihat aksi
panggungnya.
Sangat berbeda group-group
musik instan yang menjadi terkenal karena CD digital recordingnya. Sesuatu yang
"instan" biasanya tidak akan berumur panjang. Lagu dan musik yang tercipta seringkali tidak bisa membawakan jiwa pemusik atau
pelantunnya.
Apalagi jika hanya
direkam di ratusan track digital yang disatukan/mixdown! Tidak berjiwa!
Terima kasih Bobel, rasa kangen terpuaskan. Pun Om Tanto bisa menikmati REWIND di Kampung
Buku.
Panakukang-Makassar, 13 April 2013
Acara yang seru ya. Jadi ingat, dulu saya pernah suka Jon Bon Jovi tapi itu dulu sekali waktu masih SMP. Sekarang tidak lagi, saya leih suka nasyid sekarang :)
BalasHapusBobel lucu ya dan ngangeni. Kelak pasti jadi gadis yang cantik dan supel. Salam buat Bobel. Aih tapi pasti Bobel lupa mi sama tante Niar, baru sekali ketemu :)
alhamdulillah, bu niar! teman-teman juga kelihatannya nikmati acaranya. apalagi memang dilaksanakan bareng. kapan ke kampung buku lagi? ayo dong ketemu teman-teman :)
BalasHapus