Selera dan Aksara
Pada akhir tahun 2013 berlangsung ajang Rock in Celebes di Celebes Convention Center (CCC), Makassar. Acara
ini dimeriahkan sejumlah kelompok musik dari beberapa kota dan kawasan di
Indonesia yang bergiat selama ini (Bali, Bandung, Jakarta, Kendari, Makassar,
Palu, sampai Yogyakarta).
Di situ tidak semata musik menghingar-bingar sejak sore
sampai jauh malam. Dalam acara tersebut tampil pula berpameran sejumlah label
rumah produksi pakaian sampai rumah penerbitan buku.
Yang berlangsung akhir tahun lalu di CCC tadi merupakan salah
satu ajang representasi paling lengkap berkaitan perkembangan industri kreatif
Makassar, dunia yang selama ini dihidupkan oleh anak muda, sekurangnya 10
tahunan terakhir, fenomena yang tumbuh seiring tumbangnya Orde Baru pada 1998.
Tidak kurang ada tiga barang dan jasa yang dihasilkan dalam
pameran tersebut, yakni musik, fesyen, dan buku. Ketiganya merupakan kebutuhan
yang mereka produksi sendiri.
Dalam pandangan Nicola Ansell, peneliti anak muda dari Brunel
University, terlepas orang dewasa terlibat atau tidak, anak muda tetap akan
mengambil keputusan dan bertindak. Mereka merespons perkembangan lingkungan dan
sekitaran mereka—keluarga dan masyarakat tempat mereka hidup dan bertumbuh.
Mereka akan membuat segala sesuatu berdasarkan kebutuhan
sendiri, dengan mendasari laku dan tindakan mereka dalam memproduksi dan
mengonsumsi sebagaimana gaya hidup, benda-benda yang dihasilkan dalam siklus
hidup, dan pengalaman hidup yang mereka pernah lakoni.
Betapa pentingnya anak muda bagi dunia internasional dapat
kita lihat pada upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa menghormati kalangan ini
dengan memperingati Hari Anak Muda Internasional setiap 12 Agustus. Di
Indonesia sendiri, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dianggap sebagai salah satu
tonggak pergerakan kemerdekaan negeri ini.
Upaya dan usaha yang anak muda lakukan sebagaimana yang
tampak dalam ajang akhir tahun 2013 tadi menunjukkan mereka sedang membentuk
gaya hidup dan mereproduksi pengetahuan. Mereka Inilah dua di antara sejumlah
elemen terpenting bagi mereka sebagai lapisan paling dinamis umat manusia.
Tampaknya bagi anak muda di kota ini ketika
Orba runtuh pada 1998, mereka melihat celah bahwa apa yang mereka geluti selama
ini bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Mereka memutuskan tidak terikat pada
instansi-instansi yang bisa mengikat mereka dalam kerja rutin.
Apa yang mereka lakukan tidak lain sebentuk
perlawanan dari kemapanan. Reproduksi pengetahuan, sebagaimana yang banyak
dibincangkan pula dalam berbagai diskusi di beberapa tempat di Indonesia,
disebut tidak lagi bertumpu pada dunia pendidikan (terutama perguruan tinggi
dan sejenisnya) utamanya setelah Reformasi 1998. Justru, pengembangan itu
terjadi di komunitas-komunitas yang didirikan oleh anak muda yang berdiri di
luar pagar perguruan-perguruan tinggi.
Mereka adalah kaum produsen sekaligus konsumen. Hal yang
paling penting dari itu adalah kalangan ini merupakan produsen dan konsumen
yang memiliki potensi waktu. Mereka membuat sekaligus mencicipi hasil produksi.
Mereka merancang, mencetak, dan memakai
pakaian sesuai selera sendiri. Mereka menulis, menerjemahkan, dan menerbitkan
sendiri buku yang selama ini mereka idamkan. Mereka membentuk selera dan
merangkai aksara.
Sayangnya dari itu semua, pemerintah, sebagaimana juga
lazimnya “orang dewasa/orangtua”, kerap tidak percaya pada aktivitas pada
generasi yang lebih muda dari mereka. Padahal mereka adalah kaum yang pantas
mendapat tempat layak dan ruang yang lebih lapang.
Apa jadinya bila pemerintah tidak memberi peluang sebesar
mungkin pada anak muda? Sebagai gambaran, World Bank memperkirakan: sekisar
lima tahun mendatang, Indonesia membutuhkan lapangan kerja untuk 15 juta orang.
Sedang 2013 Data BPS 2013, penggangguran Indonesia yang berusia 19-29 tahun
mencapai 4,9 juta orang dari total 7,4 juta penganggur.
Sudah jelas bahwa angka di atas menjadi gambaran awal kita
bahwa situasi dan persoalan makro itu dapat dipecahkan lebih mikro oleh anak
muda, melalui perekrutan dan pelibatan dalam pekerjaan-pekerjaan di rumah-rumah
produksi seperti yang kian banyak tumbuh di negeri ini, termasuk Makassar dan
kawasan sekitarnya.
Situasi ini, bisa jadi, serupa tapi tak sama dengan kisruh zaman yang
pernah disaksikan oleh Herbert C Hoover pada masa-masa awal tahun 1900-an,
sampai presiden yang pernah memimpin Amerika Serikat pada 1929-1933 mengatakan,
“Yang tua umumkan perang, tapi anak mudalah yang berperang dan mati.”
Dengan begitu pula, kebijakan “menciptakan lapangan kerja” demi
“mengurangi angka pengangguran”, yang selama ini menjadi salah satu rencana
yang membuat puyeng pemerintah dapat teratasi, atau setidaknya, dikurangi.
Tinggal kini, dinamisnya dunia anak muda (Makassar) perlu
mendapat dukungan piranti lunak, terutama regulasi-yang-ramah-anak-muda. Bukan
sebaliknya, sebagaimana selama ini terjadi di Makassar, seperti berlakunya potongan
pajak hiburan 35 persen yang begitu kencang dikeluhkan oleh mereka.
Selain itu, kaum muda perlu ditemani piranti keras seperti perpustakaan
dan sekolah. Penyediaan sekolah yang baik, sekolah yang tidak memproduksi
kekerasan, berpeluang besar menciptakan generasi yang tidak latah dan berkreasi
atas dasar olahan rasa dan pikiran sendiri—bukan atas dikte dari kalangan tua.[]
Catatan: Terbit di kolom Literasi Koran Tempo Makassar, edisi 21 Agustus 2014.
Komentar
Posting Komentar