Percakapan yang Melampaui Musik
Terbuat dari apa alam pikiran seorang Gede Robi Supriyanto,
“humas” kelompok musik Navicula—kelompok musik asal Bali yang dibaptis sebagai green grunge gentlemen lantaran lirik-lirik mereka sarat tema lingkungan
hidup?
Dua kali saya
bertemu Gede Robi Supriyanto. Yang pertama hanya bersalaman dan saling lempar
senyum—sebagaimana biasanya orang Indonesia saat pertemuan awal—akhir tahun
2013. Namun jumpa kedua dengan Robi, nama panggilannya, di awal Juni 2014,
sangat berbeda. Kami bertukar cerita dalam dua kali kesempatan.
Lelaki berusia 35
tahun ini akrab dengan suasana Makassar. Sejak kecil ia mengaku kadang pergi pulang
Palu-Makassar, ketika ayahnya bertugas di ibukota Sulawesi Tengah itu. “Kalau
tinggal barang satu dua minggu logat saya bisa kembali lagi,” katanya tertawa.
Robi menggerai
rambut lurusnya yang panjang. Malam itu ia tampil solo sebelum band Dialog Dini
Hari menutup malam acara midnight sale
di Chambers, Makassar. Obrolan kami seputar kegiatannya yang 'jauh' dari musik.
Apa kegiatanmu dekat ini?
Saya akan ke ke
Kamboja untuk sebuah konferensi tahunan yang diadakan GIN (Global Initiatives Network, sebuah lembaga yang bertitik perhatian pada anak muda). Saya ke sana sebagai representatif dari lembaga itu.
Itu lembaga apa?
Skalanya
internasional. Idenya dari teman saya di international
school di Bali. Dia pengen sesuatu yang … saya sama dia ‘kan bikin projek.
Waktu itu saya mau ajukan kurikulum pertanian organik, walaupun hanya sebagai
ekstra kurikuler, termasuk sekolah lokal. Tapi sekolah lokal (milik pemerintah
di Bali, Pen.) responsnya masih
memandang sebelah mata. Justru sekolah internasional sangat membuka tangan. Dan
sekolah-sekolah seperti green school itu
jadi kurikulum utama.
Beda
tanggapannya kenapa ya?
Saya pikir sebenarnya agrikultur itu
penting. Itu berhubungan dengan kedaulatan pangan, apalagi di Indonesia.
Agrikultur dan maritim, seharusnya dua hal penting ini menjadi hal agenda utama
dalam setiap pengembangan pembangunan. Kalau ini jadi agenda utama, berarti ini
harus menarik minat sejak usia dini. Dari dulu nenek moyang kita kan petani dan
pelaut. Apalagi kekayaan alam ini. Hubungan antar pulau. Teknologi-teknologi
nenek moyang kita udah jago di
irigasi, jago bikin kapal-kapal yang terkenal di seluruh dunia. Kepulauan lagi.
Negara tropis lagi yang memang sangat agrikultur.
Heran juga kenapa MP3I, manajemen
pertumbuhan ekonomi Indonesia, agenda pertanian di Bali tidak masuk menjadi
agenda utama. Di satu sisi, kita mengeluarkan jargon-jargon “Lestarikan
Budaya”. Kalau di Bali, kampung saya, “Lestarikan Budaya Bali”. Saya pikir agak
bullshit kalau kita tidak menempatkan
agrikultur sebagai agenda utama. Karena ya kalau mau pelestarian budaya,
dimulai dari fondasi. Apa itu budaya? Ya agrikultur!
Bagaimana
dengan skala Indonesia? Kedaulatan pangan dan teknologi maritim?
Indonesia sebenarnya sudah punya
teknologi ini. Bibit varietas tanaman sudah lengkap. Tapi tahun 1970-an, waktu Green Revolution (Revolusi Hijau) ada
jargon swasembada pangan. Tapi ini seperti perjanjian antara pemerintah kita
dengan perusahaan seperti Monshanto yang memasukkan bibit yang mereka desain
agar menciptakan ketergantungan dan harus dibeli terus, karena bibit-bibitnya
tidak bisa diperbanyak. Generasi pertama tak sebagus kualitasnya dengan
generasi kedua. Dan bibit seperti ini compatible
dengan hanya pupuk tertentu. Tujuannya menjadikan petani yang harusnya jadi
produsen harus menciptakan malah jadi konsumen. Dengan kebijakan seperti ini berarti
petani dijadikan konsumen dong! Dan ini saya kira tidak sehat. Petani harusnya
menciptakan dan menghasilkan. Kalau ini kuat, negara kuat. Bahkan Gandhi
sendiri pernah bilang, jangan kamu bicara soal politik pada orang yang perutnya
kosong. Betapa pentingnya kedaulatan pangan terhadap stabilitas dan ketahanan
suatu negara. Apalagi teknologinya sebenarnya kita sudah punya.
Sudah
tradisi malah…
Betul! Sayangnya kalau ini dibuat petani
menjadi konsumen, dia itu posisinya menjadi lemah karena sangat tergantung.
Apalagi tanahnya kalau sudah junkie
gitu kan.. pupuk kimia ini kan akan menjadikan lahan kritis. Kayak junkie-lah, kalau tidak make obat (maka) tidak berfungsi.
Ketergantungan begini, berapa pun harga dikasih mereka beli.
Dan sampai pada satu titik, harga yang
mahal tidak lagi jadi rasionya profit. Sementara di sisi lain, pemerintah kita
juga justru mengimpor. Kan jadinya kacau. Waktu mereka produksinya mahal, waktu
mereka jual pasarnya tidak terjaga. Lebih banyak untungnya tengkulak. Orang
kedua dan tangan ketiga dari petani yang menghasilkan.
Nah apa yang terjadi kalau petani menjadi
posisinya terpojok? Orang tidak mau jadi petani karena posisi yang miskin. Apa
jadinya kalau semua orang jadi penjual? Kalau tidak ada yang menjadi petani,
berarti tidak ada yang menghasilkan.
Soal maritim, Indonesia ‘kan penghasil
ikan dari perairan ini. Tapi saya dengar dan baca buku “Indonesia Dijarah
Jepang”, di situ dibilang bahwa 80 persen hasil ikan Indonesia ternyata lari ke
luar negeri dengan alasan pertumbuhan ekonomi. China, Jepang, dan Prancis yang
mengimpor ikan kita. Berarti cuma 20 persen dong
ikan kita dikonsumsi orang kita sendiri. Nah coba bayangkan 100 persen berarti
dari pesisir sampai pelosok hutan kita bisa makan ikan segar. Nah ini berarti
juga Indonesia tidak mungkin kekurangan protein dong.
Bisa dibayangkan kalau Indonesia
berdaulat secara pangan di laut ditambah kedaulatan pertanian di darat.
Semuanya dihasilkan dari dalam negeri.
Kuba misalnya terpaksa menghasilkan
sendiri gara-gara diembargo Amerika. Jadi tahun 1970 mereka diembargo terpaksa
menghasilkan sendiri. Pemerintahnya terpaksa meng-hire beberapa pakar agrikultur Australia dan New Zealand untuk
menjadi konsultan pemerintahan mereka.
Nah sekarang rata-rata penghasilan mereka
tidak banyak kalau kurs internasional, mereka adalah salah satu negara yang
makmur dari segi pangan. Karena 80 persen kebutuhan makanan kota dihasilkan
dari kota. Jadi bisa dibayangkan, ukuran kualitas dan harga itu ditentukan dari
ini piringnya kita. Jarak antara lahan sampai di piring. Dari sumber ke piring.
Semakin jauh, semakin kualitasnya turun. Karena melewati penyimpanan, dan
harganya semakin mahal. Rasionya kayak gitu. Sehingga di Indonesia hanya orang
kaya aja yang layak makan 4 sehat 5
sempurna.
Kalau di Kuba, karena murah dan
terjangkau, mereka makan. Kita kan cari uang untuk makan. Walau pun kita dapat
banyak tapi harganya mahal berarti sebagian besar penghasilan kita lari ke
makanan yang layak. Berarti sebenarnya kalau penghasilan kita pas-pasan kita tidak
menjangkau itu. Kita kan tidak makmur. Kebutuhan yang mendasar adalah sandang,
papan, dan pangan. Dari yang paling primer dari ketiga ini adalah pangan. Tapi
ini salah satu contoh saja di Kuba.
Jadi bisa dibayangkan kalau kita bisa
hasilkan di setiap daerah dengan jarak yang semakin dekat, itu kemakmuran
semakin tinggi.
Kira-kira,
Indonesia impianmu begitu?
Kalau saya pembangunan di Indonesia
selalu berjalan paralel dengan kerusakan lingkungan. Tapi sebenarnya itu bisa
diminimalisir kalau pembangunan itu secara … sebenarnya agrikultur vermakultur
itu sebenarnya ada ideologi-ideologi. We
care to the people, peduli pada manusia (keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia); we care to the future—peduli
pada masa depan (kebijakan yang sustainable/berkelanjutan);
dan we care to the nature—peduli pada
alam (yang mengandalkan penghasilan dari alam berarti alamnya harus dijaga).
Ada beberapa hal seperti mengoptimalkan
sumber daya lokal itu untuk mengurangi jarak. Pembangunan Indonesia yang
mengutamakan itu akan menjadi Indonesia menjadi negara yang penting apalagi dia
membangun berdasarkan dari apa yang sudah dia jago. Sehingga pembangunannya
lebih maju. Kalau kita membangun dari apa yang kita tidak jago, mulai dari nol,
kan jadi ketinggalan terus kita kan. Kita negara tertinggal. Kenapa tertinggal?
Karena kita meniru sesuatu yang bukan jagonya kita. Coba kalau kita sebaliknya,
sudah pasti kita jadi negara terdepan. Banyak yang belajar dari kita.
Itu
semua sebenarnya berawal dari mana? Bacaankah yang tiba-tiba mengharuskanmu
belok ke isu-isu itu?
Yang pertama, saya besar di keluarga
petani. Dari situ saya lihat langsung posisi petani. Harga panen jeblok. Ini
kenapa? Ada yang salah berarti! Terus orang tidak mau jadi petani. Ya karena
petani identik dengan kemiskinan.
Yang kedua, kebetulan juga karena
pekerjaan saya di luar musik konsultan di beberapa LSM, bergelut dengan isu-isu
lingkungan, sosial, dll. Sehingga informasi ini saya dapat dari mereka yang
sudah melakukan penelitian. Makanya saya membuat band juga untuk mendistribusikan
data itu dengan bahasa anak muda. Data keras menjadi lunak. Makanya konsep
Navicula itu begitu.
Dari analisa juga, diskusi dengan
teman-teman, namanya juga jaringan LSM kita selalu menyempatkan diri untuk update-update karena ketertarikan
pribadi. Ya ada memang orang-orang yang tidak peduli.
Saya pikir, kepedulian ini juga penting
karena saya percaya salah satu yang ditakutkan stabilitas suatu negara adalah
munculnya orang-orang ignorant.
Karena banyak negara maju karena masyarakatnya peduli. Maju bersama-sama. Kalau
sudah skeptik dan tidak peduli berarti itu sudah ancaman bagi negara
bersangkutan.[]
Kak Jim, kalau tak keliru singkatan dan kepanjangan MP3I yang benar, MP3EI: Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Ini semacam rencana pembangunan lima tahun-nya (Repelita) di masa pak harto. Di masa Pak BY namanya jadi MP3EI meliputi enam koridor (kalau tak salah) dalam menunjang pembangunan ekonomi di daerah berdasarkan keunggulannya. Koridor Jawa, Bali-Lombok, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua-Maluku. Saat ini, menjelang pemerintahan transisi Jokowi-JK, pemerintah yang baru menitik beratkan sektor Infrastruktur Maritim. Pembangunan MP3EI yang ada di masa SBY lebih banyak ke infrastruktur berat seperti jalan tol, energi, bandara dan pelabuhan. Namun itupun masih banyak yang terhambat. Hihi, berat ya pembahasannya. Tapi semoga berguna dan manfaat. salam makassar keren..
BalasHapusterima kasih banyak, iccang :*
Hapussebagaimana di tulisan, saya hanya menyingkat niatnya untuk "memudahkan" pembaca :D