Dari "Pattado Jonga" menjadi "Pattingalloang"
BERAWAL DARI kesannya pada kanak-kanak selama sebuah proyek perjalanan berkuda melintas pulau tahun 2014 lalu, Nirwan Ahmad Arsuka kemudian berniat membangun perpustakaan yang berkeliling menyebarkan buku untuk anak-anak yang berada di tempat-tempat yang sulit dijangkau.
Nirwan Arsuka (baju putih) dalam obrolan soal Perahu Pustaka, pertengahan Mei 2015. (Foto: Iqbal Lubis) |
Maka lahirlah: Kuda Pustaka. Bentuknya: dua kotak di
pinggang seekor kuda yang berkeliling membawa buku bacaan untuk anak-anak di
kawasan Gunung Slamet. Kini inisiatif itu memasuki rupa kedua: perpustakaan di
atas perahu.
Inisiatif itu lalu dinamai Perahu Pustaka. Ia mengontak
tiga temannya yang dianggap bisa terlibat di rencana ini: Ridwan Alimuddin, seorang
peneliti kelautan dan bermukim di Mandar; Kamaruddin Azis (Daeng Nuntung),
sarjana ilmu kelautan dan mantan Ketua ISLA (Ikatan Sarjana Kelautan Unhas),
dan saya yang biasa sibuk di Penerbit Ininnawa, Makassar. Tapi dua orang
pertama cukup sibuk. Hanya saya, kata Nirwan, yang sempat membalas pesan-pesannya
yang dikirim.
Begitu Ridwan dan Daeng Nuntung leluasa, rencana pun
dipancang. Percakapan lewat Whatsapp dan saling sapa via Twitter munculkan
pertanyaan seperti “mau dilayarkan ke mana?”.
“Kita sepakat ketika itu memilih perahu yang bisa
mengangkut buku banyak dan stabil di perairan. Satu lagi, harus murah karena ini
tidak didanai oleh siapa-siapa,” ujar Nirwan, dalam obrolan pertengahan pekan
ketiga Mei 2015.
Lalu bincangan itu membulatkan rencana memakai perahu ba’go, jenis kargo tradisional pelaut
jazirah selatan Sulawesi. Berdasarkan penelusuran sejarah transportasi di Selat
Sulawesi yang dilakukan Ridwan, model perahu ini biasa dipakai mengangkut beras
sampai ke seberang pulau sekitar Selat Sulawesi.
Ridwan lantas menyerahkan dana titipan Nirwan kepada seorang
pembuat perahu di Lapeo, Mandar, untuk mulai rencana ini. Lalu dibangunlah
sebuah ba’go dengan dimensi 10 meter
dan bagian tengah 2,5 meter.
Pembuatannya dikebut sebulanan saja. Harus jadi begitu
matahari terakhir bulan Mei terbenam. Karena perahu yang dinamai “Pattingalloang”,
nama pendek I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng
Pattingalloang, perdana menteri Kerajaan Gowa yang tersohor karena kegilaannya
pada ilmu pengetahuan, mesti berlayar dan ingin memeriahkan MIWF, festival
internasional penulis yang digelar lima tahun terakhir di Makassar.
Menurut Nirwan, perahu ba’go
memang sudah terganti oleh yang model yang lebih modern. Tapi celah yang bisa
diambil adalah upaya ini sebagai cara menghidupkan jenis perahu yang sudah lama
tidak dipakai, termasuk tahap-tahap upacara selama pembangunan perahu. (Keterangan
Nirwan ini mengingat saya pada upaya ‘rekayasa’ dalam sandeq race yang pernah disampaikan Horst Liebner dan Ridwan
Alimuddin. Keduanya menyebut, gagasan pacu sandeq
juga sebagai cara menggenjot evolusi/revolusi perahu nelayan Mandar itu supaya
makin cepat. Para peserta, kata Horst, akan berpikir keras bagaimana agar
mereka bisa menang dalam lomba itu dengan mengubah bagian tertentu perahu.)
“Dengan upaya ini sebenarnya kita bukan cuma sebar
pustaka, tapi membangun kebudayaan maritim. Perahu ini membuka kemungkinan bagi
penulis untuk ikut berlayar dalam waktu tertentu. Dengan begitu, teks-teks
tentang laut akan ditulis dan diproduksi. Dengan begitu khasanah sastra kita
bisa bertambah dengan sudut pandang orang laut. Ini investasi kultural,” tegas
Nirwan.
Tak banyak teks-teks sastra yang berbau laut. Di khasanah sastra
dunia, dua yang mengemuka dari itu adalah Moby
Dick karya Herman Melville dan The
Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Di Indonesia sendiri, Nirwan
menyebut masih sebatas pandangan “orang darat“ tentang “laut”. Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer,
sebut Nirwan, menunjukkan perspektif itu. “Dari Asia, jangan-jangan memang
sastra laut kurang?”
Ini bisa juga terbaca dari anggapan orang Indonesia bahwa
sungai dan laut—sebagai elemen tak terpisahkan dari kebudayaan maritim yang
didengungkan selama ini—masih dipandang
sebagai sumber bencana, seperti banjir dan tsunami.
Ibrahim, seorang kawan yang ikut menyimak obrolan malam
itu, membenarkan pernyataan Nirwan. Ia menyebutkan bahwa selama ini ketika
berbicara tentang perairan, yang muncul justru sudut pandang eksploitasi
ekonomi. “Selama ini, hampir semua kasus di pesisir warga kalah. Itu mungkin
karena tidak ada teks kehidupan tentang perairan. Padahal, konon, laut bagi
suku Bajo juga menjadi ranah penting berkaitan reproduksi (hubungan suami-istri),”
kata Ibrahim, yang sehari-harinya sebagai pengacara.
PERAHU PUSTAKA adalah rupa kedua setelah inisiatif pertama
Kuda Pustaka. Cikal bakal Kuda Pustaka berawal dari perjalanan berkuda Nirwan dari
Ujung Kulon (Banten) menuju Bali. Tapi lantaran alasan tertentu, ekspedisi ini
hanya sampai 10 hari. Akan ia lanjutkan lagi di paruh akhir tahun 2015.
Dalam perjalanannya, Nirwan melihat ‘anak-anak’ merupakan
hal mencolok dari beberapa soal yang mencuri perhatiannya. Anak-anaklah yang
banyak menjawab pertanyaan-pertanyaannya selama perjalanan. Orang dewasa justru
memasang tampang curiga. Mungkin, kata Nirwan, mereka baru melihat ada yang
berkuda menempuh perjalanan jauh.
Ia lantas bertemu Ridwan Sururi, tukang ojek kuda di
kawasan wisata daerah Gunung Slamet, Jawa Tengah. Ridwan inilah kemudian menggerakkan
Kuda Pustaka hingga sekarang. Sejak Januari hingga awal Mei, Kuda Pustaka baru
punya seekor. Tapi pertengahan Mei, Ridwan sudah berkeliling memakai dua kuda,
satu bawa buku satunya sebagai tunggangan.
Ketika BBC dan Getty Image menurunkan laporan tentang Kuda
Pustaka, respons media Indonesia baru bermunculan. Tanggapan publik juga
bertambah.
Apakah ini sebentuk pandangan eksotisme dari media-media
luar? “Saya kira iya. Itu tidak bisa kita hindari. Sebenarnya lebih bagus kalau
dia kirim buku ketimbang dibicarakan begitu. Tapi itu setidaknya siapa tahu ada
yang terinspirasi juga melihat itu. Dan ini juga bukanlah pertama kali di
dunia. Ada beberapa praktik seperti buku yang dibawa keledai di satu negara di
Amerika Latin.”
Inisiatif seperti ini faktornya bukan soal dana. Andai,
kata Nirwan, ada dana banyak dan bisa membeli semacam pinisi, itu bukanlah
jalan terbaik. Soalnya adalah biaya pemeliharaan yang tinggi. Tiap tahun harus
masuk dok dan biaya sewa doknya tidak murah.
Yang terpenting juga inisiatif ini ada yang menjaga. Ridwan
berikutnya, Ridwan Alimuddin, akan berlabuh di pesisir sekitar Mandar dan daerah
lain di sepanjang Selat Makassar. Belakangan, dalam satu pertemuan saya dengan
Ridwan, dia berencana membeli bendi keperluan serupa.
PERHATIAN NIRWAN beberapa tahun terakhir teralih ke kuda. Awalnya,
sepengetahuan saya dalam dua tahun terakhir, lelaki kelahiran Barru (Sulawesi
Selatan) ini menyigi ekspresi lukisan Mattado
Jonga (Bugis: Berburu Rusa) yang terpajang di ruang-ruang tamu keluarga
tertentu di Makassar dan daerah lain di Sulawesi Selatan. Lukisan kanvas itu
memperlihatkan beberapa pemburu berkuda mengejar rusa dengan jerat di tangan.
Entah tahun berapa terakhir saya dapati lukisan semacam
itu. Rusa pun kini hanya bisa kita temui di penangkaran. Tapi wajah-wajah lelaki
pattado jonga (pemburu rusa) bersalin
rupa menjadi lebih hidup dan nyata di depan mata saya.
Paras lukisan itu kini berubah menjadi Nirwan yang menggandeng
teman-temannya mewujudkan harapan menyebarkan buku. Ia menjelma sebagai Ridwan Sururi
yang menuntun kuda berpelana disarati kotak buku di kiri kanan pinggangnya. Juga,
saya bayangkan, di satu siang menjelang sore, Ridwan Alimuddin duduk beristirahat
di pantai yang diteduhi pohon rindang, tempat ia menambatkan perahu ”Pattingaloang”
yang diayun ombak kiri-kanan, dan seekor sayyang
patteke (kuda pembawa beban) beristirahat usai berkeliling menarik bendi
yang dipenuhi lemari-lemari kecil berisi buku.[]
Komentar
Posting Komentar