Bila Musim Buah Tiba…
(Foto: Sofyan Syamsul) |
Cukup
sulit membayangkan bagaimana rupa sampah sebanyak 4000 meter kubik. Tapi dalam
hitungan sederhana, bila dalam bentuk padat, sampah segunung itu bisa kita hampar
dan menutup delapan lapangan sepakbola ukuran internasional. Atau kalau dalam
wujud air bersih dalam galon, jumlah sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan air
minum harian tidak kurang 210 ribu unit rumah!
Dari
data fasilitas persampahan Pemerintah Kota Makassar yang dilansir media itu
disebutkan bahwa Pemkot mempunyai 151 unit armada sampah. Itu berarti, dalam
kalkulasi simpel, 151 unit armada (berdaya angkut 6-7 kubik atau setara dengan
1 ton) harus pergi-pulang tiga kali sehari tanpa libur dari tempat sampah yang permukiman
warga ke TPA Antang. Hitungan ini pun dengan asumsi bahwa seluruh unit pengangkut
itu beroperasi.
Angka
gunungan sampah itu, masih berdasarkan media tersebut, akan berlipat dua bila musim buah tiba.
Kalimat
itu sengaja saya miringkan. Soalnya adalah sampah yang berasal dari buah adalah
sampah yang bisa diolah jadi pupuk organik. Kalimat itu juga bisa berarti cara
membuang sampah kita belum berubah. Kita masih menyatukan seluruh sampah, baik
basah maupun kering. Kelakuan kita tambah parah karena cara buang sampah pun
masih sama. Tak percaya? Tengoklah jalan-jalan raya. Jamak kita lihat
orang-orang membuang sampah dari jendela kendaraannya—perilaku yang tak
mengenal tinggi rendahnya pendidikan.
Tapi
penyelesaian masalah yang membelit warga bisa berasal dari rumah, termasuk menangani
sampah. Apalagi sampah-sampah di TPA Antang sebagian besar berawal dari rumah
tangga.
Para
penghuni tiap rumah makin perlu mulai memisahkan sampah organik dan yang bukan.
Sampah basah bisa dibuang ke halaman atau, bila punya waktu yang lowong,
buatkan lubang. Makanan yang membusuk bisa menjadi bahan hara untuk mengembalikan
kesuburan tanah.
Saya
sekeluarga mencobanya sejak tiga tahun terakhir. Sampah-sampah basah macam sisa
nasi, sayur basi, ampas kelapa, sampai tulang ikan kami buang ke halaman.
Kekhawatiran kami bahwa sampah akan tinggal membusuk di sana tidak terbukti.
Sesaat setelah membuangnya, segera saja beberapa ekor kucing dan tikus bergiliran
menyantap sisa makanan itu.
Ini
sangat meringankan beban kami. Sekarang, butuh paling cepat empat hari tong
sampah (khusus kering) di dapur kami baru penuh. Sebelum itu, kami sekeluarga
harus membuang sampah (basah dan kering bercampur) sampai empat kantong setiap
hari.
Dulunya
saya awal tinggal di rumah yang sekarang sering kesal karena kucing dan tikus
kerap mengganggu. Makhluk-makhluk itu mencuri dan mengerat terdesak sebab akses
makanan mereka di kota amat terbatas. Di tong sampah besar, mereka bersama
manusia menjadi tokoh utama penghambur ulang sampah dari tong-tong buangan.
Tikus dan kucing mencari makanan dari sampah basah yang bercampur dengan sampah
kering, sedang manusia mengais sampah kering mencari plastik dan kertas sebagai
komoditas daur ulang.
Cara
lain yang bisa ditempuh adalah mengubah pola mengonsumsi. Menurut Gede Robi
Supriyanto, vokalis Navicula, grup musik grunge
asal Bali, meyakini, salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah mengurangi
penggunaan kantong plastik kala berbelanja.
Robi,
begitu nama panggilan akrab lelaki berambut panjang itu, memaparkan bahwa data
berbagai sumber menyebutkan, 70 persen dari total sampah di Bali setiap hari berupa
sampah organik—sampah terurai. Sisanya, yang berkisar 25 persen, adalah sampah
non-organik berupa botol plastik dan semacamnya, yang masih bisa menghasilkan
uang (dijual). Nah, kata lelaki 35 tahun ini, lima persennya adalah sampah plastik,
dari bungkus makanan sampai kantong plastik. Saya yakin, presentasi sampah
basah dan kering di Bali sebagaimana cerita Robi, tak berbeda jauh dengan
Makassar.
“Kalau
pemerintah memberlakukan pajak pada kantong kresek, kemungkinan besar bisa
berkurang. Selama ini konsumen dimanjakan karena kantong plastik itu gratis. Kalau
diterapkan misalnya di swalayan atau toko retail 24 jam setiap ada yang belanja
kasirnya tanya ‘mau pakai kantong plastik atau tidak. Kalau pakai kantong
tambah Rp 1000’ mungkin orang masih bisa berpikir untuk pakai kantong atau
mereka bawa sendiri kantongan dari rumah,” katanya penuh semangat.
Keseharian
kita sudah dipenuhi dengan kemasan dan kantong plastik. Barang-barang kebutuhan
dapur yang dulunya masih terbungkus daun, kini bersalin dengan kemasan plastik.
Bahkan lontong dan tempe yang dulu dibalut satu atau dua carik daun pisang,
kini pun tampak transparan karena dibekap plastik bening. Betapa hambar
rasanya.
Mungkin
bisa dimaklumi itu terjadi sebab waktu perjalanan barang kebutuhan menuju dapur
makin panjang dan berkurangnya pohon yang dulunya bahan pembungkus seperti
pisang atau daun jati. Kemasan juga penting bagi orang-orang di kota. Mereka
lebih suka memanjakan mata ketimbang lidah.
Kelak,
bila musim buah telah tiba, sampah kita yang kini segunung, ‘hanya’ akan
membukit.
Tapi,
bagaimana bila musim kampanye tiba?[]
*Terbit di Koran Tempo Makassar, 12 Juni 2014
Komentar
Posting Komentar