Bom Benang: Catatan Kuratorial
KEKERASAN yang dialami kalangan anak, remaja, perempuan, dan
antar komunitas memicu meningkatnya aksi kejahatan dan angka korban
kekerasan. Menurut data Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,[1]
angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh pengadilan agama
semakin meningkat dari tercatat 14.020 (2014) menjadi 293.220 (2015). Ini belum
termasuk kasus yang tidak dilaporkan lantaran banyak sebab, seperti keengganan
akibat tekanan stigma yang berpeluang mengerdilkan mental korban.
Berdasarkan penelusuran data dan wawancara langsung korban
dan pelaku kekerasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa cara berkomunikasi dalam
keluarga menjadi salah satu pemicu. Model komunikasi ‘satu arah’ menjadi salah
satu hal yang menyebabkan persoalan ini.
Ini mengakibatkan kekerasan yang berdampak munculnya anggapan
anggota keluarga bahwa rumah atau keluarga tidak menjadi tempat yang aman dan
nyaman. Sejatinya, lingkungan keluarga menjadi fondasi dan tempat para
anggotanya untuk mengekplorasi diri dan berekspresi secara sehat.
POSISI BERKOMUNIKASI itu juga menjadi titik
yang disadari Komunitas Quiqui selama ini dalam berkarya. Empat kali dalam ajang
Bom Benang, mereka menjadi seniman, kalangan yang ‘dilayani’, meski dengan
sengaja mengajak warga (dalam skala kecil) untuk berperanserta dalam ajang ini.
Kini, dalam Bom Benang 2016, mereka berubah peran. Quiqui menjadi penghubung antara
karya dan warga. Mereka melepaskan diri dari atribut ‘seniman’.
Ini kemudian menjadi landasan utama Quiqui
untuk ajang tahunan “Bom Benang” yang kini memasuki tahun kelima. Mereka menantang
diri mengubah posisi seniman dan orang sekitar—yang biasa hanya sebagai
penonton atau warga yang berpartisipasi. Mereka mengajak sekelompok warga menjadi
kreator karya.
Tahun ini, Quiqui mengangkat tema “Benang Kandung” (Yarn-Womb)
yang berlangsung pada Mei - September 2016. “Benang Kandung” sejatinya adalah
judul yang memplesetkan istilah kekerabatan seperti “anak kandung”, sebagai
cara menunjukkan bahwa orang-orang bisa saling terhubung dalam ikatan yang
karib, menggunakan medium benang, sebagaimana layaknya hubungan antara ibu dan
anak.
Quiqui memilih tema ini dari endapan pengalaman sekaligus
konsentrasi mereka terkait isu kekerasan dan keluarga. Mereka mencari 5 (lima)
lokasi dan memfasilitasi terbentuknya kelompok warga melalui rangkaian
lokakarya hingga kelompok tersebut siap berpameran.
Pemilihan lokasi-lokasi ini tidak dilakukan acak. Didampingi
tim dokumentasi dan tim peneliti/penulis, mereka mencari lokasi di perkampungan
kota yang padat penghuni, yang dalam berdasarkan penelitian, lokasi yang
dianggap rawan terhadap tindak kekerasan dalam keluarga.
DI TENGAH waktu yang pendek, mereka menemukan mitra kerja
di lima komunitas, yakni (1) Jalan Sukaria 13 B, Kelurahan Tamamaung,
Panakkukang; (2) Jalan Barukang III, Kelurahan Pattingaloang, Kecamatan Ujung
Tanah; Lorong Mawar, Jalan Toa Daeng 3, Kecamatan Manggala; (4) Jalan Rajawali,
Kawasan Mariso Baru; dan (5) Jalan Barukang IV, Kelurahan Pattingaloang, Ujung
Tanah.
Kelima kawasan berpenghuni padat ini adalah bukti tentang
narasi pengumbar kata ‘pembangunan’. Istilah ini menjadi rancu di Indonesia lantaran
mengandung kata ‘bangun’ (to build, bukan to develop atau ‘tumbuh lebih matang’) atau ‘hard-infrastructure’,
usaha dan upaya mengadakan sesuatu dari tidak ada.
Tampaknya, inilah salah satu sebab mengapa warga masih
menjadi penonton pembangunan. Beginilah jalan pikir ala Orde Baru melihat
negara (desa dan kota) ini dalam logika “pemulihan dari kefakiran”, dengan
tanpa henti menggelontorkan program bantuan dan meng-ada-kan yang belum ada,
perihal yang terjadi pula di Kota Makassar. Jalan berpikir semacam ini terus bertahan,
bahkan setelah Orde Baru tumbang.
Memang, tak ada yang lebih berbahaya dari pada warisan
cara berpikir. Hal ini kian menihilkan pembangunan ‘soft infrastructure’, tentang
upaya membangun inisiatif, keberdayaan, dan kesadaran warga.
Tak ada cara lain: warga harus
menolong diri mereka sendiri.[]
[1] (http://www.ippi.or.id/content/elibrary/report/CATAHU-2015-Edisi-Launching.pdf), diakses pada
13/01/2016 jam 13.00 Wita.
Komentar
Posting Komentar