Seni Melihat Air

Dari kiri ke kanan: Mubarak, Alfu, dan Piyo (Quiqui), Firman Djamil, Muh. Cora, Mirwan Andan, dan saya dalam konferensi pers keikutsertaan empat seniman Makassar di Jakarta Biennale 2015.

Ada empat nama seniman dari Makassar yang mengambil bagian dalam perhelatan Jakarta Biennale 2015, yang akan berlangsung 15 November 2015 – 17 Januari 2016. Mereka adalah Firman Djamil, Muhammad Cora, Quiqui, dan Reza Enem.

Firman Djamil merupakan nama lama di dunia seni rupa Sulawesi Selatan. Ia seni berbasis alam (nature arts). Saya mengenal Firman antara 2006-2007 dan mempelajari karyanya yang konsisten dengan muatan lingkungan hidup, baik isu maupun materi karyanya.

Muhammad Cora, pegiat Arsitek Komunitas (Arkom) Makassar. Ia alumni Arsitektur Universitas Hasanuddin. Bersama komunitasnya, Cora melakukan pendampingan masyarakat pesisir sungai dan laut. Di sana pula ia mengerjakan penelitian tentang perubahan bentuk rumah masyarakat pesisir. Ini pula karya yang akan dikerjakan untuk JB 2015.

Nama berikutnya, Quiqui, menjadi satu-satunya kelompok dari keempat nama yang mendapat undangan dari pihak Jakarta Biennale 2015. Mereka menggunakan benang dan rajutan sebagai medium. Quiqui berhasil meraih perhatian publik ketika mengerjakan Bom Benang Makassar selama tiga tahun berturut-turut (2012-2014). Dalam rencana yang kami susun bersama, Quiqui akan bekerja di kawasan Penjaringan, daerah di Jakarta Utara yang terkenal dengan kepadatan huniannya.

Reza Enem adalah nama baru. Di kalangan pemusik di Makassar, ia dikenal sebagai gitaris kelompok musik folk, Theory of Discoustic (TOD). Dua bulanan lalu Reza berangkat ke Gwangju, Korea Selatan, mengikuti program residensi Mite-Ugro (Gwangju). Reza kini sedang mengerjakan sebuah proyek sound art berdasarkan wawancara dengan warga pesisir di Makassar.

Keempat nama ini saya usulan berdasarkan cara mereka bekerja. Keempatnya terlibat bersama warga secara aktif dan karya didahului dengan penelitian yang panjang. Ini merupakan metode yang cukup baru di lingkup seni rupa di Makassar.

Ada jarak yang menciut antara seniman dan warga. Dengan begitu, beban seni sebagaimana umumnya yang sering dibicarakan adalah jarak yang terbentang jauh antara seniman dan warga. Seakan-akan seniman tumbuh sendiri, tanpa terlibat dari sederet persoalan sosial.

Dari keempatnya, hanya Firman Djamil yang saya masukkan dalam kategori “seniman Indonesia”. Cora, Quiqui, dan Reza masuk dalam kelompok “seniman muda” (young artist).
Bagi saya, masing-masing praktik yang dilakukan ketiga nama ini menjadi model baru bentuk ekspresi seni di Makassar dan sekitarnya. Mereka tidak berbasis matra ‘kanvas’. Kemungkinan ini merupakan salah satu unsur utama dalam kuratorial yang saya lakukan selama ini.

Seniman muda (young artists) menjadi salah satu dari beberapa fokus yang hendak diketengahkan dalam penyelenggaraan JB 2015. Dalam gambaran saya, kita bisa membayangkan bagaimana wajah seni rupa di beberapa kota di Indonesia masa depan melalui kesempatan ikut bekerja di JB 2015 ini.

Bukan hanya pada seniman. Kuratorial Jakarta Biennale 2015 pun sistem berbeda dibanding sebelumnya. Kali ini, ada tujuh kurator yang bekerja bersama tim pelaksana lainnya, yakni Charles Esche bersama enam ‘emerging curators’ dari empat kota yaitu Asep Topan (Jakarta), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily (Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh), Riksa Afiaty (Jakarta), dan saya dari Makassar.

Selain itu, tema air dan sejarah (terutama 1980-an) juga menjadi isu yang akan dimunculkan dalam perhelatan dua tahunan ini. Karenanya, kalimat “Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang” menjadi tajuk JB 2015, judul yang dipinjam dari film Warkop DKI tahun produksi 1983.

Isu air sangat urgen untuk dibicarakan di Makassar sebelum terlambat. Cara kita memandang sungai, danau, dan laut masih sebatas sebagai “halaman belakang”. Kita menyapu sampah rumah ke sungai, pabrik menyiramkan limbahnya di situ, korban jagal politik terapung di sana, atau bayi mati dalam kardus kerap ditemukan tersangkut di antara sampah-sampah.

Kawasan perairan, terutama sungai dan laut, juga dianggap semata lahan eksploitasi ekonomi. Demi alasan terciptanya titik pertumbuhan baru ekonomi, reklamasi pun dibolehkan, tanpa mengindahkan nasib dan kehidupan warga sekitar, sebagaimana yang terjadi di pesisir barat Makassar.

Hal yang sama sudah disampaikan berbagai elemen masyarakat pada 18 Juni lalu di Kantor DPRD Makassar. Mereka memprotes reklamasi kurang lebih 14 ribu hektar pesisir barat Makassar. Selain berdampak sosial, proyek itu juga disebut berefek pada lingkungan hidup karena daerah aliran air menuju tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Tapi, sekali lagi, pemecahan soal semacam ini lebih sering mandek melalui jalur politik. Dengan begitu, suara dan harapan bisa kita sandarkan melalui, salah satunya, cara pandang dan cara bekerja seni yang melibatkan warga.


Tawaran-tawaran dan cara pandang warga yang terakumulasi di dalamnya tentu perlu kita dengar bersama, termasuk cara dan siasat mengelola lingkungan perairan kita, sebagai perspektif yang lain melihat bagaimana mewujudkan kota yang lebih manusiawi.[]

(Terbit di Koran Tempo Makassar edisi 26 Juni 2015)

Komentar

Postingan Populer