Mereka Dinding, Kita Pintu

Sumber foto: http://pixabay.com/p-301661/?no_redirect

PEMILU dan Idul Fitri, jelas, dua peristiwa yang berbeda. Namun pada tahun 2014 keduanya menjadi hal identik. Bukan hanya lantaran terjadi berselang beberapa hari saja. Lebih dari itu, keduanya memiliki inti yang sama, yakni menerbitkan harapan.

Keduanya adalah peristiwa budaya yang menjadi waktu dan ruang ketika daya dan dana yang kita dicadangkan kemudian dilepaskan demi merayakan impian-impian.

Yang kita tahu, sepekan menjelang Lebaran, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2014-2019.

Duet ini diusung bergotong royong. Banyak kalangan yang rela bekerja pro-bono (tanpa bayar) demi membantu pemenangan Jokowi-JK. Kalangan muda, kaum-kaum kreatif, yang selama ini getol mengklaim diri sebagai golput (golongan putih) dan eneg pada kancah politik, justru berduyun-duyun unjuk dukungan untuk pasangan ini.

Media massa pun begitu. Bahkan sebuah editorial sebuah media nasional (berbahasa Inggris) dengan terang-terangan menyatakan dukungan pada duet ini. Intinya, Jokowi-JK dianggap bertipikal sama: pekerja plus pengambil keputusan yang taktis dan anti-protokoler.

Berita seputar Pilpres pun kemudian mendapat porsi liputan media yang demikian besar. Sampai-sampai kabar kenaikan harga bahan pokok menjelang Lebaran terkesan dilupakan. Agaknya kabar tentang itu terpapar oleh eforia warga atas pengumuman KPU tersebut, sambil larut berbelanja mempersiapkan hari raya.

Pasangan ini disebut-sebut membawa harapan, inilah momentum mengembalikan kedaulatan dan pemerintahan yang lebih berpihak ke rakyat. Jarak kekuasaan (power distance) pengambil keputusan dan warga terlalu jauh.

Konsep ‘jarak kekuasaan’ (Power Distance Index, PDI) yang diperkenalkan sosiolog Belanda, Gerard Hendrik Hofstede, mengindikasikan bahwa dalam konteks kebudayaan Indonesia, indeks tersebut mencapai 78 (rerata negara Asia hanya menyentuh 71). Besarnya angka ini didasari antara lain faktor ketergantungan terhadap hierarki dan ketidakmerataan hak antara atasan dan bawahan.

“Negara dengan PDI rendah, kekuasaan adalah sesuatu yang memalukan bagi para pemegangnya dan mereka berusaha menyembunyikannya… Di Austria (dengan PDI rendah), Perdana Menteri Bruni Kreisky dikenal kadang-kadang mengemudikan mobilnya sendiri saat ke kantor,” tulis Hofstede dalam karyanya, Culture’s Consequences (1983).

SATU peristiwa lagi terjadi menyusul. Dua hari jelang Lebaran, KPK menangkap 18 orang di Bandara Soekarno-Hatta karena terlibat dugaan kasus pemerasan terhadap tenaga kerja Indonesia—termasuk oknum polisi dan TNI AD.

Kabar itu merebak. Harapan pun membengkak. Rupanya, kekuatan-kekuatan gelap semacam itu bisa tumbang juga.

Harapan merupakan sesuatu yang nyaris absen selama berpuluh tahun di negeri ini. Semua karena sistem pemerintahan negeri ini yang disesaki transaksi politik dan birokrasi akut nan berbelit. Fungsi pelayanan aparat mandek. Warga jadi terlantar di negeri sendiri.

Negara, lewat aparatnya, menjelma sebagai momok mengerikan. Sudah rahasia umum bahwa petugas-petugas di bandar udara akan memalak para TKI begitu kembali. Padahal, yang dipalak itu adalah kaum yang mempertaruhkan nasib dan nyawa di negeri orang.

Mereka adalah warga yang tahu benar bahwa negeri ini bukan tempat yang layak menanam benih harapan. Peluang hanya tersedia di negeri orang. Negeri ini hanya kepalang menjadi tempat lahir.

Toh, kalau pun tetap di kampung bertani, hasil panen tetap tak bisa menghidupi. Tengkulak menunggu panenan atau para pengusaha merangsek ke desa menawar murah barang mereka. Mereka pun segera melepas hasil panen karena pasokan berlimpah di luar sana lantaran pemerintah terus membuka keran impor komoditas yang sama.

Sudah banyak dan jamak kabar tentang TKI yang mendapat perlakuan kasar oleh tuan mereka. Derita itu mengganda tatkala mereka pulang ditunggu oleh orang-orang tengik yang memalak di bandara kedatangan. Mereka pun ke kampung membawa kenihilan.

Sementara kita yang hidup di dalam negeri, yang melata di jalan raya, memakai helm dan membebat diri sabuk pengaman hanya karena lebih takut pada polisi ketimbang sadar ancaman saat berkendara. Begitu pula di kelurahan atau kantor desa. Para pegawainya seperti sengaja mengulur dan membuang waktu produktif warga agar urusan itu jatuh di tangan mereka.

DAN sampailah kita di masa-masa setelah Idul Fitri. Kota meramai setelah beberapa hari ditinggal sepi. Kita pun bekerja kembali.

Terpilihnya presiden dan wakil presiden yang diusung bergotong-royong jelas mencerminkan harapan warga bahwa negeri ini masih layak dihidupi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Indonesia sebagai kampung besar dan ladang peluang tempat kita menambat mimpi-mimpi.

Seorang teman lantas membayangkan bahwa kelak para penjahat sekelas koruptor dan pemeras ditangkap dan dijebloskan di penjara yang dibuat khusus di sebuah pulau. “Dulu sebelum Pilpres 2014, kita rasanya tak pernah berkhayal seperti ini,” ujarnya dengan mimik serius.

Agaknya dia benar. Harapan semata wahana kita menjelajahi kemungkinan-kemungkinan tentang perkembangan sekitar.

Tapi, kata saya, bagaimana kalau negara sudah bikin pulau penjara khusus koruptor dan pemeras lantas giliran pulaunya lagi yang habis dijamah penghuninya?

Kami tertawa terbahak. Setidaknya, imbuh teman saya, kita telah menentukan pilihan. Tugas kita tinggal berharap.

Ya, lagi-lagi, dia benar. Kami sama-sama percaya, sebagaimana Ralph Waldo Emerson yakini, “setiap dinding memiliki pintu”.[]

*dimuat di rubrik Literasi Koran Tempo Makassar, edisi 7 Agustus 2014.

Komentar

Postingan Populer