Siapa Media Kecil, Yang Mana Media Besar?

Maman Suherman (Foto: @lelakibugis)
Saya hanya kenal sosok plontos Maman Suherman lewat televisi tiga empat tahun silam. Lalu saya melihat dia langsung di sebuah sesi diskusi MWIF 2013. Maman ketika itu bicara tentang jurnalisme, dunia yang digelutinya sejak lama. Tapi lantaran datang terlambat dan terhalang banyak orang karena berdiri di belakang, saya tak bisa menyimak penuh apa saja yang dijelaskannya ketika itu. Maman dalam diskusi itu menjelasan bahwa dunia jurnalistik mutakhir tidak lagi berpegang hanya pada panduan 5 W (what, who, where, when, dan why) tambah 1 H (how).


Saya kemudian memintanya dalam satu kesempatan bertemu pada pekan kedua Mei 2015 untuk menjelaskan ulang apa yang dibeberkannya kala itu. Maman menyebut, rumus jurnalistik mutakhir perlu juga berpegang pada 5 R (read, research, reliable, reflecting, dan [w]rite). Satu, membaca (read) kita lakukan untuk menghindari terjadinya kebiasaan menyalin dan menempel (copy-paste), hal yang awam terjadi karena ‘godaan’ bahan-bahan tersedia sangat melimpah di dunia maya.

Saya kemudian teringat keluhan seorang kawan yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Makassar. Ia demikian prihatin dengan tugas menulis esai yang diberikannya pada mahasiswa dan kemudian, beberapa di antara mereka, menyelesaikan tugas kuliah itu dengan asal comot bahan dari berbagai situs. “Mereka anggap kita bodoh kayaknya dan mereka lupa bahwa tulisan-tulisan mereka itu bisa dilacak di Google,” kata Si Dosen.

Kedua, sumber-sumber informasi yang nyaris seragam dan demikian banyak menuntut para pegiat jurnalistik untuk melakukan riset (research). Bagaimana pun, keunggulan sebuah tulisan terletak pada isinya (content).

Maman lantas mencontohkan bagaimana dahsyatnya JK. Rowling yang menggunakan nama alias Robert Galbraith dalam menyusun dua karya terbarunya, The Cuckoo’s Calling (Dekut Burung Kukuk) dan The Silkworm (Ulat Sutra). Menurutnya, karya fiksi Rowling itu sangat rinci menggambarkan pelacakan Cormoran Strike, seorang detektif partikelir, kala mengungkap kasus pembunuhan. Maman yang sewaktu mahasiswa menuntut ilmu di Jurusan Kriminolog UI terkagum karena kadar keilmiahan dalam karya fiksi tersebut.

Ketiga, informasi yang disebar harus teruji kebenarannya (reliable). Lelaki yang berperan jadi notulen di seri komedi Indonesia Lawak Klub (ILK) ini mengambil contoh bagaimana adegan-adegan sinetron sekarang tak mencerminkan yang sebenarnya. Ia memberi misal bila seseorang yang matanya selesai dioperasi, penggambarannya masih menggunakan balutan yang melilit di kepala dan perlu berhari-hari. “Referensinya masih film zaman dulu (seperti adegan film Rhoma Irama “Cinta Segitiga”). Padahal sekarang buka perbannya bisa cuma sehari,” kata pria berkacamata bingkai tebal ini.

Keempat, bagaimana informasi yang kita sampaikan menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Ia sebutkan contoh ketika di zaman Orde Baru, jurnalis mengutip ucapan Soeharto dengan menuliskan ujaran khasnya “semangkin (semakin)” atau “gera’an (gerakan)” dalam kalimat kutipan langsung—sebagai cara menggambarkan kekhasan pengucapan seseorang. “Kalau bukan kalimat langsung, kita baru bisa menulis ‘semakin’ atau ‘gerakan’,” kata lelaki berkepala plontos ini. Terakhir, sambungnya, yang kelima adalah (w)rite atau menulis kebenaran.

Sebenarnya, menurut Maman, yang dia bicarakan ini merupakan respons terhadap revolusi di bidang telekomunikasi. Media-media di Indonesia kini mengalami konvergensi. Media cetak, sebagai contoh, dituntut mengikuti perkembangan teknologi yang pesat itu dengan ‘membelah diri’. Awalnya hanya surat kabar, kini, sepertinya, mereka mewajibkan diri pula melakukan diversifikasi usaha dengan membangun stasiun televisi dan situs pemberitaan. Kalau tidak, mereka bakal menemui nasib serupa dengan Chicago Tribune dan Los Angeles Times yang dinyatakan bangkrut pada 2008 karena merosotnya pembaca dan terjun bebasnya jumlah iklan (Kompas, 2008).

Seakan-akan, kecepatan adalah segala-galanya. Sementara pula, terang Maman, kode etik bentuk-bentuk penyebaran informasi itu masing-masing berbeda. Ia memberi gambaran, bagaimana bila wartawan cetak kemudian harus bertugas di televisi atau situs, yang masing-masingnya punya kode etik sendiri, menerapkan kode etik koran ke televisi atau situs? Disebutnya bahwa berita situs boleh mencantumkan “... sampai berita ini diturunkan, narasumber belum dapat dihubungi”. Sementara dalam pengalaman saya di sebuah media cetak, hal ini justru terlarang. Berita tak boleh terpublikasi tanpa konfirmasi.

Dalam keadaan seperti ini, Maman menyebut, dibutuhkan penyebaran informasi langsung dari warga. Mereka, dengan kekuatan subjetivitasnya, mengabarkan dengan jujur apa yang mereka alami sendiri, baik melalui media sosial maupun dari situs. Hal yang lazim kemudian kita dapati bersama berita-berita televisi justru muncul berawal dari tagar (tanda pagar, kaca kunci tertentu) media sosial.
Di tengah hiruk-pikuk berita dan kabar tentang hal-hal “besar” seperti dinamika dunia politik, fenomena “biasa” dan “kecil” yang ditulis sendiri oleh warga bukan semata sebagai bahan informasi yang kemudian diolah untuk media massa, melainkan pula menjadi asupan dan bahan penting bagi dunia ilmu pengetahuan.

Dalam pandangan Dias Pradadimara, dosen yang sehari-hari menjadi staf pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin Unhas, dengan mengambil contoh Makassar Nol Kilometer (DotCom): Jurnalisme Plat Kuning (Tanahindie, 2014), ia sebutkan bahwa informasi-informasi dan penjelasan dari para warga memiliki kesan akademik.

Yang kita tahu, kata Dias, buku akademik berfokus pada hal-hal “penting” saja seperti politik dan isu besar lainnya. Ia menyebut, tulisan-tulisan dalam buku ini memiliki kesan sebagai semacam perayaan hidup warga Makassar. Di dalamnya beberapa tulisan menceritakan soal pasar dan warung—tempat yang selama ini menjadi titik yang berkaitan penting dengan hidup warga kota sehari-hari.

Dias menemukan pula di dalam buku ini semangat nostalgia, yang disebutnya sebagai “penyakit manusia modern” karena membanding-bandingkan keadaan yang sudah berubah. “Namun ada risikonya. Kita bisa menjadi tidak kritis. Bagaimana pun, nostalgia bergantung pada catatan dan kenangan. Tapi kita harus ‘memaafkannya’ karena membangkitkan kita pada masa lalu. Untuk memperoleh ini kita harus bertanya pada orang-orang.”

Bagi saya, pembacaan Dias Pradadimara tentang bagaimana daya jelajah tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini mencapai dunia akademik merupakan sesuatu yang diharapkan terjadi dan menjadi tujuan sejak pendirian awal situs http://makassarnolkm.com.

Sudah menjadi anggapan umum bahwa dunia akademik dan kehidupan warga biasa merupakan dua titik yang berjarak—bila tak ingin dikatakan terpisah. Masyarakat kampus asyik sendiri menekuni dunia teori dan hal ideal, sedang warga menggeluti realitas yang seringnya tidak banyak tercantum dalam buku-buku teks.

Hal ini diperparah pula anggapan umum bahwa dunia kampus kini cenderung hanya menjadi konsumen hasil dari reproduksi pengetahuan yang dihasilkan oleh dunia luar kampus; bukan produsen, sebagaimana yang ideal terjadi di perguruan tinggi. Justru, kelompok/komunitas yang mengasup kalangan akademisi dengan hasil-hasil penelitian dan laporan mereka. Titik inilah salah satu dari sekian sumber reportase, laporan, atau pelajaran yang dapat disebarkan ke orang banyak di luar mereka.

Berkaitan dengan itu, Maman beberkan bahwa memang demikianlah kenyataan yang sekarang berlaku di masa postmodernisme, paham yang menolak kebenaran tunggal. Dengan demikian, definisi dan dikotomi media kecil dan media besar perlu ditilik ulang.

Sebuah media, kendati dengan modal besar, bisa kita anggap 'media kecil’ kalau isi informasinya tidak mengandung kebenaran. Sebaliknya juga, media berskala kecil, dengan berita yang mengandung unsur kebenaran bisa kita sebut sebagai ‘media besar’. Karena, tegas Maman, “Isi (content) adalah segala-galanya!”[]


Komentar

Postingan Populer