Bila Musim Buah Tiba…

(Foto: Sofyan Syamsul)
Sebuah media lokal Makassar pada pertengahan tahun 2013 melansir data bahwa 1,3 juta jiwa penghuni kota ini setiap hari menghasilkan sampah berkisar 550 ton atau 4.000 meter kubik.

Cukup sulit membayangkan bagaimana rupa sampah sebanyak 4000 meter kubik. Tapi dalam hitungan sederhana, bila dalam bentuk padat, sampah segunung itu bisa kita hampar dan menutup delapan lapangan sepakbola ukuran internasional. Atau kalau dalam wujud air bersih dalam galon, jumlah sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan air minum harian tidak kurang 210 ribu unit rumah!

Dari data fasilitas persampahan Pemerintah Kota Makassar yang dilansir media itu disebutkan bahwa Pemkot mempunyai 151 unit armada sampah. Itu berarti, dalam kalkulasi simpel, 151 unit armada (berdaya angkut 6-7 kubik atau setara dengan 1 ton) harus pergi-pulang tiga kali sehari tanpa libur dari tempat sampah yang permukiman warga ke TPA Antang. Hitungan ini pun dengan asumsi bahwa seluruh unit pengangkut itu beroperasi.

Angka gunungan sampah itu, masih berdasarkan media tersebut, akan berlipat dua bila musim buah tiba.

Kalimat itu sengaja saya miringkan. Soalnya adalah sampah yang berasal dari buah adalah sampah yang bisa diolah jadi pupuk organik. Kalimat itu juga bisa berarti cara membuang sampah kita belum berubah. Kita masih menyatukan seluruh sampah, baik basah maupun kering. Kelakuan kita tambah parah karena cara buang sampah pun masih sama. Tak percaya? Tengoklah jalan-jalan raya. Jamak kita lihat orang-orang membuang sampah dari jendela kendaraannya—perilaku yang tak mengenal tinggi rendahnya pendidikan.

Tapi penyelesaian masalah yang membelit warga bisa berasal dari rumah, termasuk menangani sampah. Apalagi sampah-sampah di TPA Antang sebagian besar berawal dari rumah tangga.

Para penghuni tiap rumah makin perlu mulai memisahkan sampah organik dan yang bukan. Sampah basah bisa dibuang ke halaman atau, bila punya waktu yang lowong, buatkan lubang. Makanan yang membusuk bisa menjadi bahan hara untuk mengembalikan kesuburan tanah.

Saya sekeluarga mencobanya sejak tiga tahun terakhir. Sampah-sampah basah macam sisa nasi, sayur basi, ampas kelapa, sampai tulang ikan kami buang ke halaman. Kekhawatiran kami bahwa sampah akan tinggal membusuk di sana tidak terbukti. Sesaat setelah membuangnya, segera saja beberapa ekor kucing dan tikus bergiliran menyantap sisa makanan itu.

Ini sangat meringankan beban kami. Sekarang, butuh paling cepat empat hari tong sampah (khusus kering) di dapur kami baru penuh. Sebelum itu, kami sekeluarga harus membuang sampah (basah dan kering bercampur) sampai empat kantong setiap hari.

Dulunya saya awal tinggal di rumah yang sekarang sering kesal karena kucing dan tikus kerap mengganggu. Makhluk-makhluk itu mencuri dan mengerat terdesak sebab akses makanan mereka di kota amat terbatas. Di tong sampah besar, mereka bersama manusia menjadi tokoh utama penghambur ulang sampah dari tong-tong buangan. Tikus dan kucing mencari makanan dari sampah basah yang bercampur dengan sampah kering, sedang manusia mengais sampah kering mencari plastik dan kertas sebagai komoditas daur ulang.
Cara lain yang bisa ditempuh adalah mengubah pola mengonsumsi. Menurut Gede Robi Supriyanto, vokalis Navicula, grup musik grunge asal Bali, meyakini, salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah mengurangi penggunaan kantong plastik kala berbelanja.

Robi, begitu nama panggilan akrab lelaki berambut panjang itu, memaparkan bahwa data berbagai sumber menyebutkan, 70 persen dari total sampah di Bali setiap hari berupa sampah organik—sampah terurai. Sisanya, yang berkisar 25 persen, adalah sampah non-organik berupa botol plastik dan semacamnya, yang masih bisa menghasilkan uang (dijual). Nah, kata lelaki 35 tahun ini, lima persennya adalah sampah plastik, dari bungkus makanan sampai kantong plastik. Saya yakin, presentasi sampah basah dan kering di Bali sebagaimana cerita Robi, tak berbeda jauh dengan Makassar.

“Kalau pemerintah memberlakukan pajak pada kantong kresek, kemungkinan besar bisa berkurang. Selama ini konsumen dimanjakan karena kantong plastik itu gratis. Kalau diterapkan misalnya di swalayan atau toko retail 24 jam setiap ada yang belanja kasirnya tanya ‘mau pakai kantong plastik atau tidak. Kalau pakai kantong tambah Rp 1000’ mungkin orang masih bisa berpikir untuk pakai kantong atau mereka bawa sendiri kantongan dari rumah,” katanya penuh semangat.

Keseharian kita sudah dipenuhi dengan kemasan dan kantong plastik. Barang-barang kebutuhan dapur yang dulunya masih terbungkus daun, kini bersalin dengan kemasan plastik. Bahkan lontong dan tempe yang dulu dibalut satu atau dua carik daun pisang, kini pun tampak transparan karena dibekap plastik bening. Betapa hambar rasanya.

Mungkin bisa dimaklumi itu terjadi sebab waktu perjalanan barang kebutuhan menuju dapur makin panjang dan berkurangnya pohon yang dulunya bahan pembungkus seperti pisang atau daun jati. Kemasan juga penting bagi orang-orang di kota. Mereka lebih suka memanjakan mata ketimbang lidah.

Kelak, bila musim buah telah tiba, sampah kita yang kini segunung, ‘hanya’ akan membukit.

Tapi, bagaimana bila musim kampanye tiba?[]

*Terbit di Koran Tempo Makassar, 12 Juni 2014

Komentar

Postingan Populer