Kita dan Burung-burung yang Terbang Itu
Repro Karya Yudha AF/Tempo |
Si
Buaja Tasi’e dan Sang Ula Balu naik pitam. Perusakan itu memincangkan
keseimbangan alam.
“Kalau
saja kau bukan anak dewa, sekali kukibaskan ekorku, kamu akan tenggelam di
dasar laut,” cetus Buaja Tasi’e.
“Seandainya
kamu bukan keturunan darah putih, sekejap saja kutelan, kamu bisa binasa di
dalam perutku yang gulita,” kata Ula Balue, tak kalah sengit.
Itu
semua karena cinta terlarang di dada Sawerigading ditolak saudara kembarnya, We
Tenriabeng. “Di Negeri Cina, ada putri yang berparas serupa denganku.
Berangkatlah dan jemput ia,” kata We Tenriabeng.
Singkat
cerita, Lalu Sawerigading membentangkan layar kapal I La Welenreng, berangkat
menuju Negeri Cina, negeri di ufuk utara Luwu, mencari putri yang bernama I We
Cudai.
Penggalan
cerita itu merupakan salah satu peristiwa besar dalam I La Galigo. Larik-larik
narasi ini hendak menggambarkan betapa keserakahan dan kepentingan pribadi
penguasa justru mengakibatkan sulitnya pihak lain menjaga kehidupan yang lebih
baik.
HIKAYAT
dalam sebuah masyarakat sebagai cerminan keadaan di masa tertentu, sekaligus
ramalam tentang kondisi yang segera datang. Memang benar demikianlah yang terjadi
sekarang. Warga Makassar kini bagai burung-burung yang terbang dalam epos itu.
Nyaris
sepanjang waktu mereka menyaksikan pohon-pohon yang tumbuh dan tegak di
Makassar (dan Sulawesi Selatan pada umumnya) diperlakukan seenaknya demi hasrat
seperti yang ditunjukkan oleh Sawerigading.
Pohon-pohon
di kota ini penuh paku dan ditempeli panji, pariwara, serta alat kampanye sejenis itu. Lembaran-lembaran panjang dan lebar baliho menjadi layar kapal. Pohon-pohon
itu menjadi “kapalnya” menuju tujuan nun jauh di sana: kursi legislatif.
Mereka
menggerakkan tim kampanye untuk memasang iklan-iklan itu di batang-batang
pohon. Ini jenis iklan murah—bahkan gratis. Sayangnya, usai pemilu, iklan-iklan
berisi foto dan janji-janji itu tak bersih juga.
Seakan
seluruh sampah-sampah politik beserta janji-janjinya itu seperti diserahkan
pada penghuni kota. Padahal imbal balik mereka yang terpilih kemudian hanya
berupa berita dan bisik-bisik tentang korupsi dan persekongkolan semacam itu.
PADA
April 2014 lalu, sore usai pencoblosan, sekelompok warga terpaksa turun tangan membersihkan
baliho sampah-sampah tersebut. Mereka memilih lokasi pencabutan mulai di
simpang tiga Alauddin menyusur ke Jalan AP Pettarani dan berbelok ke Jalan
Landak. Tim itu berhasil mencabut dan mengumpulkan paku setengah kilogram.
“Setengah kilo itu yang menempel di pohon,” kata Ahmad, salah seorang relawan
yang ikut gerakan itu.
Di
Makassar, pohon-pohon hanya tumbuh di median jalan, taman, dan ruang terbuka. Itu
pun sejengkal dari luasan kota ini. Tercatat, ruang terbuka hijau Makassar hanya
berkisar 10 persen. Butuh lagi 5000 hektar, kata Walhi pada 2010 lalu. Dari
beberapa sumber, makin miris kalau RTH itu berupa kompleks perkuburan, kawasan perguruan
tinggi, dan taman yang tidak seberapa luas.
Hal
semacam ini menunjukkan dengan jelas pada kita, tampuk kuasa dalam perpolitikan
menghalalkan berbagai cara, termasuk merusak dan mengorbankan apa saja,
termasuk pohon sebagai bagian terpenting penunjang hidup di perkotaan. Apakah hanya
segelintir orang yang tahu bahwa udara cemar cuma bisa ditawar oleh pohon dan
ekosistemnya?
BALIHO
di pohon jelas menambah pekerjaan warga dan Pemkot. Pemkot sebenarnya mampu
untuk bersikap tegas menegakkan aturan. Semisal, pajak iklan harus pula
diberlakukan pada benda-benda seperti ini, namun tetap harus berada di
titik-titik strategis yang ditentukan Pemkot untuk berpariwara.
Dengan
hitungan iklan berdasarkan satu sumber, sebesar Rp35.000 per meter setiap
minggu, bisa dibayangkan betapa besar pendapatan Pemkot. Akan lebih bermanfaat
lagi bila seluruh pendapatan itu masuk dan dipergunakan oleh Pemkot untuk
penanganan persoalan-persoalan kota.
Itu
bisa menjadi salah satu cara mumpuni untuk melindungi pohon. Bagaimana pun,
menurut seorang teman, pohon pun manja seperti manusia. Butuh sekisar 2 tahun
sebatang pohon untuk menjadi rindang.
Ketidaktegasan
pengelola wilayah ini menyikapi isu lingkungan hidup bakal munculkan kesan
bahwa Makassar hanya dikelola agaknya untuk beberapa tahun saja. Kota seakan ditumbuhkan
sebagai kumpulan permukiman yang seumur cendawan.
Betapa
ancaman pencemaran udara kian menjadi perihal yang penting dipikirkan. Pertumbuhan
kendaraan di kota ini sedang menggila. Pada 2012, Direktorat Lalu Lintas Polda
Sulsel menyebut, tidak kurang 2,4 juta unit kendaraan berlalu-lalang di
Makassar saja—atau rerata satu jiwa penduduk kota ini punya dua unit kendaraan!
Kota
kita jelas terbebani. Begitu juga warganya: didera macet dan tercekik udara berkarbon.
Deretan persoalan ini diperparah dengan terkupasnya kawasan hijau di pinggiran
Makassar dan kabupaten sekitarnya karena kebutuhan perumahan.
Bila
burung-burung terbang tatkala I Walenrenge tumbang, mungkin saja tak lama lagi giliran
kita, para penghuni Makassar, yang harus berpindah dan “terbang” ke mana sebab
lingkungan kota ini tidak memadai lagi dimukimi.[]
(Tulisan ini terbit di Koran Tempo Makassar edisi 10 Juli 2014)
(Tulisan ini terbit di Koran Tempo Makassar edisi 10 Juli 2014)
Komentar
Posting Komentar