Kemarin Plat Hitam, Sekarang Plat Kuning
Ilustrasi. (Foto: Anwar Jimpe Rachman) |
“Kita tak minta-minta ya,
tapi kalau ada apa-apa kayak kecelakaan, mobil plat kuning lebih ‘aman’
daripada mobil plat hitam. Karena kalau sampai terjadi kecelakaan,” kata Si
Supir lalu mengulang lagi kalimat pertamanya, ”kita tidak minta-minta, maka ahli waris masih dapat tanggungan.”
Lelaki berkumis dan uban tampak di sela-sela rambut hitamnya
mengatakan itu tanpa menoleh. Matanya tertuju pada keramaian jalur kendaraan di
jalan samping jalan tol di kawasan Sudiang. Saya duduk tepat di belakang
kursinya. Ia sehari-hari berangkat dari dan menuju Baraka, kota kecil di Enrekang,
260-an kilometer di utara Makassar. Hanya dua penumpang “perjalanan panjang”
yang diangkutnya ke Makassar, yakni saya dan seorang penumpang berlogat Jakarta
yang naik sejak dari Baraka dan turun di perbatasan Makassar-Maros.
Sisa saya yang akan dibawanya menuju sekitaran Terminal Daya. Ia
katakan bahwa mobil plat hitam tidak menanggung apa pun untuk penumpang bila
ada kejadian luar biasa semacam kecelakaan. Kecelakaan akan dianggap kecelakaan
mobil biasa, bukan mobil berpenumpang.
Seketika juga, hinggap rasa aneh di benak saya. Ia membicarakan
pengalaman saya sehari sebelumnya.
Saya naik plat hitam tidak sengaja. Ini berawal semata ingin
menghindari mengambil mobil dari Terminal Regional Daya karena sudah pasti terlalu
lama menunggu. Selain itu, beberapa tahun belakangan, mobil angkutan antar kota
lebih banyak parkir di luar terminal. Zainal Siko, juru bicara Gabungan Pekerja
Terminal (GPT) Regional Daya, menyebut terminal itu merugi Rp 467 miliar
lantaran selama 11 tahun tidak beroperasi maksimal (Tempo Makassar, 30 Mei 2014). Tapi di dalam maupun di luar terminal
sama saja. Jadi rasanya akan lebih baik menunggu mobil di daerah perbatasan
Makassar-Maros.
Lima menit saja saya berdiri menunggu, sebuah mobil plat hitam
Xenia mengerlingkan lampu. Kerlipan lampu itu bagai kedatangan jodoh yang lama
ditunggu. Mobilnya masih kosong. Saya tentu pilih kursi depan agar sepasang
kaki yang agak panjang ini punya ruang yang leluasa.
Begitu saya menyebut tujuan, pemuda dengan kaos berkerah putih
di belakang stir itu langsung mengangguk. Saya pun sigap mengambil dudukan di
kursi depan, di samping supir yang kelihatannya tak lebih 30 tahun itu.
Sampai menjelang persimpangan jalan masuk Bandara Hasanuddin, masih
hanya saya penumpangnya. Menjelang lepas perbatasan Makassar-Maros, seratusan
meter melewati sebuah motor polisi yang terparkir, seorang aheng (agen) mendekati mobil tumpangan saya.
"Mobilmu mau ke mana?" tanya si aheng.
"Penumpangnya mau ke mana?" tanya balik si supir.
Si aheng tertawa. "Mau ambil penumpang Palopo? Ada tiga
orang."
Begitu oke, si supir serahkan Rp15.000 ke si aheng. Tapi yang
dikasih uang malah tertawa. Kali ini agak kecut. “Mana ada satu penumpang
‘harganya’ cuma lima ribu. Sepuluh ribu, bos.” Mungkin si supir ‘orang baru’ mengoperasikan
plat hitam, pikir saya. Dia lalu serahkan lagi duit tiga puluh ribu buat Aheng.
Lega juga melihat kursi di belakang sudah terisi. Pikir saya,
mobil segera berangkat. Tapi perhitungan supir lain juga. Bagi supir, kursi
kosong berarti pengganti uang bahan bakar.
Tanpa pikir panjang, sang supir memutar dan mengambil jalur yang
sudah kami lewati lima belas menit lalu. “Kita cari penumpang dulu sebentar,”
ujarnya, memberi pengumuman. Mobil yang berputar lagi dari perbatasan
Maros-Makassar menuju Daya itu berhasil mengambil dua penumpang tujuan Palopo,
kemudian melaju ke utara.
Mengapa mobil plat hitam masih berkeliaran? Si Supir dari Baraka
menimpali bahwa bisa jadi karena petugas membiarkan. Setoran plat hitam lebih
banyak dari plat kuning. Setiap angkutan umum harus singgah di terminal setiap kabupaten.
Sekali masuk, tiap mobil penumpang hanya berputar (tidak mengambil penumpang
karena terminal kabupaten/kota pun sepi) dan membayar retribusi dua ribu perak
dari petugas berbaju biru muda. Berbeda dengan plat hitam yang bebas melaju
tanpa perlu masuk ke terminal. Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya beberapa
tahun lalu menumpang plat hitam, meski tidak berputar masuk terminal tapi
jumlah penyetopan plat hitam sebanding dengan berapa kali plat kuning masuk
terminal. Jumlah setoran mereka memang lebih besar dari plat kuning. Paling
kurang lima ribu rupiah berpindah ke tangan petugas di jalan raya setiap mereka
berhasil mengenali dan menyetop angkutan plat hitam. Pantas saja saya harus
membayar Rp 20.000 lebih mahal dari tarif biasanya.
Pada 2012, Direktorat Lalu Lintas Polda Sulsel
menyebut, jumlah kendaraan yang beroperasi di Makassar mencapai 2,4 juta
unit—1,3 juta unit di antaranya roda empat. Angka ini merupakan lipatan tiga
dari jumlah kendaraan di Makassar pada 2004 lalu yang ‘hanya’ berjumlah 527.040
unit. (TribunNews)
Dengan sangat yakin Si Supir mengatakan, meski terjadi
peningkatan angka kepemilikan kendaraan pribadi belakangan ini, tapi penumpang
naik angkutan antar kota tetap banyak. Hanya saja, penumpang plat kuning “diserobot”
plat hitam.
Pembicaraan saya dengan Si Supir yang baru dibuka 10 menit lalu
itu juga membuat saya bergindik. Ngeri juga membayangkan begitu banyak
kecelakaan bisa terjadi di sepanjang jalur Makassar ke utara. Jalan yang
menjulur dan membelah Maros, Pangkep, dan Barru memang makin melancarkan arus
kendaraan dari dan menuju Makassar. Tapi di sisi lain, badan jalan yang terbagi
dua jalur itu makin lapang—kecuali satu dua titik yang masih diperbaiki.
Pengemudi pun kian leluasa menginjak gas dan memacu kendaraannya. Kejadian-kejadian
tragis juga mungkin terjadi.
Dari cerita seorang perempuan sepuh penjaga salah satu warung
pinggir jalan di Barru tempat yang kami singgahi sekisar dua jam lalu, saya
mendengar begitu banyak cerita kecelakaan yang dibebernya dengan sangat rinci.
Ia menceritakan satu mobil Xenia yang menabrak tiang listrik setelah melompati
pembatas jalan. Kami sempat melihat mobil itu masih di pinggir jalan. Bagian
tengah mesinnya ringsek.
“Kayaknya perempuan yang bawa. Mungkin karena tidak bisa
kendalikan mobilnya kencang sedang belokannya sangat tajam,” jelas Si Ibu.
Belokan yang dia maksud adalah tikungan tajam 40 derajat di satu jembatan beberapa
kilometer di utara Kota Barru. Ada pula, tambah Si Ibu, pemuda yang ditabrak mobil
justru ketika bukan membawa kendaraan—melainkan justru karena hendak menolong
temannya yang kecelakaan, dan cerita kemalangan lainnya yang membuat rahang
saya terasa ngilu.
Sesampai di sekitaran Daya, saya serahkan ongkos angkutan ke Si
Supir. Entah kenapa saya berterima kasih sampai dua kali. Sekali saya ucapkan
ketika masih duduk di belakangnya. Sekali lagi saya ucapkan begitu menutup
pintu mobilnya.[]
Komentar
Posting Komentar