Menafsir Musik Tradisi

Etnomusikologi merupakan diskursus keilmuan yang relatif baru di Indonesia. Di satu sisi, disiplin ilmu yang berfokus pada fenomena musik, yang dipandang dari berbagai aspek sosial dan kebudayaan ini, kurang terdengar dibandingkan dengan disiplin ilmu sosial dan budaya lainnya yang tumbuh lebih awal.
Di sisi lain, buku-buku bacaan etnomusikologis juga dapat dikatakan sangat terbatas di Indonesia. Padahal, berbagai kajian tentang kebudayaan musik yang terdapat di Nusantara telah banyak dan jauh dilakukan sebelumnya oleh para etnomusikolog-peneliti asing (kalau boleh saya menyebut mereka sebagai para ”Indonesianist-ethnomusicologist”).

Semua itu dapat ditandai—untuk tidak menyederhanakannya—sejak era Jaap Kunst pada sekitar awal abad ke-20 hingga kini. Jaap Kunst menerbitkan bukunya yang terkenal, Music in Java. Buku itu menjadi sumber bacaan historis para peneliti budaya musik Nusantara. Kemudian Margaret Kartomi dengan berbagai artikel dan bukunya yang lebih menekankan pada kebudayaan musik Sumatera. Yang terbaru, buku berjudul Dangdut: Musik Identitas, dan Budaya Indonesia yang ditulis Andrew N Weintraub.
Pakkurru Sumange’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan adalah terjemahan dari edisi pertama buku R Anderson Sutton, Calling Back the Spirit: Music, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi (Oxford University Press, 2002).
Secara sistematis, buku yang membahas kebudayaan musik dan tari dari dataran rendah Sulawesi Selatan ini disusun dalam sepuluh bab. Tema-tema yang diangkat di dalam tiap-tiap bab adalah ”Sulawesi Selatan dalam Parade”, ”Dari Ritual ke Panggung”, ”Dari Hiburan ke Seni dan Kembali ke Ritual”, ”Patriotisme dan Pertunjukan”, ”Sinrilik dan Kacaping”, ”Bunyi dan Kuasa”, ”Melembagakan Pertunjukan”, dan ”Suara dari Pinggiran”.
Sebagaimana dikatakan Sutton dalam kata pengantar edisi kedua dalam versi bahasa Inggris, secara khusus buku itu ditujukan bagi para pembaca di luar Indonesia. Dalam pandangan Sutton, mereka sering terjebak dalam persepsi yang kurang lengkap tentang kebudayaan musik Indonesia yang notabene, Jawa dan Bali (hal xi). Sebagai peneliti, Sutton sendiri secara sadar merasa ingin memperluas pengetahuannya tentang kebudayaan musik Indonesia lainnya. Sebelumnya, Sutton cukup lama meneliti musik khususnya di kebudayaan Jawa dan Bali.
Kalau dilihat dari tenggat waktu penelitian, isu, konteks, dan fakta deskriptif ataupun analitis yang ingin disampaikan Sutton di dalam bahasan bukunya, pastilah akan memiliki ruang tafsir yang berbeda bagi pembaca. Tidak hanya literacy background antara bacaan dan pembaca yang dibatasi oleh problem vernakularisasi dalam penerjemahan bahasa, tetapi juga barrier yang dimiliki pembaca tentang tujuan dan sasaran si penulisnya. Sebagai contoh, berbagai isu teoretis dan pendekatan kajian yang berkembang di dunia etnomusikologi kontemporer—khususnya di Amerika Serikat—yang menjadi diskusi awal buku juga mungkin jauh dari alam pendekatan ataupun kajian etnomusikologis di Indonesia sebagaimana yang saya ketahui.
Orientasi pada pendekatan social studies yang lebih mengemukakan berbagai persoalan kebudayaan dalam dimensi waktu dan ruang yang lebih luas menjadi sangat berbeda dengan pendekatan klasik, strukturalis, dan monolitis yang pada umumnya masih berlaku di Indonesia hingga saat ini.
Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana cara Sutton menguraikan studi dan pengalaman etnografis yang dimilikinya dalam memperlihatkan kompleksitas musik, mulai dari menafsir berbagai inter-relasi antara bunyi musik, genre musik, hingga berbagai konteks kreativitas ekspresif dari ”kehadiran musik itu sendiri” yang terbingkai isu-isu kebudayaan dan sosial. Isu-isu tersebut menyentuh aspek kekuasaan, hegemoni, dan berbagai pertarungan sosial lainnya yang lalu melahirkan apa yang disebutnya sebagai sebuah ”politik kebudayaan.”
Hal menarik lainnya adalah bentuk kritik halus Sutton terhadap kecenderungan asumsi dan cara berpikir pemerintah, institusi keilmuan, hingga masyarakat kesenian di Indonesia pada umumnya yang khawatir terjadinya proses kepunahan dalam kesenian tradisi. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak sepenuhnya terjadi. Justru sebaliknya, apa yang disebut ”tradisi” menjadi sesuatu yang terus menerus dikerjakan, dikonstruksi, dan dimaknai secara berulang dalam ”wajah” yang tampak berbeda.
Membaca Pakkurru Sumange mengembalikan ingatan saya pada pernyataan dari Prof Ricardo Trimillos (etnomusikolog Amerika) dalam pidatonya di satu forum ilmiah seni Asia Pacific Performance Exchange di University of California Los Angeles (UCLA) pada Agustus 1997. Prof Ricardo mengatakan bahwa fenomena perkembangan kesenian (musik tradisi) di Asia merupakan ”Ketakutan terhadap apa yang disebut bahaya globalisasi,” sebagaimana yang sering terdengar di ranah kesenian tradisi, sesungguhnya tidak cukup mempunyai alasan. Sutton membuktikan melalui penelitian yang dilakukannya, kesimpulan yang didapat yang terjadi justru sebaliknya.
Last but not least, buku ini mudah-mudahan dapat memperkaya wacana bacaan etnomusikologis di Indonesia dan disiplin ilmu lain terkait kajian sosial dan budaya. Bacaan ini sekaligus menjadi inspirasi untuk terbitnya bacaan-bacaan lain seputar kebudayaan musik Nusantara.
(Irwansyah Harahap--Kompas Minggu 19 Januari 2014)
Judul        : Pakkuru Sumange’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan

Penulis    : R Anderson Sutton

Penerbit  : Ininnawa, 2013

Tebal      : xviii + 336 halaman

ISBN       : 978-602-19636-4-1

(Informasi terkait buku ini: http://saintjimpe.blogspot.com/2013/08/pakkurru-sumange-musik-tari-dan-politik.html)


Komentar

Postingan Populer