Romo Budhi, Tugas Sosial & Agama di Tengah Komunitas


Komunitas merupakan fondasi utama warga menanggulangi risiko bencana. Begitulah cara berpikir Romo St. Budhi Prayitno, Pr, Ketua Karitas Purwokerto, ketika memulai kerja-kerja pengurangan risiko bencana (PRB) di wilayah kepastoralannya.
Romo St. Budhi Prayitno, Pr [Foto: Armin Hari]
Bekerja di tengah komunitas bukan hal baru bagi lelaki berpanggilan akrab Romo Budhi ini. Tahun 1986, ia resmi menjadi pastor di Kalimantan Barat sekaligus melayani umat dari para transmigran Jawa. Selesai di Kalimantan, ia ke Jakarta mengurus para pelaut asing yang mendarat di kawasan Tanjung Priuk. Sepulang dari Belanda menyelesaikan karya pastoralnya, ia dikirim lagi. Kali ini ke Purwokerto.

Di Purwokerto (1993-1994), Romo Budhi bertugas membina satu daerah kecil. Pelan tapi pasti, daerah tempatannya lalu menjadi paroki. Namun, titik balik ketika lelaki kelahiran 23 Maret 1958 ini bekerja di kawasan Pangandaran tersapu tsunami pada 2006. "Dari situ saya mulai mengorganisasi tanggap darurat,” jelas Romo Budhi, di sela-sela kepesertaannya di AMCDRR V 2012.


Meski mengaku tahun 2006 belum punya data memadai, Romo Budhi dipercaya mengelola program penanganan kebencanaan. Uskup tempat bernaungnya mendirikan Caritas Purwokerto dan meminta Romo Budhi untuk memegang kendali. Selama itu pula lelaki berkumis ini mendapat kesempatan belajar dari Karina dan jaringannya, mulai dari manajemen komunitas sampai manajemen keuangan.

Sekisar setahun kemudian ia bergerak tanpa bekal pengetahuan PRB yang mendalam. Sementara pula, wilayah kepastorannya mendapat banyak bencana. Romo Budhi dan rekan-rekannya turut menyalurkan bantuan. Pada 2008, ia dan tim mendapat bimbingan Karina Sarikel Yogyakarta dan LSM lain terkait PRB. 

“Kami mengadakan kajian organisasi untuk tahu sampai di mana pengetahuan kami. Ternyata, kami belum tahu apa-apa!” kata Romo Budhi, tertawa. Cara pandang Romo Budhi dan tim kerja berubah ketika mendapat pelatihan yang memberi metode pengurangan risiko bencana yang dimanajemeni masyarakat. Seusai pelatihan, Romo Budhi dan tim memfokuskan kegiatan-kegiatannya pada titik ini.

“Komunitas yang menjadi aset investasi penanggulangan risiko bencana. Kami hanya fasilitator. Segala-galanya berfokus pada komunitas. Karena komunitas inilah modal untuk keberlanjutan. Hingga mereka sendiri melakukan kajian, membuat rekomendasi untuk kontijensi, rekomendasi untuk pembangunan yang terhubung DRR,” terang lelaki berperawakan kecil ini.

Bagaimana cara dan bentuknya? Romo Budhi menjelaskan, menempatkan diri semata sebagai pendamping, ia bersama tim mengajak warga menganalisis ancaman, kerentanan, dan kapasitas warga sendiri, sampai diajak menganalisis risiko bencana, dan membuat rekomendasi, hingga kemudian membentuk kelompok atau organisasi masyarakat. "Kalau sudah ada di kelurahan ya tidak perlu. Tapi, kalau memang tidak, kita bentuk. Dengan begitu, ada kelompok yang sungguh-sungguh bertanggung jawab pada rekomendasi yang telah mereka buat sendiri,” terang Romo Budhi.

Wilayah Caritas Purwokerto meliputi Kabupaten Brebes, Purworejo, Banjarnegara, Batang, Purwokerto, Cilacap, dan Pekalongan, yang terkena tanah longsor, tsunami, banjir, penyakit di perkotaan. Dalam perkiraan Romo Budhi, pendampingan ini berlangsung pada dua belas lokasi dengan rata-rata dihuni 250 kepala keluarga. Tantangan merupakan bagian dari kerja. Demikian pula dengan apa yang selama ini digeluti Romo Budhi. Tantangan itu datang dari jarak wilayah dampingan sampai tantangan dari masyarakat sendiri, termasuk anggapan berlangsungnya kristenisasi. Untungnya, Romo Budhi dan rekan-rekan mengenal baik tokoh-tokoh setempat dan tokoh agama melalui pendekatan yang ia lakukan sebelumnya.

Romo Budhi dan tim mengajak beberapa orang, termasuk seorang pejabat kepala urusan agama di satu desa untuk ikut pelatihan pendampingan. Karena itu, Romo Budhi mengaku, hubungannya selama ini terjalin baik dengan beberapa kalangan seperti Nahdlatul Ulama (NU), guru-guru Muhammadiyah, dan pihak pesantren. “Kami sampaikan bahwa kita tidak membawa barang langsung. Kalau pun tidak bisa masuk, kita serahkan ke majelis taklim setempat. Kami datang tidak berbicara agama. Kami bicara soal manusia. Prinsipnya itu!” begitu Romo Budhi, menekankan.

Namun, catatan penting untuk digarisbawahi, kata Romo Budhi, ia bersama tim bukan belanja di kota lalu datang membawa bantuan. “Kami tidak datang membawa mi instan atau susu kemasan. Anak-anak setempat akan terbiasa. Kalau kita sudah pergi, terus mereka mau dan sudah tidak ada, bagaimana? Itu namanya bencana kedua!”

Tugas sosial dan keagamaan merupakan dasar gerak Romo Budhi. Ia melakukan berdasarkan keputusan Gereja sekisar tahun 1965 bahwa keprihatinan masyarakat sekitar menjadi keprihatinan kalangan Gereja juga. Masyarakat akan kehilangan jati dirinya bila bencana terjadi. Makanya, semisal, soal pendidikan dan pembinaan iman umat dianggap sama pentingnya dengan membela hak-hak masyarakat. Tidak ada yang menjadi prioritas.

Keberhasilan kerja-kerja Caritas Purwokerto tidak terlepas dari peran lima sukarelawan dan dua puluh tujuh "sahabat", orang tempatan yang mendapat pendidikan kebencanaan. “Bagaimana menguatkan mereka supaya bisa merancang sampai mengevaluasi, yang bisa mengubah paradigma dan menjadi seseorang yang bisa bertanggung jawab. Sehingga ketika kita keluar dan melupakan kita, ya kita malah senang. Tapi, kalau masih tanya kita, berarti kita gagal,” jelas Romo Budhi, enteng.

Kegagalan pendampingan bisa terjadi bila masyarakat hanya bisa menganalisis dan mengerjakan, sementara kebijakan masih dipegang organisasi, bukan masyarakat. Untuk bisa sampai di titik ini, Romo Budhi mengungkapkan, komunitas dampingan harus mengubah paradigma bahwa dasar pembuatan proposal hanya menjadi dasar kerjasama—bukan untuk "mencari" uang—karena proposal menjadi "alat/sarana" untuk mengatasi masalah.

“Kita datang bertemu orang lokal dan mengajari assessment, menyusun laporan situasi, dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Di mana bisa didapat? Kalau di tempat itu bisa didapat, ya kita serahkan duit saja. Laporan kita ajarin. Jadi kita datang bukan dengan paket yang banyak. Mereka yang menyiapkan paket. Memandang mereka sebagai ‘korban’ bencana perlu kita ubah. Mereka adalah orang-orang yang berjuang mendapatkan hak hidup hak makan. Kalau mereka berjuang, kita akan menjadi saudara dan kawan dia!” jelas Romo Budhi.

Untuk mengokohkan komunitas itu pula, maka Romo Budhi menyarankan agar pemerintah desa mengakui keberadaan kelompok masyarakat ini. Dengan begitu, pemerintah desa bisa menyediakan anggaran pengurangan risiko bencana.[]

Komentar

  1. Keep up the great work Romo Budhi....Tuhan akan selalu menyertai pekerjaan Romo..

    Julias A Komala

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer