Dua Buku Petualangan Terpuji Tahun 2013
Geography of
Bliss
Banyak buku tebal tentang perjalanan ke banyak negara. Tapi karya Eric Weiner ini agaknya bukan semacam itu. Ia menawarkan
sudut pandang menarik, yaitu sudut pandang penggerutu. Silakan baca. Jangan lupa
pertanyaan selera humor saya karena menyukai buku ini.
Tuan Weiner seorang jurnalis yang menulis 10 bab.
Setiap bab membahas negara. Ia warga negara Amerika Serikat, yang berangkat ke
Belanda membuktikan bahwa indeks kebahagiaan itu goyah oleh gerutuhan khasnya
yang unik. Sepenuhnya memang ia meracau ala pelancong yang terkena gegar budaya
(shock culture), omelan sebagaimana sering
kita dengar dari mulut para turis luar negeri atau para penerima beasiswa luar
negeri yang meneliti di Indonesia.
Tapi dari jalinan dan benturan antara hal-hal ideal
dalam pikirannya dengan kenyataan di perjalanan memicu pertanyaan dan
memunculkan pernyataan—sebagian besar sangat menghibur. Bahkan saya kadang
membayangkan, dia sebenarnya seorang komedian. Bisa jadi dia sangat meyakini,
apa yang dikatakan Henry Miller, “Tujuan tidak pernah menjadi tujuan seseorang,
tapi tujuannya adalah suatu cara baru melihat hal-hal”.
Perjalanan pertama Weiner ke Belanda. Ia menemui Ruut Veenhoven,
profesor peneliti kebahagiaan, sambil menebak apa gerangan yang membuat negeri itu dianggap sebagai negara yang membahagiakan. Riset Veenhoven menyebut bahwa orang
yang toleran cenderung bahagia.
Di Belanda, Weiner mendapati bahwa toleransi itu
berkaitan dengan tiga kata kunci: narkoba, prostitusi, dan bersepeda, tiga
aktivitas legal di Negeri Kincir Angin. Ketiganya pula dapat menyebabkan
kebahagiaan, dengan syarat dilakukan tindakan pencegahan tertentu. Memakai helm sebisanya ketika bersepeda, misalnya. (hal. 44)
Tapi ia gugurkan ‘bersepeda’ karena cuaca dingin yang menyelimuti negeri tersebut saban waktu.
Prostitusi juga ia coret. Meski bisa membahagiakan sebagian orang dan dilakukan
tanpa tergantung cuaca, “Tetapi bagaimana dengan istri saya?” tanyanya. (hal.
45) Narkoba? Itu sesuatu yang disediakan di kedai kopi. Namun berdasarkan
penelitian 1995, pengguna narkoba cenderung mengurangi kebahagiaan dari waktu
ke waktu. (hal. 49). Jadi apa dong?
Weiner datang lagi ke Veenhoven. “Anda pasti mempunyai
keyakinan yang mantap pada kapasitas manusia untuk kebahagiaan?” tanyanya.
“Tidak, tidak juga,” jawab Veenhoven, “ya, tapi tidak
penting bagi saya apakah orang bahagia atau tidak, selama sebagian orang
bahagia daripada orang lain. Saya masih dapat mengolah angka,” sambungnya. (hal.
50)
Veenhoven, demikian kemudian Weiner menyadari, bukan seorang pemain
dalam permainan kebahagiaan; dia adalah seorang wasit, yang menjaga skor. Tidak
penting baginya siapa yang memenangi pertandingan. Kebahagiaan atau kemurungan,
semuanya sama. Selama salah satu pihak menang. Di dunia Veenhoven, kebahagiaan
direduksi menjadi statistik saja, data dibagi, dipotong-potong, diceraikan, di
komputer dan direduksi menjadi lembar data. ”Dan saya tidak dapat berpikir lagi
apa saja yang kurang bahagia daripada sebuah lembar data,” kata Weiner. (hal.
51)
Weiner lalu ke Swiss, negara dengan tipikal masyarakat
yang benci mengobrolkan uang. “Mereka hanya menggosokkan jemarinya bersama
untuk mengisyaratkan mereka sedang berbicara tentang uang,” kata Weiner, yang
merasa hal itu ganjil lantaran ekonomi Swiss berdasarkan pada jasa perbankan. Tapi
orang Swiss tahu bahwa, uang lebih dari segalanya, memicu rasa iri—musuh besar
kebahagiaan. “Sikap kami, tidak menyorotkan lampu sorot terlalu terang pada
diri Anda sendiri agar tidak kepanasan,” kata seorang warga. (hal. 60)
Rupanya, resep bahagia orang Swiss terletak pada
hubungan yang sangat dalam dengan alam. (hal. 64) Weiner teringat, tersebut
pada 1984 seorang psikolog bernama Roger Ulrich mempelajari pasien yang sedang
dalam masa penyembuhan di rumah sakit di Pennsylvania. Beberapa pasien ditempatkan
di kamar yang menghadap pepohonan kecil pantai di musim gugur. Beberapa pasien
lainnya ditempatkan di kamar yang menghadap dinding bata. “Pasien dengan
pemandangan jendela alam menginap di rumah sakit lebih singkat pasca operasi,
mempunya lebih sedikit komentar negatif dalam catatan perawat… selanjutnya,
pasien yang ditempatkan di ruangan yang menghadap dinding bata memerlukan lebih
banyak suntikan penghilang rasa sakit.” (hal. 66)
Cara bercerita dan sudut pandang Eric Weiner seperti
itulah menghiasi buku tebal ini dan membuatnya terus segar untuk disimak.
***
Ring of Fire
Membaca buku ini
awalnya hanya untuk pembekalan menjelang berangkat untuk penyusunan Ekspedisi Cengkeh (Ininnawa-Layar
Nusa, 2013). Tapi ia menambat hati saya dengan narasi yang menarik dari dua
bersaudara, Lawrence Blair & Lorne Blair. Keduanya ke Indonesia untuk
mendokumentasikan wilayah Cincin Api Pasifik—berbeda dengan Eric Weiner, yang
sepanjang perjalanan menggerutu—mereka terasa
‘memasrahkan diri’ dengan arus perjalanan dan manusia yang ditemuinya.
Dengan jelas kemudian mereka mengalimatkan ‘kepasrahan’
itu, seperti “… Terisolasi untuk waktu lama di antara suku-suku yang belum
banyak diketahui, satu-satunya pertahanan kami adalah sebentuk terapi
perjumpaan, kepasrahan sepenuhnya terhadap cara tuan rumah kami menjadi dan
melihat… Menjadi dua orang dari pihak minoritas yang sangat mencolok dalam
masyarakat yang sering kali sebanding tingkat keekspresifan dan
antagonistiknya.” (hal. 59).
Ada sepuluh bab juga di buku itu. Setelah dua bagian menggambarkan
perjalanan dan pandangan mereka tentang Indonesia, tualang mereka yang berbekal
6.000 meter stok film dan sisa 2.000 poundsterling pemberian Ringo Starr pun dimulai
dari Celebes, pulau “yang sedemikian kompleks bagi para navigator Eropa zaman dahulu
sehingga mereka menganggapnya sebagai sekumpulan pulau terpisah” dan “wilayah
suku pelaut beringas yang merupakan penghambat tangguh bagi para saudagar
rempah-rempah Eropa zaman dahulu”. (hal. 67).
Mereka tiba di Makassar pada awal dasawarsa 1970, kota
yang Lorne bersaudara sebut menyumbangkan khasanah bahasa Inggris “di bidang
racun dan minyak-minyakan”. (hal. 71). Lorne mengutip Samuel Pepys, penulis
abad ke-17, yang menyaksikan efek mengerikan Racun Makassar sewaktu dicobakan
pada seekor anjing tak berdaya di sebuah klub pria terhormat di London. Minyak
Makassar (hasil destilasi yang amat beracun dari kelapa) merupakan kosmetik
rambut laris bagi pria-pria zaman Victoria, dan barangkali ‘ramuan pria necis’
paling berminyak yang pernah trendi (hal. 72), Mereka ceritakan pula pengalaman
mereka diteriaki “Belanda oleh penduduk kota itu di halaman yang sama.
Mereka bercerita tentang suku Toraja yang berdiam di
pegunungan pulau ini. Di sana menyaksikan upacara ritual pemakaman bangsawan
besar setempat dan berkunjung ke Bulukumba sebagai titik berangkat menuju belahan
dunia kecil di Indonesia Timur yang mengundang orang-orang Eropa menitih buih
mencari cengkeh dan pala.
Dalam buku ini, Blair bersaudara banyak membahas orang
Bugis dikarenakan durasi perjalanan mereka banyak bersama dengan 16 pria Bugis di
atas pinisi bernama Sinar Surya. Mereka
tampaknya terpikat dengan perjalanan Alfred Wallace 120 tahun sebelumnya
menggunakan perahu yang sama ketika menjelajahi kawasan Indonesia Timur untuk
melihat langsung Burung Cenderawasih Kuning-Besar.
Ketika Sinar
Surya merapat di pelabuhan di Kepulauan Aru, perjalanan Blair bersaudara
berlanjut ke Papua untuk mencari burung buruan ekspedisi mereka. “Burung ini
hanyalah umpan menggoda yang lantas menjerat kami ke dalam 10 tahun petualangan
melalui negeri mimpi kala terjaga”. (hal. 3) Cerita terkait orang Bugis,
pinisi, dan persentuhannya dirangkainya hingga memasuki Bab Enam.
Pada empat bab selanjutnya, ia membeberkan cerita
perjalanannya memfilmkan Suku Asmat, Pulau Komodo, Pulau Sumba, petualangan di
Pulau Kalimantan, dan Pulau Bali—yang ia mukimi sejak kurang lebih 35 tahun
lalu.
Dalam waktu satu dasawarsa itulah Blair bersaudara berhasil
memfilmkan dan menulis buku dengan judul yang sama. Lawrence Blair
adalah penulis, presenter, dan co-producer (bersama mendiang adiknya, Lorne,
yang wafat pada 1995) mendapatkan penghargaan internasional Emmy Award untuk
film Ring of Fire pada 1989 untuk National Educational Film. Karyanya ini
disiarkan di 63 stasiun. Buku berjudul sama menjadi bestseller di Inggris.[]
Komentar
Posting Komentar