Dua Hari Setelah Buka Sasi Ikan Lompa

Bagaimana sebuah komunitas menghadapi hal-hal dari luar mereka?

SEBAB keasyikan mendengar lagu-lagu Maluku yang mereka nyanyikan sambil menari semalam suntuk, orang-orang di aula Tanjung Totu Resort, Haruku, Maluku, mengabaikan suara keras berbahasa setempat yang saling bersahut dari bawah bukit, dari arah pantai. Mereka mengira itu percakapan biasa dan sebentar saja akan hilang. Nyatanya belum berhenti juga. Suara-suara keras itu ternyata saling timpal para pengelola Tanjung Totu Resort dengan seseorang yang mereka larang melempar bom ikan di kawasan tanjung, di Selat Haruku.

Orang-orang yang menegur pengebom ikan itu adalah beberapa kerabat dan keluarga Eliza Keissya, nama kepala kewang (polisi adat) Haruku, Maluku. “Orangnya saya kenal baik. Itu dulu yang pernah kita kasih kambing agar tidak membom ikan lagi. Saya bilang ke dia, kami tidak mempermasalahkan kalau Anda pakai jaring. Tapi kalau pakai bom, itu merusak karang. Alasannya pakai bom ikan karena dia ada hajatan,” kata Si Penegur.
Tanda buka sasi lompa di baileo kewang. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Kejadian itu hanya dua hari setelah upacara buka sasi ikan lompa di muara Sungai Leirissa Kayeli pada 23 November lalu. Pulau Haruku sejak lama terkenal karena sasi lompa, nama setempat untuk sejenis ikan sarden kecil atau ikan tembang. Sejak abad ke-17 warga pulau ini melaksanakan sasi, larangan mengambil sesuatu dari alam dalam waktu tertentu. 

Hari itu, ketika buka sasi digelar, seribuan orang memadati Sungai Leirissa Kayeli yang mencapai surut terendahnya. Airnya hanya dari sebetis sampai selutut. Tua muda dan anak-anak berkumpul di badan sungai menantikan seberapa banyak ikan lompa kali ini. Inilah upacara yang menarik orang datang ke pulau berjarak sekisar 8 mil laut di timur Pulau Ambon ini. Bahkan sehari sebelum dibuka, dalam sebuah acara formal, warga menderetkan meja sepanjang 150 meter untuk jamuan ‘makan patita’, dimulai dari Benteng Neuiw Zeelandia sampai sekisar rumah Kewang.
Meja perjamuan sehari sebelum buka sasi. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Rangkaian ritual ini konon masuk dalam kalender tahunan pemerintah setempat. Hanya saja, beberapa orang menyatakan kecewa pada pelaksanaan upacara yang melibatkan ratusan orang dan berbiaya ratusan juta rupiah itu. Apa sebab? Hasil sasi lompa tahun ini rupanya tidak sebanyak yang diperkirakan.

Seorang warga mengatakan, “Ada pantangan yang kita lakukan. Mungkin ada anggota keluarga yang ‘bertengkar’.” Ini dikuatkan oleh sebuah kabar bahwa kala pembakaran lobe (obor daun kelapa) dini hari 23 November hanya 25 orang anggota kewang yang hadir. Masih ada sepuluhan anggota korps kewang yang absen. 

Tapi ada alasan yang terkesan lebih kuat. Itu datang dari Kepala Kewang, Eliza Kissya, sendiri. Menurut lelaki berusia 60-an tahun ini, sebenarrnya pelaksanaan ritual buka sasi ikan lompa ini terlambat. “Seharusnya berlangsung pas 15 Oktober. Waktu itu ikan sudah banyak sekali masuk sungai,” kata Om Eli, panggilan akrab lelaki berjanggut itu.

“Tapi itu terlambat karena mereka menunggu dana dari pemerintah yang baru turun tidak lama sebelum buka sasi lompa. Makanya saya malas sebenarnya ke sana,” terang Clifford, salah seorang putra Eliza Kissya.
Mama-mama membawa kain gandong dan bernyanyi dalam acara jelang buka sasi. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
KUNJUNGAN saya ke Haruku merupakan kunjungan kedua dalam tiga bulan terakhir. Pandangan pertama saya pada Haruku membuat saya jatuh hati. Kedatangan pertama saya bersama Andy Seno Aji dalam perjalanan Ekspedisi Cengkeh September lalu. Kala itu kami menginap di rumah kewang, di bagian muara Sungai Leirissa Kayeli. Rumah itu tampak menarik karena beberapa hal ada di sana seperti perpustakaan, penangkaran burung maleo, dan tentu saja Sang Kepala Kewang sendiri sebagai penjaga sejumlah peraturan adat.

Kedatangan kali ini, di akhir November, untuk leha-leha saja. Cenderungnya mengunjungi Om Eli sekeluarga saja. Om Eli-Tante Liz, anak dan cucunya adalah keluarga mengesankan. Saya sering berbincang dengan Cliff, anak sulungnya. Dia kawan yang hangat, kendati kesan yang dia tampakkan amat kalem. Saya tertarik pada sudut pandang Cliff mengenai banyak hal, termasuk bagaimana hidup yang bersahaja. Sekali waktu ia tunjukkan kegeramannya soal gagal berkuliah gara-gara harga cengkeh jatuh pada tahun 1992 sebab BPPC berkuasa penuh atas hasil panen petani cengkeh. Dari lelaki berkumis ini pula saya banyak mengenal keseharian orang-orang Haruku.

Saya datang berbekal banyak pakaian, terutama berpatokan musim hujan di Makassar. Saya membawa tas lima—tiga di antaranya tas keperluan Isobel, putri saya. Ganti pakaian untuknya bisa sampai 3-4 kali sehari. Kami tidur, makan, berenang, serta bernyanyi dan menari di Tanjung Totu Resort, nama kawasan yang mereka kelola sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebelum 2005, kawasan tanjung itu hanya sehamparan lahan berbatu karang. Kini tempat itu pelan-pelan menghijau dan menjadi bagian penting kelangsungan komunitas penjaga lingkungan pulau itu.

Cuaca cerah sesampai kami di sana. Langit biru muda. Awan bagai gumpalan kapas berhamburan. Selat Haruku seperti baru diaspal—tak ada ombak tinggi dan speedboat bisa melesat kencang tanpa guncangan.

Tapi bukan itu jadi perhatian Isobel. Ia malah merengek meminta bertemu Opa Eli, lelaki berjanggut panjang yang bernyanyi dan memetik ukulele dalam video Ekspedisi Cengkeh yang ditontonnya tiga kali. Saya membujuknya untuk bersabar karena masa-masa menjelang buka sasi Om Eli pasti masih sibuk. Untung perhatiannya teralih oleh Vicko, anak lelaki Cliff yang menemaninya sesekali bermain.

Tiga hari pertama kami kegerahan. Isobel minta mandi sampai tiga kali, seperti minum obat: pagi, siang, dan sore. Saya jadi lumayan kerepotan. Baru pertama saya bepergian berdua. Pengalaman ini juga membuat saya mengerti bagaimana repotnya mengurus seorang anak—ini pun sebatas memberi makan, memandikan, memberi pakaian, dan mengurus tidurnya. 

Sebenarnya, dalam perjalanan rangkaian Ekspedisi Cengkeh, saya pernah mendengar langsung dari seorang tetuah di Nusa Laut, pulau di tenggara Haruku, bahwa kemarau di Maluku baru datang pada November dan Desember, ketika Indonesia Tengah dan Barat sedang menyambut musim hujan. Ini dikuatkan lagi oleh Clifford pada hari pertama kedatangan saya kalau musim sekarang adalah musim kering. Ya, beginilah takdir orang yang tak mudah percaya, sampai bukti-bukti datang ke hadapannya sendiri.
Warga berkumpul di Sungai Leirissa Kayeli begitu resmi buka sasi lompa. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
NAMA Haruku cukup memancar ke berbagai penjuru tempat. Tahun 1985 pulau itu mendapat Kalpataru terkait penyelamatan lingkungan hidup. Tahun 1999 negeri itu Satya Lencana Pembangunan Lingkungan Hidup dari Pemerintah RI. Pada 2010 Eliza Kissya mendapat Coastal National Award dari Kantor Menteri Perikanan dan Kelautan.

Tapi, seperti yang dikatakan banyak orang Haruku, penghargaan semacam itu tidak bisa menghambat perusak-perusak yang datang ke sekitar kawasan itu.

“Kita larang malah balasannya sering lebih tidak enak. Mau marah, ya takutnya jadinya macam-macam. Kami semua trauma dengan konflik 1999 lalu. Ya… kalau sudah begitu, kita hanya bisa mengurut dada,” kata Si Penegur.[]


Komentar

Postingan Populer